Debat Cagub DKI dan Tantangan Ikut Pilpres

Hidayat Adhiningrat
Karyawan swasta
Konten dari Pengguna
14 Januari 2017 15:21 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Debat terbuka Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama, seperti yang sudah diduga, menyisakan banyak remah-remah debat di kalangan netizen. Remah-remah itu mirip belaka. Berputar di sekitaran isu bagaimana pasangan calon idolanya menyindir pasangan lain atau pembahasan tentang blunder yang dilakukan oleh pasangan calon saingannya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut memang menarik, meski bagi saya masih ada yang lebih menarik dari itu semua.
Di sisi kiri belakang ruang Bhirawa Hall (tempat debat terbuka dilaksanakan) saya memperhatikan setiap segmen debat yang berlangsung. Dari segmen ke segmen rasanya tidak ada hal baru muncul. Isu-isu yang dibicarakan sudah kita ketahui semua. Diulang-ulang sejak dua bulan yang lalu.
Jika pun ada yang "baru", bahwa pada kesempatan ini mereka head to head untuk saling bertanya dan menanggapi di satu panggung. Sebelumnya, selama kurang lebih dua bulan, mereka menyampaikan gagasan itu sendiri-sendiri dan saling sindir di tempat yang berbeda. Mungkin hal ini yang membuat Ira Koesno (moderator) sampai berkata, "Silahkan paslon berikan jawaban yang konkret dan tidak normatif."
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu apakah pernyataan itu spontan muncul dari Ira karena debat berlangsung normatif atau memang begitu setting pernyataan yang sudah dirancang oleh panitia. Namun, pernyataan itu sangat kena. Karena, ya, sampai penghujung acara perdebatannya memang cuma begitu-begitu saja.
Hingga akhirnya di ujung segmen ke enam, moderator memberikan satu pertanyaan menarik, "Jika Anda terpilih menerima amanah menjadi Gubernur DKI, siapkah Anda untuk tidak tergiur maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden pada Pilpres 2019?"
Pertanyaan ini sontak mengembalikan memori ke belakang, ke masa menjelang para pasangan calon dideklarasikan. Ketika itu, ramai diperbincangkan, "Ini sedang Pilkada atau Pilpres sih sebenarnya?"
ADVERTISEMENT
Kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut diberikan pertama kali untuk Ahok dan Djarot. Keduanya nampak tertawa kecil.
Debat Pilgub DKI Jakarta akan berlangsung tiga kali. (Foto: Fanny Kusumawardhani)
Djarot, sang calon wakil gubernur, maju untuk menjawab:
Jawaban Djarot sangat normatif --pertanyaan semacam ini biasanya memang memunculkan jawaban normatif toh?-- namun menarik melihat kenapa justru Djarot yang maju untuk menjawab, bukannya Ahok. Gelagat semacam ini mengingatkan pada beberapa "obrolan warung kopi" yang saya ikuti.
ADVERTISEMENT
Dalam obrolan-obrolan itu kerap kali muncul wacana, jika ternyata Ahok dinyatakan bersalah karena kasus hukum yang saat ini sedang menimpanya, maka Djarot lah yang akan menjalankan kekuasaan memimpin Jakarta.
Ya, tentu saja, ini dengan catatan pasangan nomor 2 menang dalam Pilgub DKI.
Jika pun Ahok yang menjawab, bukannya Djarot, dan bilang bahwa dia akan menjalankan tugas lima tahun jadi gubernur, tetap menarik. Karena, bukannya apa-apa, dalam soal politik bukankah Ahok memiliki rekam jejak biasa pindah-pindah parpol dan dukungan. Meskipun sebenarnya berubah pikiran dan keputusan adalah hal biasa dalam karir politik.
Giliran kedua, diberikan kepada Agus dan Sylviana. Kali ini Agus yang maju.
ADVERTISEMENT
Bagaimana, apakah kalian melihat ada jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh moderator? Kok saya tidak menemukan jawabannya ya. Jawaban Agus terkesan "ngeles". Saya jadi merasa yakin kalau memang Agus dipersiapkan untuk nantinya maju bersaing di Pilpres dan Pilkada ini menjadi batu loncatannya.
Terakhir, giliran Anies dan Sandi yang dapat kesempatan untuk menjawab. Untuk menjawabnya pasangan ini diwakili oleh Anies.
ADVERTISEMENT
Jawaban Anies hampir sama seperti jawaban Djarot. Mereka "menjawab pertanyaan dengan jawaban". Namun, dalam jejak politik, sebenarnya Anies agak mirip dengan Ahok. Arah dan dukungan politiknya kerap kali loncat-loncat.
Pertanyaan debat terakhir ini saya kira penting untuk diperhatikan dengan lebih seksama. Bukankah percuma kita memilih calon yang punya banyak program unggulan, kerjanya terbukti bagus, atau pintar beretorika namun ternyata malah memilih pergi meninggalkan kantor Gubernur untuk mengincar kursi di Istana.
Jangan lupa, Jakarta pernah punya pemimpin yang seperti itu satu periode yang lalu.