Mau Sampai Kapan Membudayakan Perundungan?

Hidar Amaruddin
Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan UNU Yogyakarta
Konten dari Pengguna
30 November 2021 11:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bullying. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus perundungan fisik yang menimpa siswi di Manado Sultra sempat heboh di medsos. Pemukulan dan makian bertubi-tubi terlontar. Belum lagi peristiwa persekusi yang dilakukan oleh sekelompok siswi terhadap siswa di Wakatobi yang akhirnya tak mendapatkan titik damai, hingga memaksa pihak kepolisian untuk menindak lanjuti kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Kejadian serupa juga terjadi di SD Baubau, Sultra. Seorang guru yang tega merundung muridnya, hanya karena tidak bisa menjawab soal (Nov. 2021). KPAI mengkritik, jika perilaku guru tersebut harus mendapatkan sanksi. Kejadian itu bermula ketika siswa tersebut tak bisa mengerjakan soal, menangis, dan mendapatkan ancaman dari gurunya. Ancaman tersebut berupa perekaman video, yang nantinya akan dikirimkan ke orang tua murid yang sedang menangis tersebut. Tentu saja, pendisiplinan berbeda dengan perundungan. Sikap yang diambil guru tersebut kurang bijak, dan cenderung memojokkan. Sekolah yang seharusnya menjadi implementasi karakter moral, justru membuang wajah terhadap penyimpangan moral (perundungan).
Melansir data dari KPAI yang menerima laporan kasus perundungan sebanyak 37.381 dari tahun 2011 hingga 2019. Terdapat 2.473 kasus terjadi di dunia pendidikan. Padahal di dalam pasal 9 UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak menguraikan bahwa tiap anak memiliki hak untuk diberikan perlindungan dari kejahatan seksual atau perundungan oleh pihak mana pun. Secara tersurat terjadi ketimpangan antara idealnya konsep pendidikan dengan praktik di lapangan.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan semua peran sudah dilakukan oleh keluarga dan sekolah, namun ada satu peran yang kurang mendapatkan perhatian, yaitu “pengawasan”. Apabila praktik perundungan terjadi di sekolah, bisa saja terjadi di luar jam pelajaran. Atau mungkin saat anak hendak berangkat atau pulang sekolah. Di celah-celah inilah praktik perundungan bisa terjadi. Perundungan fisik mungkin bisa terlihat oleh orang tua/sekolah karena membekas. Itupun jika anak mau mengakui bahwa ia mengalami kekerasan fisik. Belum lagi perundungan ejekan atau dijauhi dari pergaulan, yang kasusnya tersembunyi dan samar terlihat.
Bekas kekerasan fisik yang terlihat di tubuh anak, tak serta merta menjadi sebuah penghakiman. Konfirmasi antara ketiga pihak perlu dilakukan, antara guru, orang tua, dan anak. Tak hanya itu, guru pun secara personal menanyakan kronologi kejadian kepada teman sejawatnya secara rahasia dan di luar jam pelajaran.
ADVERTISEMENT
Perundungan yang bersifat ejekan bisa dilihat saat anak sedang maju di depan kelas. Pada saat itu guru mampu mengamati respons verbal dan ekspresi apa saja yang terlontar atau tampak dari teman sejawatnya. Jika ada satu atau dua anak melemparkan ejekan hanya karena anak “belum bisa” melaksanakan tugasnya di depan kelas, guru dengan sigap menetralisir keadaan dengan cara memberikan teguran ringan kepada pelaku.
Kelompok-kelompok kecil juga menjadi alternatif untuk melihat fenomena perundungan “dijauhi pergaulan”. Guru bisa mendata siapa saja anak yang sering tidak mendapatkan kelompok, atau tidak diberikan porsi untuk mengungkapkan pendapatnya di dalam kelompok. Maka dari itu, pembentukan kelompok kecil dalam suasana belajar tidak boleh dilepaskan begitu saja, guru harus membimbing dari awal pembentukan hingga presentasi kelompok. Menciptakan kelompok-kelompok kecil memang bertujuan untuk memutus kesenjangan antara murid yang diasumsikan “pintar” dengan murid yang “kurang cakap”. Namun apabila lalai dalam proses pengawasan tujuan mulia tersebut dapat melahirkan praktik perundungan anak yang “dijauhi dari pergaulan”.
ADVERTISEMENT

