Stetoskop, Alat Kesehatan Ikonik Sepanjang Masa

Hesty Susanti
Ph.D in Eng. Physics - Lecturer and Researcher at School of Electrical Engineering, Telkom University (Biomedical Engineering and Ultrasound/Acoustic based Measurement) - Art Enthusiast - Writer and Philomath. https://linktr.ee/maktjik
Konten dari Pengguna
21 Februari 2022 16:03 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesty Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Stetoskop mungkin merupakan alat kesehatan paling ikonik yang pernah ada. Keberadaannya sering diasosiasikan dengan profesi dokter. Rasanya tidak lengkap ketika seorang dokter tidak membawa stetoskop selama ia bekerja. Namun, tahukah Anda bagaimana alat revolusioner ini bekerja?
Dokter sedang memeriksa pasien menggunakan stetoskop. Standardized Patient Program examining the abdomen, Photo by Steve Perrin. University of Michigan Medical School Information Services. (https://en.wikipedia.org/wiki/File:Standardized-Patient-Program-examining-t_he-abdomen.jpg)
Sejarah Stetoskop
ADVERTISEMENT
Pada zaman dahulu, para dokter mulai menyadari bahwa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh organ-organ tubuh dapat memberikan informasi yang berharga tentang kondisi kesehatan seseorang. Bunyi-bunyi itu kadangkala dapat terdengar langsung dari jarak sekian meter, namun tak sedikit pula yang harus didengarkan dengan seksama dengan cara mendekatkan telinga ke dekat organ yang menjadi sumber bunyi tersebut. Sebut saja misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh detak jantung, paru-paru atau organ-organ pencernaan. Metode ini disebut sebagai auskultasi, yaitu kegiatan mendengarkan bunyi dari dalam tubuh, berasal dari Bahasa Latin, auscultatio yang berarti kegiatan mendengarkan.
Agar dapat didengarkan dengan jelas, dahulu para dokter harus menempelkan telinga mereka langsung ke dekat organ-organ tersebut, misalnya permukaan dada atau permukaan perut pasien. Metode ini dikenal sebagai auskultasi langsung (immediate auscultation). Auskultasi langsung ini tentu saja menjadi tidak nyaman untuk dilakukan, baik bagi dokter maupun bagi pasien. Selain itu, seringkali pula metode ini tidak terlalu efektif, bunyi-bunyi dari organ-organ dalam tubuh tadi belum sepenuhnya dapat didengar dengan baik.
ADVERTISEMENT
Pada 1816, seorang dokter berkebangsaan Perancis, René-Théophile-Hyacinthe Laennec, menemukan metode yang lebih cerdik untuk mengatasi kondisi ini. Dalam bukunya yang diterbitkan tiga tahun kemudian yang berjudul De l’Auscultation Médiate, Laennec menyebutkan ketidaksetujuannya akan metode auskultasi langsung. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1800-an, standar higienitas masyarakat tidak seperti sekarang, sehingga bisa dibayangkan bahwa auskultasi langsung ini sangat-sangat tidak nyaman untuk dilakukan oleh para dokter.
Laennec pada awalnya mencoba membuat gulungan beberapa lembar kertas menjadi tabung untuk mendiagnosis seorang pasien yang ia curigai mengalami gangguan jantung. Satu sisi gulungan kertas tersebut ditempelkan ke tubuh pasien, sedangkan sisi lainnya ia tempelkan ke telinganya. Dengan metode ini, Laennec menemukan bahwa suara jantung pasien tersebut dapat didengar dengan lebih jelas. Ia kemudian menyempurnakan metodenya dengan merancang sebuah instrumen tabung berongga yang terbuat dari kayu. Rancangan akhir tabung kayu ini memiliki panjang 30 cm, diameter dalam sekitar 1 cm, dan diameter luar sekitar 7,5 cm.
Stetoskop pertama karya Laennec. Laennec's stethoscope. Science Museum London. (https://en.wikipedia.org/wiki/File:Laennecs_stethoscope,_c_1820._(9660576833).jpg)
Dalam bukunya, Laennec menamai instrumen temuannya ini sebagai stetoskop. Dalam buku tersebut ia menjabarkan pula tentang hasil penelitiannya mengenai stetoskop dilengkapi interpretasi bunyi-bunyi organ dalam tubuh, seperti bunyi paru-paru, jantung, dan suara ucap. Buku karya Laennec ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh John Forbes, sahabatnya yang seorang dokter berkebangsaan Inggris, menjadi A Treatise on the Diseases of the Chest and on Mediate Auscultation.
