Konten dari Pengguna

Gastrofisika, Cara Baru Menikmati Makanan dengan Sains Pancaindra

Hesty Susanti
Ph.D in Eng. Physics - Lecturer and Researcher at School of Electrical Engineering, Telkom University (Biomedical Engineering and Ultrasound/Acoustic based Measurement) - Art Enthusiast - Writer and Philomath. https://linktr.ee/maktjik
30 Maret 2021 8:19 WIB
clock
Diperbarui 7 April 2021 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesty Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa itu Gastrofisika?
Ketika mendengar kata ini, mungkin pikiran Anda akan tertuju kepada suatu bidang ilmu yang seringkali menjadi momok dalam kurikulum pelajaran hampir di seluruh dunia: fisika. Tak banyak anak-anak yang menyukainya, tak sedikit pula yang alergi terhadapnya. Tapi, tenang saja, apa yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini adalah sisi lain yang tidak berhubungan langsung dengan fisika.
ADVERTISEMENT
Gastrofisika adalah suatu disiplin ilmu yang perkembangannya relatif baru dan definisinya pun belum disepakati sepenuhnya oleh para ahli. Perkembangan pesatnya baru berlangsung tak lebih dari satu dekade terakhir, ditandai dengan diadakannya simposium internasional pertama yang diadakan di Kopenhagen, Denmark pada 2012 yang khusus membahas mengenai bidang ini.
Gastrofisika berasal dari 2 kata, gastronomi dan fisika. Menurut Bapak Gastronomi dunia, Jean Anthelme Brillat-Savarin, dalam bukunya Physiologie du Goût (1825), gastronomi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan makan dan makanan. Saat ini, gastronomi dipakai sebagai suatu istilah yang lebih luas yang mencakup seni dan sains dalam memasak, termasuk sisi estetik, kualitas bahan mentahnya, teknik memasak dan penyajian makanan, rasa, serta sejarah dan budaya memasak.
Ilustrasi bahan makanan nabati dan hewani. (National Cancer Institute, Wikipedia).
Ketika digabungkan dengan kata fisika, gastrofisika menjadi sebuah disiplin ilmu baru yang menjadikan gastronomi sebagai inspirasi atau titik berangkatnya, lalu menggunakan ilmu-ilmu fisika untuk memahami fenomena alam di baliknya.
ADVERTISEMENT
Namun, definisi ini kemudian berkembang lagi, tak terbatas hanya kepada aspek-aspek ilmu fisika saja. Meskipun titik berangkatnya masih sama (gastronomi), gastrofisika kini mencakup bidang yang lebih luas, antara lain kimia fisik, kimia, dan sain-sains yang berhubungan untuk memahami fenomena alam dibalik makan dan makanan, seperti menjelaskan aspek fisika dan kimia dari bahan mentah, proses pengolahan makanan, hingga respons pancaindra manusia ketika makan.
Gastrofisika sebagai Sains Pancaindra
Mengambil hanya satu aspek dari perkembangan gastrofisika yang semakin luas, dalam tulisan ini saya akan menceritakan bagaimana makan dan makanan ditinjau sebagai suatu pengalaman multi-indrawi (pancaindra) manusia. Salah satu cabang dari gastrofisika ini akan membawa kita ke dunia psikologi eksperimental yang akan mengamati bagaimana indra perasa, penciuman, penglihatan, pendengaran, dan peraba manusia berperan ketika kita menikmati makanan. Jadi, kali ini Anda tak perlu takut atau alergi, fisika akan undur diri untuk sementara.
ADVERTISEMENT
Apakah Kita Menikmati Makanan Hanya dengan Lidah?
Jawabannya, tidak. Kalau saya menyebut hidung sebagai indra selain lidah untuk menikmati makanan, Anda tidak akan kaget. Tapi, mata, telinga, kulit? Terdengar aneh dan membuat penasaran, bukan?
Dalam bukunya yang diterbitkan pada 2017 berjudul Gastrophysics: The New Science of Eating, Prof. Charles Spence dari Universitas Oxford, Inggris membahas makan sebagai pengalaman multi-indrawi melalui pengamatan-pengamatan eksperimentalnya terhadap respons indrawi manusia ketika makan, dengan merekayasa makanan/minuman dan/atau lingkungan di sekitarnya sedemikian rupa untuk memancing respons indra tertentu. Pengalaman masing-masing pancaindra ini tidak berdiri sendiri, mereka berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain pada saat yang sama ketika Anda menikmati makanan/minuman.
