Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membaca Ulang Totto-Chan: Memaknai dan Memahami Kemajemukan
18 Juni 2023 6:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan atau pengaruh buruk orang dewasa. Tugas kita menemukan watak baik setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak dapat tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas”
ADVERTISEMENT
(Totto-Chan)
Mungkin bagi sebagian orang merasa klise apabila membahas tentang kemajemukan sifat, karakter, dan kecerdasan anak. Namun secara realitas, diskursus ini akan terus ada, karena fenomena pendidikan kiwari membuktikan, justru sekolahlah yang bertanggung jawab karena seringkali membunuh kemajemukan tersebut.
Jika anda pernah membaca buku yang berjudul Teach Like Finland, maka akan dikejutkan dengan kisah bahwa para siswa di Finlandia—sebelum naik ke kelas lima, didampingi oleh guru kelas yang sama selama empat tahun—kelas satu hingga empat.
Kebersamaan yang lama itu melahirkan ikatan emosional yang kuat antara guru dan siswa. Tentu kedekatan itu tidak terjadi begitu saja, tetapi dibangun dari hal-hal kecil, dari tempat sederhana, dan sela-sela waktu yang tersedia.
Para guru di Finlandia sering mengobrol dan bercanda dengan siswanya—percakapan tidak terbatas di ruang kelas: kantin, lorong sekolah, lapangan, dan berbagai sudut sekolah lainnya. Tidak kalah penting adalah jiwa humor dan kreativitas guru dalam menghidupkan obrolan tersebut.
ADVERTISEMENT
Guru ikut mempelajari hal-hal populer yang ada di lingkungan siswa. Ketika anda menyelesaikan buku tersebut, seolah-olah mendapatkan ilham—ternyata seni tidak bisa dilepaskan dari pendidikan.
Seni yang dimaksud di sini tidak sekadar seni dalam arti sempit. Namun, seni yang dapat mencairkan kekakuan ikatan emosional-sosial yang menjadi ruang dan waktu pembelajaran itu berlangsung.
Suatu saat dalam podcast Gita Wirjawan dan Karlina Supelli—seorang ahli filsafat dan astronomi—menegaskan, sepertinya kegagalan pendidikan selama ini, salah satunya disebabkan pembelajaran yang sifatnya “kering”.
Seni itu hadir untuk membuat pembelajaran lebih hidup. Bahkan dalam mata pelajaran eksakta sekalipun, seni tetapi dibutuhkan—dalam mengajar atau menganalogikan rumus matematika dengan kisah-kisah yang konkret dan sederhana, sebagai ruang masuk siswa untuk belajar.
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara terkait kesenian, barangkali sulit untuk menafikkan kebudayaan. Begitu juga saat membahas kebudayaan, rasanya tidak mungkin mengabaikan pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya yang berjudul Pendidikan (Jilid I) dan Kebudayaan (Jilid II), mengatakan apabila kebudayaan yang terwujud dalam seni tradisi dan nilai-nilai etika atau etiket yang melekat di masyarakat, menjadi tanggung jawab bagi pendidikan untuk menginternalisasi dan mempraktikkannya.
Supaya kebudayaan itu hidup dan berkembang. Jika siswa dibiasakan untuk merasakan beragam sifat keindahan (seni), maka secara pedagogik, siswa tersebut mendapatkan pengaruh dari segala sifat indah yang diamati.
Dari pendidikan estetik atau pendidikan kesenian, menuju pada pendidikan intelektual, dan akhirnya berlabuh pada pendidikan moral atau budi pekerti.
ADVERTISEMENT
Pendidikan tanpa kesenian selain kaku juga kering akan rasa. Karena tiada rasa dan karsa. Dewasa ini, siswa diminta untuk seragam dalam beragam hal—kognitif, afektif, psikomotorik.
Meski sudah jelas adanya, apabila fenomena tersebut meniadakan konsep kecerdasan majemuk yang mengakui bahwa setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda.
Teori Gardner tentang kecerdasan majemuk bukanlah sebagai slogan semata dan dibiarkan tergantung di ruang-ruang perkuliahan, atau terpahat di tugas akhir, tetapi keberadaannya di dunia hilang.