Gambar rancangan pertama stetoskop Laennec. René-Théophile-Hyacinthe Laennec (1781-1826) De l’auscultation médiate.... First drawings of the stethoscope. René-Théophile-Hyacinthe Laennec (https://en.wikipedia.org/wiki/File:Rene-Theophile-Hyacinthe_Laennec_Drawings_stethoscope_1819.jpg)
Bagaimana Stetoskop Bekerja?
ADVERTISEMENT
Stetoskop modern yang sering Anda lihat tergantung di leher para nakes itu adalah pengembangan dari stetoskop temuan Laennec. Wujudnya sudah berbeda, namun prinsip dasarnya berangkat dari fenomena fisika yang sama. Stetoskop modern yang dikenal luas sekarang dirancang oleh Dr. David Littman dari Universitas Harvard. Littman merancang stetoskop menjadi lebih ringan dan lebih baik kualitas akustiknya dengan bentuk yang kita kenal sekarang.
Stetoskop modern terdiri dari 3 bagian utama, yaitu bell (open bell dan closed bell), selang (tubing), dan headset (earpieces). Bagian bell adalah bagian yang ditempelkan ke tubuh pasien, sedangkan bagian headset adalah bagian yang dimasukkan ke rongga telinga nakes.
Stetoskop modern dan bagian-bagiannya. Scheme of a binaural stethoscope. Single head stethoscope.svg by Jarould (https://en.wikipedia.org/wiki/File:Stethoscope.svg)
Bagian bell terdiri dari dua sisi, open bell yang terbuka, dan closed bell yang tertutup atau dilapisi lapisan membran/difragma tipis yang biasanya terbuat dari logam atau plastik. Apa perbedaan di antara keduanya?
ADVERTISEMENT
Open Bell vs. Closed Bell
Open bell biasanya memiliki diameter yang lebih kecil dibandingkan closed bell, serta memiliki permukaan cekung terbuka dengan ukuran lubang yang dapat diatur. Open bell ini ketika ditempelkan ke permukaan kulit akan berfungsi sebagai penyama impedansi akustik antara kulit dan udara di dalam selang sehingga gelombang bunyi yang dapat dikirimkan ke telinga dokter melalui selang menjadi maksimal. Open bell ini juga berfungsi mengumpulkan atau mengakumulasikan bunyi dari area permukaan yang bersentuhan. Kulit di bawah open bell akan berfungsi seperti difragma. Anda bayangkan saja seperti lapisan kulit sapi yang ditabuh pada alat musik gendang.
Kulit ini memiliki frekuensi resonansi alami atau frekuensi kecenderungan di mana ia akan bergetar. Pada frekuensi resonansi alami inilah bunyi dapat dikirimkan secara maksimal (dengan sangat baik). Faktor yang mempengaruhi frekuensi resonansi alami ini, yaitu tingkat kekecencangan permukaan kulit serta ukuran diameter lubang dari open bell ini. Semakin kencang dokter menekan open bell pada permukaan kulit, maka semakin tinggi frekuensi resonansi alaminya, sehingga pada keadaan tersebut hanya bunyi-bunyi dari organ tubuh dengan nada lebih tinggi saja yang dapat didengarkan dengan baik oleh dokter. Sebaliknya, semakin lebar diameter lubang open bell, maka semakin rendah frekuensi resonansi alami dari kulit di bawahnya. Dengan bentuknya yang lebih kecil dari closed bell, open bell ini dirancang untuk mendengarkan bunyi-bunyi dari organ tubuh dengan nada rendah, seperti bunyi murmur jantung.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan open bell, closed bell memiliki diameter lebih besar dan permukaannya tertutup atau dilapisi dengan membran tipis. Membran tipis ini memiliki nilai frekuensi resonansi alami yang sudah diketahui, biasanya nilainya tinggi. Oleh karena itu, closed bell lebih cocok digunakan untuk mendengarkan bunyi-bunyi dari organ tubuh dengan nada-nada yang lebih tinggi dari bunyi murmur jantung, misalnya suara pernapasan di paru-paru dan suara denyut/detak jantung. Faktor yang mempengaruhi rentang frekuensi atau tinggi rendahnya nada bunyi yang dapat didengar dengan closed bell sama seperti pada open bell, yaitu seberapa kencang dokter menekan permukaannya pada permukaan kulit pasien.
Berapa ukuran komponen-komponen stetoskop yang ideal?
Jika kita ingat kembali, bagian ujung lainnya dari stetoskop ini akan berhubungan dengan telinga dokter sebagai pendengar. Dengan kata lain, pada sisi tersebut kita berurusan langsung dengan membran/diafragma yang sensitif terhadap perubahan tekanan, yaitu gendang telinga kita. Gelombang bunyi sendiri tak lain adalah rangkaian perubahan tekanan dari partikel medium yang dirambatinya, yang dalam hal ini adalah udara yang berada di dalam selang (tubing) dan headset dari stetoskop.