Rasa oleh Lidah dan Hidung
ADVERTISEMENT
Ada 5 rasa utama yang dikenali oleh lidah manusia: manis, pahit, asin, asam, dan umami. Rasa umami mungkin tidak sefamiliar 4 rasa lainnya. Tetapi, secara bebas dan sederhana, umami bisa diterjemahkan sebagai rasa gurih atau seperti pada penyedap rasa. Pada makanan alami, misalnya bisa kita temukan pada jamur, keju, fermentasi ikan, fermentasi kacang-kacangan, tomat, dan lain-lain. Kelima rasa ini dirasakan oleh indra pengecap yang terdapat pada lidah kita. Teori lama mengatakan bahwa bagian lidah tertentu bertanggung jawab terhadap rasa tertentu. Namun, ternyata penemuan terbaru menyebutkan bahwa pengalaman rasa yang dikecap oleh lidah adalah pengalaman simultan yang tidak dapat dibagi-bagi pada area lidah tertentu.
Persepsi 5 rasa ini pada saat yang bersamaan sangat dipengaruhi oleh indra penciuman kita. Suatu makanan/minuman akan benar-benar terasa manis, pahit, asin, asam, dan umami ketika hidung kita mencium aromanya. Aroma makanan ini akan tercium mulai dari ketika makanan/minuman tersebut tersaji di depan Anda, sampai ketika makanan/minuman tersebut dikunyah dalam mulut Anda. Itulah sebabnya ketika Anda sedang flu dan penciuman Anda terganggu, makanan akan terasa hambar dan cita rasanya tak setajam yang Anda rasakan ketika Anda sehat.
Ilustrasi lidah dan hidung sebagai 2 indra perasa utama. (Arcadian, Wikipedia).
Bagaimana Makan dengan Mata, Telinga, dan Indra Peraba?
ADVERTISEMENT
Rasa makanan/minuman yang kita persepsikan dengan lidah dan hidung sebagai stimulus universal yang menimbulkan rasa bahagia, tak lepas pengaruhnya dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan dengan sentuhan.
Bentuk dan warna makanan/minuman, bagaimana cara penyajiannya, termasuk bentuk dan warna wadah penyajiannya mempengaruhi persepsi kita terhadap makanan/minuman tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan misalnya makanan yang disajikan dengan piring berwarna merah dapat menurunkan nafsu makan, karena otak kita mengasosiasikan warna merah sebagai tanda bahaya atau berhenti. Prof. Charles Spence dalam salah satu penelitiannya, menguji salad dengan komposisi bahan yang sama (informasi ini tidak diketahui oleh responden), namun disajikan dengan cara biasa dan cara artistik menyerupai lukisan abstrak. Ternyata, para responden jauh lebih tertarik untuk menikmati salad yang kedua dan persepsi mereka pun mengatakan bahwa salad kedua terasa jauh lebih enak.
Ilustrasi penyajian makanan. (Jacques Lameloise, Wikipedia).
Hal menarik lainnya, ide mengenai “bumbu suara” (sonic seasoning). Prof. Charles Spence dan tim risetnya menemukan bahwa dengan mendengarkan musik-musik dengan pola irama tertentu, ternyata persepsi kita terhadap rasa manis, asam dan pahit dapat meningkat hingga 15%. Begitu pula ketika suatu makanan khas daerah tertentu disajikan dengan musik khas daerah tersebut akan terasa lebih otentik dibandingkan jika makanan yang sama disajikan dengan musik lain atau tanpa musik sama sekali. Bunyi renyah yang kita dengar ketika kita mengunyah makanan tertentu ikut mempengaruhi pula persepsi kita tentang rasa karena otak kita umumnya mengasosiasikan renyah dengan tingkat kesegaran bahan makanan, terutama untuk buah-buahan dan sayur-sayuran.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan sentuhan oleh indra peraba kita? Persepsi rasa makanan juga dipengaruhi oleh sensasi yang dirasakan oleh kulit kita. Sebagai contoh, berdasarkan penelitian, ternyata makanan akan terasa lebih enak jika disajikan dengan sendok/garpu yang lebih berat karena otak kita mengasosiasikan berat dengan kualitas. Pada saat yang sama, makanan yang disajikan di dalam mangkuk yang kita pegang (bukan diletakkan di atas meja) membuat kita merasa lebih cepat kenyang meskipun porsinya sedikit.
