Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Laut Dipagar, Keadilan Tergadai
27 Januari 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fanesa Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan, laut yang seharusnya menjadi milik bersama kini bisa menjadi milik perseorangan. Di tahun 2023, sudah ada Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan atas area laut, bahkan Hak Milik (HM) pun sudah dikantongi. Fenomena pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, ini jelas memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Keberadaan pagar laut tersebut pertama kali diketahui dari laporan warga yang diterima oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten pada 14 Agustus 2024. Berdasarkan investigasi yang dilakukan DKP bersama Pangkalan TNI AL Banten, Polairud Polresta Tangerang, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Provinsi
ADVERTISEMENT
Banten, awalnya pagar tersebut ditemukan sepanjang 7 kilometer pada 19 Agustus 2024. Namun, meskipun telah diminta untuk dihentikan, pagar tersebut terus dibangun hingga akhirnya membentang sepanjang 30,16 kilometer, melintasi 16 desa di 6 kecamatan, yaitu:
- Kecamatan Kronjo: 3 desa
- Kecamatan Kemiri: 3 desa
- Kecamatan Mauk: 4 desa
- Kecamatan Sukadiri: 1 desa
- Kecamatan Pakuhaji: 3 desa
- Kecamatan Teluknaga: 2 desa
Pagar bambu setinggi sekitar 6 meter ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama nelayan setempat, yang kesulitan mengakses laut untuk mencari nafkah. Akibat pemasangan pagar tersebut, masyarakat mengalami berbagai bentuk kerugian, termasuk hilangnya akses terhadap sumber mata pencaharian, penurunan pendapatan keluarga nelayan, terganggunya jalur transportasi laut tradisional, hingga terbatasnya ruang untuk aktivitas sosial dan budaya yang selama ini bergantung pada laut. Selain itu, pemasangan pagar ini juga memicu konflik antarwarga karena batas-batas yang tidak jelas, mengurangi keanekaragaman hayati karena ekosistem laut terganggu, serta menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat lokal secara keseluruhan. Hal ini adalah bentuk perampasan hak rakyat yang harus ditindak tegas oleh pemerintah. Pelakunya harus dikenai pidana, karena tindakan tersebut tidak hanya melanggar aturan hukum, tetapi juga menodai prinsip keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Laut Indonesia tidak dapat diklaim sebagai hak milik oleh perseorangan atau kelompok, termasuk badan hukum, karena laut merupakan kekayaan negara yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ketentuan ini menegaskan bahwa negara memiliki hak penguasaan atas sumber daya alam, termasuk laut, untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.
Dasar hukum lainnya memperkuat hal ini, seperti Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah bagian dari wilayah kedaulatan negara dan tidak dapat dimiliki oleh pihak tertentu. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyebutkan bahwa laut dan sumber daya kelautan adalah kekayaan yang dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat, dengan tetap menghormati hak masyarakat adat yang diakui. Lebih jauh, peraturan seperti PP No. 24 Tahun 2021 secara tegas menyebutkan bahwa pemberian hak milik atas laut tidak dimungkinkan. Bahkan, menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA), HGB pun hanya berlaku atas tanah di daratan, bukan di wilayah perairan. Berdasarkan keterangan Menteri ATR/BPN, sertifikat HGB atas laut Tangerang adalah cacat administrasi, baik dari segi prosedur maupun materiil. Oleh sebab itu, sertifikat tersebut dapat dicabut sebelum mencapai usia lima tahun sesuai Pasal 64 Ayat (1) PP No. 18 Tahun 2021. Jika melampaui lima tahun, pembatalan dilakukan melalui mekanisme peradilan.
ADVERTISEMENT
Indonesia, yang seharusnya menjadi negara untuk semua warganya, kini seperti terjebak dalam pusaran kekuasaan segelintir orang. Bung Karno pernah berkata bahwa musuh terbesar bangsa ini adalah rakyatnya sendiri yang berjiwa penjajah. Ucapan itu kini terbukti benar. Penjajahan tidak lagi datang dari bangsa asing, tetapi dari mereka yang menguasai sumber daya alam dan ekonomi negeri ini untuk kepentingan pribadi, tanpa memikirkan penderitaan rakyat. Kekayaan alam Indonesia, yang seharusnya menjadi warisan bersama, perlahan-lahan dirampas oleh oligarki. Tanah, bumi, hingga lautan kini dikuasai segelintir elite dengan dalih legalitas. Sementara itu, rakyat kecil hanya bisa menjerit, mencari sesuap nasi di tengah kesulitan hidup yang semakin mencekik. Fenomena pagar laut ini adalah potret nyata ketidakadilan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM) di area laut melanggar asas keadilan dan kedaulatan negara, karena laut adalah wilayah yang tidak dapat dimiliki individu maupun kelompok. HGB yang tidak sesuai aturan, seperti dalam kasus pagar laut dengan sertifikat mayoritas diterbitkan pada 2022-2023, harus segera dicabut oleh Menteri ATR/BPN. Pemerintah juga perlu memastikan HM di area laut dialihkan untuk kepentingan publik melalui mekanisme yang adil. Kekayaan alam Indonesia harus dijaga untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir pihak.