ADVERTISEMENT
Dengan kenyataan ini, maka akan lebih baik jika ukuran volume dari bell sekecil mungkin, karena semakin kecil volume udara, maka semakin besar perubahan tekanan udara yang akan terjadi karena penekanan bell yang dilakukan oleh dokter pada permukaan kulit pasien.
Lalu, bagaimana dengan ukuran selang (tubing)? Sama halnya dengan volume bell, maka ukuran volume selang pun sebaiknya kecil agar volume udara juga kecil sehingga dapat menghasilkan perubahan tekanan udara yang besar. Namun, pada saat yang sama, kita menghadapi masalah lain. Ukuran diameter selang yang terlalu kecil akan menyebabkan terjadinya gesekan yang tinggi antara udara dan permukaan dinding dalam selang. Tentunya hal ini tidak kita inginkan karena gesekan yang tinggi akan menyebabkan gelombang bunyi kehilangan energinya sehingga jumlah yang terkirim ke telinga dokter menjadi berkurang atau bisa kita katakan bahwa efisiensinya menurun.
ADVERTISEMENT
Dari hasil penelitian, untuk bunyi-bunyi dengan frekuensi di bawah 100 Hz, panjang selang tidak terlalu berpengaruh. Namun, di atas nilai ini, efisiensi menurun cukup signifikan jika panjang selang ditambah. Untuk mengompromikan hal ini, dari penelitian diperoleh ukuran optimal tubing, yaitu panjang sekitar 25 cm dan diameter sekitar 0,3 cm.
Bentuk dan ukuran headset pun ikut mempengaruhi kinerja stetoskop. Idealnya, headset harus dapat terpasang dengan rapat pada rongga telinga, sehingga dapat meminimalkan jumlah udara bocor yang merambatkan bunyi dari selang ke telinga dokter. Semakin rendah frekuensi bunyi yang sedang dirambatkan, maka semakin besar kebocoran udara yang mungkin terjadi.
Manfaat Stetoskop
Lalu, untuk apa saja stetoskop ini digunakan? Kalau Anda teliti memperhatikan tiap kali nakes mengukur tekanan darah dengan tensimeter, secara bersamaan, nakes akan menggunakan stetoskop untuk mendengarkan aliran darah di pembuluh darah. Bunyi khas yang dikenal dengan bunyi Korotkoff digunakan sebagai penanda untuk menentukan besarnya tekanan darah sistolik dan diastolik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, stetoskop juga digunakan untuk mendengar bunyi paru-paru yang bisa dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kecepatan, ritme, dan kualitas pernapasan. Adanya bunyi tertentu yang khas dapat mengindikasikan gangguan pada jalan napas atau peradangan pada lapisan paru-paru.
Dalam kasus lain, stetoskop juga digunakan untuk mendengar bunyi jantung yang dapat menandai kecepatan, tipe denyut, dan ritme detak jantung. Pada kasus tertentu, bunyi khas yang dikenal dengan gallops, murmur, atau clicks dari area sekitar dada kiri dapat mengindikasikan gangguan pada jantung. Stetoskop dapat pula digunakan untuk mendengar bunyi yang dihasilkan dari organ-organ pencernaan dan mendeteksi adanya bruits, yaitu bunyi khas seperti whoosing yang mengindikasikan penyempitan pada pembuluh darah arteri. Untuk tingkat lanjut yang memerlukan keterampilan lebih tinggi, dengan teknik tertentu, stetoskop dapat pula dimanfaatkan untuk memperkirakan ukuran lever.
ADVERTISEMENT
Selain kualitas alatnya, pemanfaatan stetoskop harus dibarengi pula dengan keterampilan penggunanya. Oleh karena itu, bunyi-bunyi khas dari organ-organ dalam tubuh manusia hanya dapat dikenal dengan baik dan teliti seiring dengan pengalaman dan keterampilan penggunanya. Perlu jam terbang bertahun-tahun bagi para dokter atau nakes agar telinga mereka akrab dengan bunyi-bunyi khas yang bisa menjadi penanda “teriakan“ tubuh kita atas suatu kondisi tertentu yang tidak biasa.
Referensi
Cameron, J.R., Skofronick, J.G., Medical Physics, John Wiley and Sons, 1978.
Layton, J., How Stethoscopes Work, science.howstuffworkss.com
Paul, The Stethoscopes and How to Use It, mypatraining.com