Ilustrasi makan dengan garpu. (Wikipedia)
Contoh sederhananya, ketika Anda menikmati eskrim stroberi, kita akan mengasosiasikan rasa es krim tersebut dengan rasa manis, asam, aroma buah stroberi, warna merah, dan sebagainya. Satu saja ekspektasi ini berubah, pengalaman rasa yang Anda nikmati akan berubah. Belum lagi jika Anda melibatkan nostalgia di dalamnya, misalnya pengalaman masa kecil yang mengingatkan Anda ketika kakek Anda membelikan es krim stroberi setiap Anda berkunjung ke rumahnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa Penting untuk Menikmati Makanan dengan Khusyuk?
Makanan adalah kebutuhan dasar manusia untuk tetap hidup, semua orang tahu tentang ini. Tetapi, seberapa banyak orang yang benar-benar menghargai makanan? Makan adalah pengalaman universal, tapi pada saat yang sama merupakan pengalaman paling personal.
Makan dan makanan merupakan salah satu “bahasa” pertama yang kita pelajari. Ketika kita masih bayi, kita makan sebelum kita berpikir, sebuah tindakan alamiah tanpa sadar yang didorong oleh insting untuk bertahan hidup. Kemudian, ketika tumbuh semakin dewasa, makan menjadi suatu tindakan sadar namun tetap mempunyai sisi tak sadar di dalamnya.
Sederhananya seperti ini. Ketika Anda lapar dan tersedia makanan di depan Anda, sebelum memutuskan untuk makan, ada keinginan dan pilihan sadar yang berkelindan dalam pikiran Anda. Lalu, ketika Anda makan, proses-proses selanjutnya sudah seperti otomatis saja, Anda mengunyah makanan antara sadar dan tak sadar, termasuk menikmatinya dengan 2 indra utama: lidah dan hidung. Sisanya? Sepenuhnya dikendalikan oleh saraf-saraf tak sadar ketika makanan masuk ke kerongkongan dan dicerna oleh perut Anda.
ADVERTISEMENT
Menikmati makanan dengan khusyuk akan mendorong kita untuk menjadi manusia yang sadar akan tindakan kita ketika makan. Tahu batas kapan berhenti, tidak terjebak menjadi rakus, serta sadar memilih makanan apa dan berapa jumlahnya yang baik untuk tubuh kita sekaligus baik untuk alam sekitar. Namun, pada saat yang sama, kita juga akan menghargai makan sebagai suatu bahasa cinta, ungkapan rasa syukur, dan pengalaman yang dapat dinikmati sepenuhnya oleh seluruh pancaindra, tanpa rasa bersalah atau bahkan membenci makanan tertentu.
Makan dengan khusyuk (mindful eating). (Bellamavro, Wikipedia).
Dalam aspek ini, gastrofisika memberikan harapan baru bagi kita untuk menyikapi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan pola makan dan nutrisi, misalnya obesitas, kurang gizi, limbah makanan, serta konsep keberlanjutan (sustainability) yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Rekayasa terhadap cara kita mempersepsikan makanan dengan seluruh pancaindra dapat membantu kita mengubah pola makan menjadi lebih sehat, tak hanya untuk tubuh kita, tetapi juga lingkungan kita.
ADVERTISEMENT
Referensi:
1. Spence, Charles (2017): Gastrophysics: The New Science of Eating. VIKING, Penguin Random House LLC, New York, USA.
2. Steel, Carolyn. (2020): Sitopia: How Food Can Save the World. VINTAGE, Penguin Random House UK, London, UK.
3. Mouritsen, Ole G. (2012): The Emerging Science of Gastrophysics and Its Application in the Algal Cuisine. Flavour 1(1): 6.
4. Mouritsen, Ole G., Risbo, Jens. (2013): Gastrophysics-Do We Need It? Flavour 2(1): 3.
5. Top Chef Charles Michel: We Should Eat with Our Hands. https://www.stuff.co.nz/life-style/food-wine/113533300/top-colombian-chef-charles-michel-heading-to-wellington-for-handson-experiences
6. A Guide to Conscious Eating. https://charlesxmichel.com/consciouseating