Konten dari Pengguna

Happy to Connect: Menyelami Dialog Dusadee Huntrakul dan Faisal Habibi

Hidayat Adhiningrat
Seorang penulis seni amatir dan manusia yang senang bermain-main
2 Mei 2025 17:07 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pameran Happy to Connect di ROH Galeri (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran Happy to Connect di ROH Galeri (Dok. Hidayat Adhiningrat)
ADVERTISEMENT
Saat melangkah masuk ke ruang pameran “Happy to Connect” di Galeri ROH, Jakarta, 26 April 2025 lalu, kesunyian yang terasa penuh itu menyambut. Dinding putih bersih dan lantai beton abu-abu menjadi kanvas sempurna bagi karya-karya seni yang dipajang, mengundang mata untuk menjelajah. Pandangan segera tertarik ke ujung ruangan, tempat kumpulan keranjang dengan aksen kuning mencolok terpampang dengan anggun.
ADVERTISEMENT
Ini adalah karya Faisal Habibi, sebuah sentuhan berani yang memecah kesederhanaan ruang dengan energi dan kehangatan. Garis-garis kuning pada keranjang seolah berpendar, menciptakan kontras yang hidup terhadap latar belakang monokromatik. Keranjang-keranjang ini —diberi judul Untitled (Yellow)---, tampak seperti kotak penyimpanan sederhana dan terasa hidup dengan susunan material yang disusun secara metodis. Warna kuning pada setiap bagiannya memberikan kesan hangat, seolah menjadi simbol cahaya yang menerangi kenangan yang tersimpan di dalamnya.
Saya membayangkannya sebagai arsip memori kolektif, tempat Faisal menyimpan jejak-jejak benda sehari-hari yang telah ia ubah menjadi karya seni. Ada sesuatu yang intim dalam cara ia merangkai material ini—seperti puzzle yang mengajak kita merenung tentang apa yang kita simpan dan apa yang kita lepaskan dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Bergerak ke sisi ruangan, karya-karya Dusadee Huntrakul mulai menarik perhatian dengan pendekatan yang sama sekali berbeda. Di dinding sebelah kiri, deretan figur-figur disusun rapi seperti barisan yang sedang berjalan. Figur-figur ini (berjudul Love Song for Going Out) terasa seperti simbol komunitas kecil, mungkin sebuah refleksi tentang hubungan manusia yang rapuh namun saling terhubung.
Deretan karya Love Song for Going Out (Side-B) Dusadee Huntrakul (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Tak jauh dari sana, sebuah tangan besar yang terbuat dari tanah liat menempel di dinding, jari-jarinya terbuka seolah sedang menjangkau sesuatu—orang, kenangan, atau mungkin masa lalu. Tangan itu menjadi bagian dari deretan karya Love Song for Going Out (Side-B). Tekstur kasar tanah liat itu kontras dengan dinding putih yang halus, memberikan kesan bahwa tangan itu membawa beban emosi yang dalam.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sebuah benda bulat bertekstur kasar—mungkin menyerupai kerucut pinus atau kelopak bunga—menyisipkan elemen organik yang membumi, melengkapi perpaduan antara bentuk industri dan alami dalam ruangan ini. Bentuknya yang misterius menggoda imajinasi. Setiap karya ini, meski kecil, membawa kepekaan Dusadee terhadap material dan makna, menciptakan dialog visual yang mengalir di sepanjang dinding.
Setiap karya Dusadee terasa seperti meditasi visual—cermat, penuh perhatian, dan sarat dengan simbolisme. Jika Faisal menggunakan keranjang-keranjangnya untuk mengatur dan mengarsipkan memori, Dusadee seolah menenun cerita-cerita kecil melalui benda-benda yang sederhana namun penuh makna. Bersama-sama, karya mereka menciptakan harmoni yang tak terucap, mengajak untuk berjalan lebih lambat, melihat lebih dekat, dan merasakan bagaimana identitas dan memori dapat diubah menjadi sesuatu yang begitu nyata.
ADVERTISEMENT

