Konten dari Pengguna

Bertiga tapi Berempat: Metateater di Atas Ranjang Politik

Hidayat Adhiningrat
Seorang penulis seni amatir dan manusia yang senang bermain-main
12 Mei 2025 12:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertunjukan “Bertiga tapi Berempat” Teater Gardanalla di Salihara (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
zoom-in-whitePerbesar
Pertunjukan “Bertiga tapi Berempat” Teater Gardanalla di Salihara (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
ADVERTISEMENT
Di kamar hotel fiktif tahun 2009 itulah segalanya bermula. Ketika Cuk— penerjemah buku-buku populer yang juga penyusun proposal untuk LSM lokal— melangkah masuk ke dalam kamar hotel. Jebolan Fakultas Filsafat UGM itu disambut oleh Dora dan Giant, pasangan suami-istri yang sudah terbiasa mengundang "tamu" untuk ritual threesome mereka.
ADVERTISEMENT
Adapun Dora, petualang cinta yang dulu gemar "menunggangi" aktivis kampus, kini bekerja di lembaga asing bagian kampanye media. Sementara Giant, sarjana teknik mesin yang dulu aktif di koperasi kampus, kali ini bertugas memilih partner —dan, pilihannya jatuh pada Cuk setelah pertukaran surel singkat.
Namun, apa yang dimulai sebagai pertemuan penuh hasrat segera berbelok menjadi labirin memori dan identitas. "Kamu… " sergah Dora begitu Cuk melintasi ambang pintu. Matanya terbelalak, mengejar bayangan masa lalu. "Kita pernah bertemu di depan Grha Sabha UGM saat pembakaran Gatra! Kos-kosan belakang Pom Bensin Sagan."
Seketika, masa lalu menjelma hantu yang menuntut pengakuan. Tiga tubuh itu —Dora, Giant, dan Cuk— bergulat bukan hanya dalam pelukan erat threesome, tetapi juga dalam jerat memori tentang aksi pembakaran majalah Gatra di kampus UGM 13 tahun sebelumnya. Ini adalah titik awal “Bertiga tapi Berempat”, lakon terbaru Teater Gardanalla yang digelar di Komunitas Salihara, Jakarta, pada 10-11 Mei 2025.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan ini bukan drama konvensional. Ia adalah teater di dalam teater —metateater— yang dengan sengaja membongkar proses penciptaan seni di hadapan penonton. Sebuah lapisan narasi yang menguliti proses penciptaan seni itu sendiri. Ia ibarat cermin yang memantulkan esensi mediumnya sendiri, seperti halnya metafiksi dalam sastra atau metacinema di film. Penonton disadarkan bahwa yang mereka saksikan bukanlah ilusi realitas, melainkan konstruksi seni yang sengaja diperlihatkan tulang-belulangnya.
Di sudut panggung, seorang narator berdiri, membacakan naskah berjudul “Bertiga”, karya yang pernah dipentaskan pada 2009. “Tiga belas tahun kemudian, mereka bertemu kembali bukan untuk mengenang masa lalu, melainkan untuk bercinta bertiga,” ucapnya. Narator ini menjadi elemen “berempat” dalam judul, menyatukan teks lama dengan aksi panggung.
ADVERTISEMENT
Joned Suryatmoko, penulis dan sutradara “Bertiga tapi Berempat”, memang terang-terangan mengakui bahwa lakon ini bertumpu pada dua komponen utama: akting berlagak dan metateater. Dalam produksi Berempat tahun 2025 ini, naskah Bertiga yang hanya terdiri dari tiga karakter dibawakan oleh empat orang secara bergantian.
Dengan begitu, metateater dalam karya ini langsung bisa dilihat ketika empat orang tersebut mengisahkan lakon Bertiga. “Singkatnya, Berempat adalah peragaan Bertiga. Naskah Bertiga tidak dimainkan sebagaimana dulu tahun 2009,” ungkap Joned.
Pertunjukan “Bertiga tapi Berempat” Teater Gardanalla di Salihara (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Metateater dalam pertunjukan ini terwujud melalui kehadiran narator yang membaca naskah lama sambil tiga aktor lainnya menghidupkan cerita di panggung. Teks dan aksi berjalan paralel, menciptakan lapisan narasi yang menggugah. Sementara itu, akting berlagak—atau dalam istilah Gardanalla, “Berlagak dan Menjadi”—mengubah cara aktor memerankan tokoh. Dora, Giant, dan Cuk tidak melekat pada satu aktor.
ADVERTISEMENT
Identitas mereka berpindah melalui properti sederhana seperti kemeja, baju tidur, atau buku naskah, yang dioper dari satu aktor ke aktor lain. Setiap pergantian adalah simbol metamorfosis, menegaskan bahwa identitas adalah sesuatu yang cair, bergantung pada apa yang dikenakan atau dipegang.
Maka aktor tidak dituntut menjadi karakter, melainkan dituntut untuk menjadi kritis lewat peristiwa yang terjadi di panggung. Pendekatan ini memberikan pengalaman keaktoran dan menonton yang “lain”, berbeda dari teater konvensional. Alih-alih larut dalam emosi tokoh, aktor dan penonton diajak merefleksikan makna di balik setiap aksi dan dialog.

