Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Keterampilan yang Tak Pernah Didapatkan Semasa Kuliah
16 Februari 2022 15:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun kedua saya menjadi guru, dan sudah dua tahun saya mengajar di kelas tiga sekolah dasar. Dari segi persiapan mental, tentu sudah mencapai tahap “sangat siap!” Berbeda jika berbicara perihal administrasi, lagi-lagi saya harus belajar lagi, kurikulum ganti lagi, kebijakan berubah lagi. Tak mengapa, sudah menjadi tugas guru untuk untuk mengaktualisasi pemikiran—pun bagi yang mau, yang masih bertahan dengan budaya pengajaran lama: banyak!
ADVERTISEMENT
Toh semasa kuliah memang sudah mempelajari dua kurikulum yang sedang dipakai pemerintah kala itu. Kenapa ada dua? Ya tentu saja dalam pergantian kurikulum tidak terjadi mendadak, ada masa transisi, dilakukan tahap demi tahap. Lima disiplin ilmu pun telah saya pelajari berulangkali. Berbagai seminar dan pelatihan kurikulum baru telah usai dilalui. Namun yang perlu diingat, jadi guru tak semudah memberikan petuah. Ada saja hal-hal tak terduga, seperti waktu itu...
“Pak, kok baunya busuk banget di belakang,” celetuk beberapa siswa di kelas.
“Mana? Tidak ada kok”, bukan maksud menepis protes siswa, namun saat itu memang saya belum mencium bau yang dimaksud.
“Serius, Pak. Ini baunya nusuk hidung. Hampir bikin orang pingsan”, seketika AC serasa mengalirkan udara begitu kencang, seperti hendak menampar saya yang merasa tak berdosa. Kemudian sampailah bau busuk itu merasuk ke lubang hidung. Karena saya seorang guru, mau tidak mau harus terlihat bijak di depan kelas. Sekalipun mulut saya terkunci rapat, menahan rasa ingin muntah.
ADVERTISEMENT
“Bau apa ini? Bangkai tikus?” Saya pura-pura melempar pertanyaan asal-asalan, padahal sudah menduga asal-muasal bau tersebut. Dalam hitungan detik, mata saya mengobservasi raut wajah semua siswa di kelas. Tampaklah satu wajah dengan ekspresi pucat, menunduk, dengan keringat dingin deras bercucuran. Nah, pasti dia!
“Coba jalan ke belakang, Pak. Sepertinya ada yang buang angin”, ucap salah satu murid. Saya membatin, ya kali kalau cuma buang angin, pasti baunya cuma bertahan dalam beberapa detik. Kasus ini berbeda, dan semoga dugaan saya salah. Namun kenyataan berkata lain.
“Kamu kenapa?” tanya saya kepada salah seorang siswa pucat tersebut.
“Saya kelepasan, Pak. BAB di celana,” sontak seisi kelas kaget. Beberapa siswa ada yang semakin rapat menutup hidungnya, ada yang berteriak, dan ada yang tertawa mencemooh. Untuk menghindari praktik perundungan, lekas-lekas saya menjelaskan.
ADVERTISEMENT
“BAB di celana bisa saja karena penyakit diare, tak boleh menertawakan teman yang sedang sakit, bisa-bisa esuk pagi bisa berbalik ke kamu. Sebagai pelajaran yang lain, kalau sudah merasa mules, perut melilit, segera ke kamar mandi. Kasihan jika orang lain merasa dirugikan,” usai menasihati, saya memapah siswa tersebut menuju ke kamar mandi.
Dia anak laki-laki yang sering terlambat datang ke sekolah. Kabarnya sering tertidur ketika sedang disuapi ibunya, atau ketika sedang BAB di kamar mandi. Alih-alih membutuhkan pertolongan saya untuk membersihkan kotoran di celananya, ternyata ia merasa malu, dan memutuskan untuk membersihkan sendiri badan dan celananya. Sabun dan celana panjang olahraga sebagai ganti sudah saya berikan, lalu saya kembali menuju kelas. Belum sempat mengajarkan apa pun, saya sontak teringat, “Duh, anak itu kan tidak punya celana dalam!”
ADVERTISEMENT
Untungnya sekolah tempat saya mengajar terbilang berada di kota. Samping sekolah terdapat minimarket, sehingga memudahkan saya untuk membelikan celana dalam baru. Di depan kamar mandi, saya mengetuk pintu. Lantas kepala anak itu nongol di balik pintu, bebarengan dengan tawa kecilnya. Untunglah ia tak kena mental. Lalu segera saya menyodorkan celana dalam ganti. Beberapa jam selanjutnya, pembelajaran sudah berjalan seperti biasa.
***
Usai sholat dzuhur berjemaah adalah jam istirahat. Waktu untuk makan siang, sembari mengatur napas yang tersengal-sengal, karena tak ada hentinya berucap dari pagi sampai tengah hari. Suapan nasi baru sampai ke depan mulut, tiga orang siswa menghampiri saya ke kantor.
“Pak, Pak, dia BAB lagi.”
“Ya biarkan. BAB kok heboh. Kan perutnya sakit.”
ADVERTISEMENT
“Masalahnya dia BAB di celana lagi, Pak. Teman-teman belum ada yang bisa makan siang karena mual dengan baunya.” Begitulah, saya pun meletakkan suapan pertama yang belum sempat saya lahap.
Sesampainya di kelas, saya melakukan pertolongan persis seperti sebelumnya, memapah dan memintanya mandi. Celana dalam ganti yang kedua saya berikan. Menurut kabar dari siswa yang lain, ia BAB saat rukuk sewaktu sholat dzuhur. Orang tua siswa itu sebenarnya sudah saya hubungi berulangkali, namun belum ada jawaban. Mungkin ayahnya sedang luar kota, dan ibunya sibuk bekerja. Namun ia tak mau untuk saya minta beristirahat di UKS. Takut jika ada orang lain tahu, kalau ia sedang diare. Baiklah, saya biarkan ia mengikuti pembelajaran di kelas sebagaimana normalnya.
ADVERTISEMENT
Bel pulang berbunyi. Sebelum pulang semua siswa menjalankan sholat ashar berjamaah. Kebetulan waktu itu saya tidak kebagian menjadi imam, jadi saya tidak terlalu mengawasi tingkah para siswa. Selesai sholat ashar, saya bergegas menuju kantor, ingin melanjutkan makan siang yang tertunda. Dua kali suapan, lagi-lagi beberapa siswa datang ke kantor menemui saya. Serempak mereka berkata.
“Pakkk... Dia BAB lagi.”
“Apa? Beneran?”
“Iya, Pak! Waktu sujud dia BAB di celana lagi.”
Dan untuk ketiga kalinya saya merawat anak tersebut. Celana dalam ketiga dan yang terakhir dari kemasan, saya berikan kepadanya. Siswa yang BAB di celana itu masih bisa tertawa. Tak apalah, daripada ia merasa menderita. Sebelum ia beranjak pulang diantar oleh tukang antar jemputnya, saya berpesan.
ADVERTISEMENT
“Kalau besuk perutnya masih mules, di rumah saja ya.”
“Siap, Pak!” dengan senyum lebar ia melambaikan tangan dan pamit pulang. Mungkin ia bahagia bisa mendapatkan waktu untuk beristirahat karena sakit, atau justru karena ia telah mengantongi izin untuk tidak masuk sekolah beberapa hari ke depan.
Dalam hati saya bertanya, mengapa semasa kuliah saya tak dibekali keterampilan untuk mengatasi anak yang cepirit di celana?