Sebagus apa pun konsepnya, jika hanya terbatas dalam tahap teoretis (normatif), tanpa adanya praksis—untuk apa pendidikan itu ada? Pendidikan tidak terbatas pada hafalan-hafalan. Namun masuk ke dalam nurani, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat aforisme yang populer, tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dalam buku yang berjudul Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, Haidar Bagir mengatakan, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati.
ADVERTISEMENT
Lalu coba kita menilik kembali beberapa kisah awal dari Totto-Chan, bagaimana ia menjalani hidupnya dengan penuh diskriminasi dan pandangan sebelah mata? Apakah sering bertanya atas rasa penasaran adalah sebuah kesalahan? Apakah kegaduhan dari Totto-Chan dan kawan-kawannya lantas disebut sebagai praktik kenakalan?
Matinya nalar kritis siswa disebabkan oleh pemerintah dan sekolah yang berlaku otoriter. Dalam bukunya berjudul Pendidikan yang Menjajah, Galih Nugraha Su berpendapat, kediktatoran yang terwujud dalam pelarangan dan penghakiman secara semena-mena adalah manifestasi dari pendidikan yang menjajah.
Artinya, siswa sebagai seorang manusia hanya dipandang sebagai objek (benda pasif), tidak sebagai subjek. Tidak ada kesepakatan secara demokratis antara guru dengan siswa.
Achmad Dardiri dalam bukunya yang berjudul Richard Rorty: Neopragmatisme dan Pendidikan menjelaskan, Richard Rorty sebagai salah seorang tokoh humanis, mengungkapkan, seharusnya dalam dunia pendidikan—memperlakukan manusia sebagai subjek (pour-soi), tidak sekadar objek (en-soi), hakikat pendidikan adalah sosialisasi dan individualisasi.
ADVERTISEMENT
Pendidikan level bawah menkankan “apa” yang diyakini oleh masyarakat sekitar, dan secara bertahap di perguruan tinggi harus mampu membentuk siswa yang kritis terhadap segala macam pengetahuan yang ia dapatkan selama ini.
Kecenderungan guru yang sekadar melihat keberhasilan siswa hanya berdasarkan laporan kognitif di atas kertas adalah praktik dari diskriminasi karakter siswa.
Nilai sempurna menjadi faktor kecenderungan guru untuk mengunggulkan salah satu siswa, dan memberikan penghakiman secara implisit atau eksplisit terhadap siswa lainnya. Padahal, siswa yang mendapatkan nilai rendah, barangkali perlu untuk mendapatkan perhatian lebih dari gurunya.
Pendidikan bukan wahana kompetisi—tradisi yang diwariskan oleh praktik sekolah—melainkan ruang untuk berkolaborasi. Karena melalui kelebihan dan kekurangan masing-masing siswa, mereka akan saling melengkapi dalam proses belajar—eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, jika kita mendapati siswa yang lemah dalam logika-matematika, maka kita sebagai pendidik akan memasangkannya dengan siswa yang memiliki kelebihan dalam mata pelajaran tersebut. Hal itu berlaku terhadap mata pelajaran atau kompetensi lainnya.
Laporan kognitif tidak bisa menggambarkan secara utuh dan kompleks karakter dari siswa. Keberhasilan maupun kegagalannya ditentukan oleh faktor lain—inilah ruang yang harus diselami oleh para guru.
Seperti Totto-Chan yang dianggap menjengkelkan oleh pihak sekolah sebelumnya, menjadi tokoh utama yang mengasyikkan di Tomoe Gakuen. Mendidik atau megedifikasi adalah pengalaman hermeneutis—seni untuk selalu memahami setiap situasi dan kondisi, secara personal maupun global. Tanpa memahami, bagaimana seorang guru merasa yakin bahwa semua siswanya merasa baik-baik saja?
Guru dan siswa senantiasa terlibat dalam ruang dialektis—bernalar untuk saling memahami dalam diskusi. Artinya proses memahami dan dipahami terjadi secara dua arah. Sehingga diskusi dalam konteks obrolan berat atau ringan dapat berjalan tanpa adanya kesalahpahaman. Kepekaan intuisi memang perlu diasah sejak dini
ADVERTISEMENT