Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Corat-Coret yang Bikin Kaget
11 April 2022 11:24 WIB
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jika kamu ingin menanyakan kebenaran, tanyalah kepada anak-anak. Niscaya kamu akan memperoleh kejujuran dari mereka.”
ADVERTISEMENT
Tentu kita sering mendengar adagium semacam itu. Barangkali nasihat itu muncul atas segala kegelisahan yang menyelimuti dunia orang dewasa—segala macam drama dan kebohongan. Malah saya meyakini, jika memang sejatinya hidup adalah drama itu sendiri. Proses hidup pasti memerlukan drama, untuk menghindarkan kita dari konflik-konflik yang tak memberikan manfaat apa pun, sekalipun kita menghadapi dan menyelesaikannya.
John Locke mengatakan jika anak yang baru lahir itu ibarat kertas kosong, karakter yang terbentuk tergantung pengalaman apa saja yang dihadirkan dalam hidupnya. Anak itu bisa menjadi jujur, apabila dibiasakan jujur. Anak itu menjadi seorang pembohong, apabila terbiasa berbohong. Kebiasaan itu sebenarnya tidak muncul dengan sendirinya, melainkan hadir dari lingkungannya. Fenomena itu kemudian diserap dan diimitasi oleh anak, kemudian terjadilah praksis baru pada diri anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Maka pernyataan anak itu sepenuhnya jujur, pun kurang tepat. Selayaknya remaja dan orang dewasa, anak tetaplah manusia sebagaimana mestinya. Sikap dan perilakunya menyesuaikan konteks yang ada.
Dulu ketika saya masih menjadi guru, yang paling merepotkan adalah mengonfirmasi aduan-aduan para siswa, entah kepada gurunya sendiri atau orang tua mereka. Membedakan mana yang asli dan mana yang pura-pura. Bersifat objektif bukanlah perilaku gampang. Hanya untuk kasus aduan, saya perlu menelusurinya secara mendalam Agar tak sembrono ketika memutuskan sesuatu.
Bersyukur jika seandainya hanya ada satu aduan, berbeda kalau ada dua aduan yang saling bertentangan. Aduh, bisa repot nanti ke depannya. Contoh saja, saya pernah mendapatkan aduan, jika siswi yang bernama Mira (samaran) menggambar alat kelamin laki-laki di buku paketnya. Setelah saya mengeceknya, memang benar gambar itu ada di sana. Bahkan, tidak hanya satu gambar (penis), tetapi juga ada coretan berbentuk vagina.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah jam kosong, saya memanggil Mira. Ia belum tahu apa-apa, karena pengecekan buku sebelumnya, saya lakukan secara diam-diam. Lantas saya memintanya membawa buku paket, dan membukanya pada halaman belakang. Hingga gambar itu tepat di depannya, ia tak bereaksi apa pun. Ia diam tak berkata.
“Apa benar kamu yang menggambarnya, Mira?”, pertanyaan itu saya ulang hingga tiga kali, karena tak mendapatkan respon darinya. Kami sama-sama terdiam. Hingga akhirnya jawaban Mira memecah keheningan.
“Iya, Pak. Saya menggambarnya”, sekalipun mengangguk, ia tak berani menatap. Tentu sebagai gurunya, saya harus bersikap objektif, meragukan segala, apabila belum ada bukti apa-apa. Namun tak dapat dipungkiri, terbesit rasa kecewa yang saya pendam dalam-dalam. Bagaimanapun juga, Mira termasuk siswa yang ceria, pintar, dan jujur. Bahkan saya sering meminta bantuannya untuk sekadar membawakan buku, atau mendengarkan cerita-cerita terbaru tentang anime darinya. Mendengarkan ia bercerita dengan segala gerak-gerik lucunya, menjadi hiburan tersendiri. Namun saat ini, rasa gembira itu seakan padam.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya turut menanyakan alasan ia menggambar objek tersebut, tetapi lagi-lagi nihil. Pada jam lain, pun saya menanyakan hal serupa kepada teman terdekatnya, mereka melakukan respon yang sama: mengangkat bahu, sambil menggelengkan kepala.
Alhasil satu-satunya jalan, saya harus memanggil orang tua Mira. Saat ibunya datang, kami mengobrol cukup lama. Ibunya bercerita, jika di rumah Mira selalu ditemani oleh nenek dan ibunya. Barangkali nenek dan ibunya sudah hafal dengan seluruh kegiatan Mira di rumah.
“Anak saya semalam bercerita, jika ia terpaksa mengakui, sekalipun itu bukan perbuatannya.”
“Kenapa bisa begitu, Bu?”
“Ia beralasan tidak mau memperpanjang masalah. Maka dari itu ia menganggukkan kepala. Sebagai cara agar masalah itu lekas dihentikan.”
“Berarti bukan Mira pelakunya.”
ADVERTISEMENT
“Jelas tidak, Pak. Sampai sekarang pun kami belum tahu siapa orangnya. Hanya saja saya selaku koordinator wali murid kelas ini, sebenarnya sudah mengantongi nama-nama anak yang sering berkata kasar dan kotor, serta berperilaku tidak semestinya di usia anak-anak.”
“Apakah mereka pelakunya? Bu?”
“Maaf, saya kurang tahu, Pak.”
“Siapa anak-anak itu?”
“Sekali lagi saya mohon maaf. Agaknya kurang bijak jika saya memberitahukannya, Pak. Toh, nama-nama itu juga masih dugaan saja dari wali murid lain.”
Kami pun sepakat jika Mira bukan pelaku. Kebebasan akses teknologi memang menghadirkan efek yang bermacam-macam. Salah satunya adalah konten-konten dewasa yang bisa dilihat oleh siapa saja, tak terkecuali oleh anak-anak. Karakter yang belum terbentuk sepenuhnya, membuat mereka mengadopsi berbagai hal yang ada di sekitar.
ADVERTISEMENT
Teknologi digital memang mempermudah segala aspek dalam kehidupan kita. Namun hal-hal toxic seperti umpatan, hujatan, perundungan, konten dewasa, bertebaran di mana-mana. Dari yang berbentuk aplikasi, iklan, hingga virus di dunia maya.
Coretan gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan di buku paket Mira bukanlah bentuk sex education. Apabila diartikan, gambar itu layaknya makian berbentuk gambar dua dimensi, yang sebenarnya sering kita lihat di berbagai tempat. Daripada sibuk mencari pelaku, lebih bijak berpikir bagaimana caranya, agar kejadian serupa tak lagi terulang.