Konten dari Pengguna

Andaikan Saya Bisa Menjadi Totto-Chan!

Hidar Amaruddin
Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan UNU Yogyakarta
8 Januari 2022 6:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru marah. Ilustrasi: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Guru marah. Ilustrasi: freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
(1)
“Kamu harus mengelilingi lapangan sepuluh kali, ucap seorang guru.
ADVERTISEMENT
“Tapi saya terlambat karena...”
"Makanya jangan diulangi lagi."
“Siap, Pak!”
(2)
“Saya cubit dada kamu”, ucap seorang guru agama ketika menegur siswanya yang tidak mengerjakan tugas menulis sepuluh ayat Al-Qur’an.
“Sakitttt, Pakkk”, siswa itu meringis kesakitan.
“Setelah itu, ambil satu kursi, lalu berdiri di atasnya, lalu hadap keluar pintu kelas”
(3)
“Kenapa kau bertengkar dengan temanmu?”
Plakkkkk....
“Aduh...”
“Kenapa saya ditampar?”
“Karena kau tiap hari bertengkar.”
(4)
“Cabuti rumput di musala sekolah.”
“Sampai bersih, Pak?”
“Sampai kamu menyadari kesalahanmu.”
“Tapi saya terlambat karena diare, Pak.”
“Maka dari itu, bangunlah lebih pagi!”
(5)
“Bodoh banget sih. Jawab soal matematika saja tidak bisa.”
“Saya belum paham, Bu.”
“Kan sudah saya beri kesempatan untuk bertanya.”
ADVERTISEMENT
“Nanti saya dimarahain kalau bertanya, Bu.”
“Kata siapa?”
“Sebelum-sebelumnya seperti itu, Bu.”
“Kamu berani membantah?”
“Bukan. .Bukan seperti itu, Bu.”
(6)
“Kok puisimu jelek?”
“Puisi yang bagus seperti apa, Bu?”
“Kata-katanya indah.”
“Indah itu seperti apa, Bu?”
“Itu sudah dicontohkan di buku.”
“Tapi menurut saya, puisi di buku paket jelek, Bu.”
“Apa?”
(7)
“Hari ini, kita praktik olahraga. Kalian boleh istirahat, kalau sudah bisa passing bola voli sebanyak 40 kali.”
“Siap, Pak”. Jawab seluruh siswa serempak. Lalu satu jam kemudian, guru olahraga mulai mencatat nilai berdasarkan laporan siswanya.
“Kamu berapa?”
“Empat puluh, Pak.”
“Yakin?”. Guru tersebut melirik ke temannya yang lain. Gurat wajahnya hendak meragukan.
“Kamu bohong ya?”
“Terpaksa, Pak.”
ADVERTISEMENT
“Saya lebih suka siswa yang jujur.”
“Kalau saya jujur, bisa-bisa saya tidak istirahat. Dan tidak mendapatkan nilai. Kan minimal harus 40 kali passing, Pak.”
“Kalau mencoba, pasti bisa.”
“Saya sudah mencobanya, Pak.”
“Kamu sudah menyerah di awal.”
Peristiwa-peristiwa di atas adalah rangkuman cerita semasa sekolah saya dulu. Kejadian itu saya ambil dari pengalaman saya dan teman-teman satu sekolah. Sebenarnya, masih banyak kejadian lain, tentang hukuman yang bersifat fisik. Guru-guru kami dulu berdalih, dengan hukuman fisik dapat memberikan efek jera. Sedangkan dalam mengerjakan tugas, dituntut harus bisa, apa pun dan bagaimana pun caranya.
Mungkin teman-teman dari generasi boomer dan milenial akrab dengan beberapa kejadian tersebut. Entah mengalami atau hanya sekadar menjumpai. Dulu, hal tersebut dianggap wajar, berbeda dengan sekarang—bisa viral! Dianggapnya wajar, bukan berarti peristiwa di atas menjadi sebuah pembenaran untuk menjustifikasi siswa. Melainkan dari sikap menormalisasi hukuman fisik dan diskriminasi kecerdasan majemuk.
