Konten dari Pengguna

Beragam Kreasi Sesuai Perbedaan Generasi

Hidar Amaruddin
Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan UNU Yogyakarta
9 Juni 2022 12:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seni Tradisi. Ilustrasi diambil dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Seni Tradisi. Ilustrasi diambil dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Hari ini, telah lebih dari dua puluh tahun lamanya pasca reformasi. Artinya zaman telah berganti, siswa telah berbeda generasi, tetapi apakah cara mengajar mengalami stagnansi? Bagi generasi alpha yang hidup dimanjakan oleh teknologi, tentunya dengan mudah mengakses berbagai informasi. Sekarang, guru tidak menjadi pihak tunggal yang dapat memberikan pengetahuan kepada siswa.
ADVERTISEMENT
Jika materi yang ada di sekolah semuanya sudah termaktub di mesin pencari Google, lalu apa fungsi sekolah dewasa ini? Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah tidak ada yang berubah dengan proses pembelajaran di sekolah? Apabila tidak ada inovasi yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran, niscaya siswa lebih tertarik dengan gawainya, dibandingkan pembelajaran. Lambat laun, sekolah menjadi selingan dalam kehidupan mereka.
Akhir-akhir ini ada banyak sekali istilah-istilah baru di dunia pendidikan. Entah itu berwujud kurikulum, kebijakan, idiom, atau akronim. Kali ini saya tidak akan berbicara perihal kurikulum merdeka, melainkan lebih condong kepada pembahasan inovasi pembelajaran yang telah melahirkan berbagai macam akronim dan singkatan yang lama-lama membuat jengah juga. Karena sekalipun frasanya berbeda, tetapi sebenarnya esensinya sama. Hanya ganti susunan akronim saja.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui jika perbedaan generasi siswa, turut membuat cara mengajar berbeda pula. Tak bisa menyamakan gaya mengajar zaman orde baru dengan sekarang. Kalau guru masih saja asyik dengan cara lawas, yaitu menyalin teks yang ada di buku paket lalu diucapkan ulang kepada siswa di kelas, lantas kenapa tidak meminta siswa saja untuk membacanya sendiri? Dari mana siswa dapat mengelaborasi materi, jika gurunya saja jarang menghadirkan pembelajaran yang tematik dengan konsep lainnya.
Seperti ketika mengajarkan PPKn, bukankah materi kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keilmuan lain seperti sejarah, sosiologi, dan budaya. Pembelajaran tidak bersifat tunggal dan normatif saja, berikan pengalaman empiris masa lampau dan sekarang. Tentunya tidak perlu memakai embel-embel ketiga keilmuan tersebut. Dalam menjelaskan materi butir-butir Pancasila, guru sebisa mungkin mengaitkannya dengan asal-usul lahirnya Pancasila beserta butir-butirnya sebagai manifestasi atau perwujudan konkret dari sila Pancasila. Kemudian dilanjutkan dengan fakta sosial yang terjadi saat perumusan Pancasila berlangsung. Sampaikan secara multidisiplin dengan bahasa yang sederhana, tak perlu memakai istilah-istilah arkaik, ilmiah, apalagi ndakik-ndakik.
ADVERTISEMENT
Selain itu gaya mengajar perlu diperhatikan. Tidak ada yang salah dengan metode ceramah. Yang tidak tepat adalah menggunakan ceramah sebagai alibi kemalasan. Ceramah boleh-boleh saja, diiringi dengan intonasi, mimik wajah, dan ekspresi yang tepat. Sehingga kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang guru itu terkesan menarik untuk didengarkan. Ekspresi gerak tubuh juga seperti menegaskan beberapa kata yang sifatnya substansi. Siswa dapat memvisualisasikan materi dengan cara melihat gurunya mengajar dengan ekspresif. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang meninggalkan kesan kepada diri siswa.
Materi multidisiplin telah diuraikan, gaya mengajar ekspresif telah dilakukan, lalu kenapa di waktu-waktu tertentu masih saja gagal? Sebenarnya tidak sepenuhnya gagal. Di sekolah itu memang memiliki jam-jam rawan, yang mana para siswa banyak melamun, tatapan kosong, atau bahkan terlelap. Banyak faktor yang menyebabkannya, seperti tumpukan kalori yang tidak dibakar secara maksimal, kelelahan, atau kebosanan yang telah memuncak. Acapkali guru membiarkan hal tersebut, karena merasa jika tatapan siswa masih menghadap dirinya, artinya keadaan masih baik-baik saja. Memang benar siswa mendengarkan. Tetapi mendengarkan belum tentu mampu memahami pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Cara yang dapat dilakukan guru untuk memecah kebosanan tersebut dengan ice breaking. Ada banyak sekali jenis ice breaking yang dapat dimainkan. Namun saya menyarankan, pilihlah ice breaking yang sesuai dengan keadaan siswa. Mempertimbangkan perbedaan generasi tetap menjadi dasar pemilihan. Menciptakan sekaligus menghadirkan bentuk-bentuk ice breaking yang out of the box, dapat memantik antusiasme siswa. Ice breaking yang kuno dan itu-itu saja, tak lebih hanya menjadi gerakan sia-sia, tanpa memberikan manfaat apa-apa. Untuk itu, seorang guru harus memiliki “kreativitas” yang tinggi dalam berkesenian. Membuat gerakan baru, dengan diiringi musik yang pas, tentu bukan hal yang mudah.
Berbicara tentang kesenian, beberapa ahli dan praktisi seni memberikan kritik dan masukan terhadap proses pembelajaran di kelas yang telah meninggalkan seni tradisi. Siswa sebenarnya tidak menolak atau skeptis dengan seni tradisi yang adiluhung tersebut. Hanya saja karena penyampaiannya yang tidak disesuaikan dengan generasi mereka, berakibat munculnya anggapan kuno dalam benak siswa.
ADVERTISEMENT
Fenomena itu menjadikan seni tradisi menjadi arkais, hingga menciptakan jarak antara pewaris dengan yang diwariskan. Siswa sebagai generasi penerus tidak memiliki minat untuk merawatnya. Faktor kausalitas muncul dari “budaya pop”. Pop culture (budaya pop) adalah budaya yang digandrungi dan dikonsumsi secara massal oleh khalayak sekarang. Komponen budaya pop dewasa ini, dari platform media (TikTok, IG, Youtube), budaya asing (Korean Wave dan KPOP), dan masih banyak lagi.
Guru dapat mengakali dengan cara menghadirkan seni tradisi melalui budaya pop. Seperti menyisipkan beberapa modern dance yang dikolaborasikan dengan tari tradisional di dalam gerakan ice breaking. Menampilkan editan foto Opa-Opa Korea yang juga turut bermain gamelan. Bisa juga memilah-milah adegan dalam video artis Korea yang juga mempraktikkan kesantunan terhadap orang yang lebih tua atau patut untuk dihormati. Di akhir, guru memberikan konfirmasi dengan menggabungkan dua ekspresi: candaan dan keseriusan. Candaan ketika menanggapi inovasi tersebut. Keseriusan dalam memeberikan penegasan kepada siswa untuk turut melestarikan seni tradisi adiluhung yang dimiliki bangsa.
ADVERTISEMENT
Agak kontradiktif sebenarnya. Di satu sisi, banyak yang telah melupakan seni tradisi. Di sisi lain, sering kita telat sadar kalau negara lain telah mengklaimnya. Alih-alih mencari cara untuk merawat seni tradisi, justru generasi kita sibuk menuliskan caci-maki, yang dialamatkan kepada negara lain yang diduga “mencurinya”.