Dari Pembakaran Gatra ke Kamar Hotel

“Bertiga tapi Berempat” berkisah tentang peristiwa 13 tahun setelah sekelompok mahasiswa membakar majalah Gatra di depan Grha Sabha Pramana, Kampus UGM Yogyakarta—sebuah aksi protes yang penuh gejolak. Tiga orang yang terlibat, secara langsung maupun tidak langsung, bertemu kembali di kamar hotel untuk bercinta bertiga. Dora, Giant, dan Cuk membawa serta kenangan masa lalu yang perlahan terkuak.
ADVERTISEMENT
Pembakaran Gatra bukan sekadar latar, tetapi benang merah yang mengikat mereka dalam jaringan memori, identitas, dan politik. Setiap tokoh memiliki sisi cerita masing-masing, membuka lapisan kisah yang kompleks di balik aksi tersebut. Pertemuan mereka yang awalnya didorong hasrat fisik berubah menjadi pengakuan kolektif.
Dialog tentang masa lalu menyelinap, mengubah ritual threesome menjadi cermin pergulatan batin. Narator, sebagai saksi dan pencipta, memperkuat dimensi metateater dengan mengingatkan bahwa cerita ini pernah ada—baik dalam naskah 2009 maupun dalam ingatan para tokoh.
Memori menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Pembakaran Gatra, sebagai simbol perlawanan mahasiswa atas dibredelnya majalah Tempo – sebagai wujud pemberangusan demokrasi –, menghantui percakapan mereka, mengubah pertemuan intim menjadi ruang refleksi kolektif. Sementara itu, politik hadir sebagai tema yang lebih luas.
Pertunjukan “Bertiga tapi Berempat” Teater Gardanalla di Salihara (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Joned menjelaskan, “Bertiga tapi Berempat mengajak kita melihat politik sebagai masa lalu, yang sering dibicarakan secara nostalgik dan dimanipulasi untuk kepentingan berbeda-beda. Dalam lakon ini, nostalgia dan manipulasi bahkan dilipatgandakan. Setelah melewati tahun politik yang panas beberapa tahun terakhir, semoga pementasan ini memberikan ruang reflektif bagi kita melihat dinamika berpolitik belakangan ini.”
ADVERTISEMENT
Pertunjukan ini juga menawarkan pengalaman politik lewat teater. Penonton tidak hanya menyaksikan cerita, tetapi diajak merasakan bagaimana masa lalu membentuk identitas dan hubungan antarmanusia, serta bagaimana politik terus menyelinap dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan hingga ke atas ranjang, dalam aktivitas seks yang tidak biasa!
Secara artistik, “Bertiga tapi Berempat” adalah karya yang berani dan cerdas. Properti sederhana menjadi nyawa pertunjukan, menghidupkan ide-ide besar tentang identitas dan transformasi. Namun, pendekatan metateater dan akting berlagak ini mungkin menantang bagi sebagian penonton. Lapisan narasi dan pergantian peran menuntut konsentrasi penuh.
Tanpa pemahaman tentang konsep metateater atau konteks Teater Gardanalla, pesan yang disampaikan bisa terasa samar. Meski begitu, tantangan ini adalah kekuatan sekaligus keunikan lakon ini: ia tidak sekadar menghibur, tetapi mengundang refleksi mendalam.
ADVERTISEMENT
Di atas panggung sederhana—hanya ada kasur, kursi, kemeja lusuh, buku naskah usang, dan baju tidur yang berpindah tangan—Teater Gardanalla mengubah kamar hotel melati menjadi labirin memori dan identitas. Bertiga tapi Berempat bukan sekadar pertunjukan teater; ia adalah cermin retak yang memantulkan pertanyaan abadi: Apakah identitas kita hanyalah kostum yang bisa dilepas-pakai sesuka hati?
Pertunjukan “Bertiga tapi Berempat” Teater Gardanalla di Salihara (Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Politik dalam lakon ini bukan sekadar nostalgia masa lalu yang mati, melainkan bara yang hidup, terselip dalam pelukan mesra, bisik-bisik ranjang, dan tawa yang menyisakan kepahitan. Joned Suryatmoko dan timnya tidak hanya berusaha merobohkan dinding keempat panggung, tapi sekaligus dinding yang memisahkan masa lalu dan masa kini, hasrat dan ingatan.
Sayangnya, keberanian konsep metateater ini tak sepenuhnya mulus. Akting yang masih terpaku pada pola tipikal—Dora dengan dramanya yang berlebihan, Giant dengan kekakuan yang monoton—kadang membuat emosi karakter terasa kurang dalam, seolah terkunci dalam stereotip.
ADVERTISEMENT
Untungnya, celetukan komedi yang cerdas dan permainan properti yang inventif mampu menyelamatkan ritme pertunjukan, menjaga penonton tetap terpikat. Jika para aktor dapat melampaui “berlagak” menuju “menjadi” yang lebih autentik, pesan tentang identitas yang cair dan rapuh ini bisa terasa lebih mengguncang.
Ketika lampu padam dan tepuk tangan mereda, Bertiga tapi Berempat meninggalkan kita dengan refleksi yang tak terelakkan. Pertemuan Dora, Giant, dan Cuk di kamar hotel itu—yang bermula dari hasrat dan berakhir dalam konfrontasi memori—mengajak kita menatap luka kolektif masa lalu, dari pembakaran Gatra hingga dinamika politik kini yang tak pernah benar-benar usai.
Ini bukan hanya teater tentang tiga orang dan narator “berempat”; ini adalah cermin bagi kita semua—penonton, aktor, dan manusia—yang terus berganti peran dalam panggung kehidupan. Jika identitas hanyalah topeng yang kita pinjam, lalu siapa kita saat tirai selubung itu akhirnya jatuh? Pertunjukan ini tak memberikan jawaban, tetapi memaksa kita mencarinya.
ADVERTISEMENT