ADVERTISEMENT
Saya pernah mempunyai siswi yang ahli dalam menggambar. Namun saat berangkat ke sekolah, tak ada semangat yang terlihat dari wajahnya. Ternyata dia tertekan karena diminta orang tuanya untuk mendapatkan nilai matematika dengan sempurna. Di lain kesempatan saya juga mendapati seorang siswi yang menangis histeris, karena laporan nilai PTS yang rendah. Ia ketakutan apabila sesampainya di rumah dimarahi oleh ayahnya. Juga seorang siswa yang bersembunyi saat hendak dijemput oleh ibunya untuk pulang. Lembar kertas hasil ulangan ia remas-remas dan dibuang ke sampah. Siswa tersebut tak ingin ibunya mengetahui nilainya. Belum lagi saya sering mendengarkan curhatan anak-anak generasi Z yang menceritakan keluh kesah mereka yang selalu dibanding-bandingkan, entah dengan saudara, ataupun anak tetangga.
ADVERTISEMENT
Saya kira ketiga generasi X, Y, Z, masih saja terdapat iklim pendidikan yang tidak sehat. Kalau bukan hukuman fisik, pastikan paksaan verbal. Devis et. al. (2017) dalam book chapter yang berjudul “The Theory of Multiple Intelligences”, teori kecerdasan majemuk memang bertujuan untuk menghargai pluralistik kecerdasan yang dimiliki oleh tiap individu: logis-matematis, verbal-linguistik, spasial, kinestetik, dll. Konsep tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan sistem yang diciptakan di sekolah. Penyeragaman kecerdasan membuat teori Gardner hanya sebagai ujaran pemanis. Sekalipun satu-dua orang guru menerapkannya, toh dalam hasil belajar tetap menjadikan rata-rata nilai semester sebagai puncak nilai.
Meski sistem belum mendukung secara penuh, paling tidak guru mempraktikkan konsep kecerdasan majemuk (Gardner) dan kecerdasan sosial/emosional (Goleman) kepada anak didiknya. Agar tak muncul pemaksaan-pemaksaan yang tidak perlu dilakukan. Pemaksaan hanya memberikan tekanan, kemudian menjadi sebuah bom waktu yang dapat meledak tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Pemakluman seperti anak yang lemah dalam matematika, olahraga, bahasa, dan keilmuan lain selayaknya diberikan. Bukan sebagai normalisasi kemalasan, melainkan sebagai toleransi. Pemberian tugas tetap diberikan, peraturan tetap dijadwalkan, pengajaran tetap dilaksanakan, pemberian contoh dilakukan, evaluasi tetap menjadi akhir dari proses penilaian. Tetapi apabila didapati beberapa anak yang lemah dalam keilmuan tertentu, padahal proses belajar telah mereka lakukan, maka jalan satu-satunya adalah pemakluman, bukan penghakiman. Yang terpenting para siswa sudah ikut memperjuangkannya kan?
Semoga generasi selanjutnya, tak ada lagi yang mengalami hukuman fisik, ataupun diskriminasi kecerdasan majemuk. Selayaknya pendidik memberikan contoh, sebelum menugaskan. Alih-alih memberi hukuman, lebih baik memberikan bekal pencegahan hal-hal negatif. Kekerasan fisik dan verbal tak perlu dilanggengkan di dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Ah, saya jadi teringat cerita dalam buku Totto-chan. Ternyata seorang anak memiliki imajinasi dan kemampuan berpikir yang menakjubkan. Meski awalnya kurang beruntung, akhirnya Totto-chan menemukan tempat baru. Ada sepenggal kisah yang menggelitik saya, yaitu ketika Totto-chan mencoba menghibur para tentara yang sedang terluka, dengan menyanyikan lagu selamat makan. Lagu yang biasa ia nyanyikan bersama teman-temannya di sekolah. Keheningan sesaat membuatnya merasa takut kalau apa yang dilakukan adalah sebuah kekeliruan. Namun tentara dan orang di sekitarnya justru ikut tertawa bahagia.
Belum lagi berbagai kisah-kisah menarik di sekolah yang terdiri dari gerbong-gerbong kereta itu. Di mana kekurangan dan kelebihan siswa adalah keniscayaan, tak ada yang menertawakan kesalahan, sekolah menjadi tempat ternyaman untuk belajar dengan cara menyenangkan. Andaikan saya bisa menjadi Totto-Chan!
ADVERTISEMENT