Hati-hati dalam Pengawasan

Pengawasan dilakukan secara hati-hati. Guru atau orang tua menjadi observer partisipatif, ikut terjun dalam keseharian anak, tanpa diketahui oleh anak tersebut. Sifat rahasia dalam pengawasan itu akan bermanfaat untuk melihat fenomena lebih natural, tanpa ada intervensi apa pun. Peraturan dibuat bukan untuk mengekang, dan sudah selayaknya aturan lahir dari sebuah kesepakatan. Hukuman memang bukan menjadi opsi utama di dunia pendidikan, namun sanksi yang mendidik juga harus ditegakkan.
Guru bisa memberikan buku monitoring sikap anak selama di sekolah. Jika terdapat pelanggaran, guru akan mencatatnya dan meminta anak untuk memberikannya kepada orang tua agar ditandatangani. Tak sebatas itu, komunikasi langsung diperlukan, agar tidak memunculkan kesalahpahaman. Buku sikap hanya mencatat pelanggaran berat yang membutuhkan peran orang tua untuk ikut serta dalam membina anak.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, perundungan tidak hanya terjadi saat anak berada di sekolah. Di masa pandemi seperti ini, semua komunikasi bersifat daring, termasuk “belajar dari rumah”. Pengawasan intensif dilakukan oleh orang tua untuk mencegah adanya cyberbullying yang bisa menimpa anak kapan saja. Pengecekan bisa dilakukan melalui akun medsos anak, dari histori, notifikasi, dan konten yang tersaji. Sikap “meragukan” boleh-boleh saja, tetapi tetap dalam koridor “rahasia”. Sebagai contoh histori pencarian di aplikasi youtube. Pengecekan secara mendalam dilakukan dengan menampilkan histori tontonan dan riwayat pencarian secara bergantian. Notifikasi tidak hanya dilihat dari teman pengguna, namun juga dari pengguna medsos. Komentar apa saja yang sering dituliskan anak pada postingan yang lewat di beranda. Selain itu cobalah sesekali membuka WhatsApp anak, apakah ada grup yang terasa mencurigakan atau tidak penting? Cek isi grup yang mencurigakan tersebut. Apabila diperlukan, anak diminta keluar dari grup WA yang tidak memberikan manfaat apa pun. Hal itu tidak dilakukan karena orang tua merasa paranoid, tetapi menjadi salah satu alternatif untuk mencegah terjadinya cyberbullying.
ADVERTISEMENT
Anak-anak di kelas tinggi sekolah dasar hingga menengah pertama mengalami masa-masa awal pubertas secara fisik dan psikis. Masa-masa itu menjadi rawan terjadinya perundungan verbal. Ejekan terkait fisik, cemoohan karena perbedaan idola, kekalahan dalam permainan daring, dan lingkar pertemanan baru. Edukasi tak hanya diberikan melalui nasihat ceramah, pun menciptakan lingkungan yang sehat dari toxic bullying. Sebagai contoh memberikan fasilitas untuk anak mengembangkan bakat, menyediakan waktu bercerita bersama, menyediakan platform belajar yang tidak membosankan, dan menyibukkan anak dengan aktivitas yang bermanfaat untuk tumbuh kembangnya.

Anak-anak yang Rentan Menjadi Korban Perundungan

1. Keunikan Fisik
Anak yang memiliki keunikan fisik seperti kurus, gemuk, atau bentuk fisik yang berbeda dari teman sebayanya, rentan menjadi korban perundungan karena anak-anak lainnya akan mudah fokus terhadap dirinya.
ADVERTISEMENT
2. Anak yang Disiplin
Disiplin bisa diartikan taat terhadap segala bentuk peraturan. Anak yang disiplin menjadi rentan karena anak-anak lain yang pemalas dan sering membuat onar secara implisit merasa iri padanya.
3. ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
Biasanya ABK memang lebih memilih sekolah luar biasa dan sekolah inklusi. Namun apabila ada ABK memilih sekolah formal yang tidak memiliki fasilitas untuk ABK, justru bisa terbentuk iklim perundungan. Mengapa? Sosialisasi tentang ABK yang tidak diberikan sekolah bisa menjadi penyebab perundungan. ABK akan merasa dirinya berbeda dari yang lain, sedangkan teman sebayanya menganggap perbedaan itu sebagai penghambat, bukan keniscayaan.
4. Tidak Percaya Diri dan Introvert
Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri dan cenderung introvert mengalami kesulitan dalam pergaulan. Pertemanan membutuhkan komunikasi, sedangkan anak yang introvert lebih memilih untuk menyendiri dan menghindari keramaian. Tentu hal itu berbanding terbalik dengan dunia bermain anak yang riuh. Introvert akan mengalami perundungan “dijauhi dari pergaulan” karena beberapa anak yang lain menganggap dirinya sulit untuk berteman. Sedangkan anak yang tidak memiliki rasa percaya diri juga dianggap tidak memiliki kontribusi apa pun terhadap teman sebayanya.
ADVERTISEMENT
Atas dasar pendidikan ataupun tidak, praktik perundungan tidak dapat dibenarkan. Memang mustahil melenyapkan perundungan dari lingkungan. Tabiat karakter manusia yang berbeda-beda secara natural melahirkan kausalitas perundungan. Pelaku perundungan tak hanya dari pihak anak, justru orang tua dan guru bisa saja berperan di dalamnya. Acapkali pelaku tak menyadari apa yang dilakukannya bisa melukai batin korban hingga bertahun-tahun lamanya.
Luka batin yang diterima, mungkin bisa menjadi motivasi korban untuk membuktikan kalau dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari pelaku. Yang perlu ditakutkan apabila korban tak bisa berdamai dengan masa lalunya, dan akhirnya menimbulkan trauma. Lantas, bagaimana nasib korban ke depannya? Jika nanti masih ada yang menyanggah dengan mengatakan “korban kan bisa disembuhkan oleh psikolog atau psikiater”. Nanti tinggal dijawab saja “memangnya semua orang punya privilege yang sama untuk bisa berkonsultasi ke psikolog atau membayar obat dari psikiater?”
ADVERTISEMENT