Dari Remah Makanan ke Baja Bekas

Pameran ini, yang berlangsung hingga 25 Mei 2025, adalah kolaborasi antara Dusadee Huntrakul, seniman multi-disiplin kelahiran 1978 dari Bangkok, dan Faisal Habibi, seniman kelahiran 1984 dari Jakarta yang kini bermukim di Bali. Keduanya, dengan latar belakang yang kaya dan pendekatan seni yang berbeda, bersatu untuk mengeksplorasi tema identitas, memori, dan transformasi melalui material dan teknik yang tak biasa.
Dusadee Huntrakul, yang tinggal dan bekerja di Bangkok, dikenal karena kepekaannya terhadap bahan-bahan yang diolah secara alami. Dalam karyanya ia mencari hubungan yang dibentuk manusia sepanjang waktu tertentu. Karyanya mencakup topik kematian, arkeologi, antropologi dan pengamatan ekologi urban.
Pendidikannya di Universitas Chulalongkorn dan University of California, Los Angeles (UCLA), serta pengalamannya dalam pameran internasional seperti “Singapore Biennale 2019” dan “Thailand Biennale Krabi 2018,” memperkaya karyanya dengan wawasan global dan lokal. Dalam pameran ini, sarung tangan tua dan bentuk-bentuk organik yang ia pamerkan mencerminkan perhatiannya pada ekologi urban dan memori kolektif.
ADVERTISEMENT
Karya I love you yesterday, today and tomorrow miliknya menampilkan sebuah seri fotografi yang menampilkan gambar-gambar makanan yang telah selesai dikonsumsi. Foto-foto ini tidak sekadar mendokumentasikan sisa-sisa makanan, tetapi juga menjadi representasi simbolis dari jejak kehidupan dan kematian, serta dinamika antara rasa lapar dan keinginan yang terpenuhi.
Melalui lensa kamera, Dusadee mengabadikan piring-piring atau wadah yang berisi sisa-sisa seperti remah-remah makanan, noda saus, atau jejak alat makan seperti sendok dan garpu, mengubah momen sehari-hari menjadi refleksi mendalam tentang siklus eksistensi manusia. Sisa-sisa makanan yang difoto menjadi metafora untuk momen-momen yang telah berlalu—setelah rasa lapar terpuaskan, yang tersisa hanyalah bukti dari pengalaman tersebut.
Karya I love you yesterday, today and tomorrow Dusadee Huntrakul (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Ada dualitas dalam karya ini: kepuasan dari hasrat yang terpenuhi berdampingan dengan kesadaran akan kefanaan, sebagaimana makanan yang habis mencerminkan akhir dari sebuah siklus. Dusadee tampaknya mengajak untuk merenungkan hubungan mereka dengan makanan sebagai kebutuhan dasar sekaligus simbol emosional.
ADVERTISEMENT
Setiap piring yang kosong atau nyaris kosong menceritakan kisah tentang kehidupan yang telah dijalani—dari keinginan sebelum makan, kenikmatan saat mengonsumsi, hingga keheningan setelahnya. Tema kehidupan dan kematian terwujud dalam transformasi makanan dari bentuk utuh menjadi sisa.
Sementara itu, Faisal Habibi membawa pendekatan yang lebih eksperimental dari basisnya di Bali. Sejak awal karirnya, Faisal menaruh perhatian pada kebiasaan bahan. Ia menginterogasi kebiasaan ini dengan cara yang bermain-main namun juga kritis. Ia memposisikan dan menciptakan alterasi objek-objek keseharian, mengusik penikmat karyanya untuk membicarakan kembali objek-objek ini.
Setelah menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung dan memperluas wawasannya di Australia, Singapura, dan Jerman, ia dikenal karena kemampuannya menangkap esensi kehidupan sehari-hari melalui karya-karya yang penuh makna. Struktur beraksen kuning dan bentuk geometris yang ia hadirkan di pameran ini adalah bukti pendekatannya yang teknis namun sensitif: sering kali mengubah benda-benda terbuang menjadi seni yang menggugah.
ADVERTISEMENT
Patung-patung Faisal Habibi di pameran ini dibuat dari material tak terpakai di Bali. Ia memilah-milah tempat pembuangan sampah untuk menyusun kembali benda-benda yang dibuang menjadi rangkaian, perlakuan, dan sajian baru. Peleburan merupakan cara untuk membentuk dan melengkungkan objek menjadi bentuk-bentuk baru.
Faisal juga memanfaatkan teknik peleburan untuk menempa sambungan baru di antara objeknya, menghasilkan struktur yang lebih besar, mewujudkan proses transformasi panjang sebetulnya dekat dengan cara hidup kita. Pada karya Ligament Ia menampilkan jalinan material bekas seperti PVC, Polyurethane, Epoxy, Stainless Steel, dan Carbon Steel yang dirajut menjadi struktur lentur dan saling terhubung, seolah-olah hidup dan bergerak.
Karya Ligament Faisal Habibi (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Material-material ini, yang awalnya terpisah dan terbuang, dilebur dan dibentuk ulang menghasilkan karya yang memadukan sifat industrial dan organik. Bentuknya menyerupai jaringan pipa atau batang yang saling terikat, dengan PVC dan Polyurethane memberikan kelenturan menyerupai jaringan biologis, sementara Stainless Steel dan Carbon Steel menambahkan kekuatan dan ketegangan. Epoxy berperan sebagai perekat yang menyatukan elemen-elemen ini, menciptakan integrasi mulus yang memperlihatkan jejak peleburan di mana satu material mengalir ke material lainnya.
ADVERTISEMENT
Karya ini memperlihatkan kemampuan Faisal dalam menemukan harmoni dari benda-benda yang tampak tak berhubungan. Dia mengundang kita untuk merenungkan siklus transformasi yang tersembunyi dalam limbah sehari-hari.
Karya Heavy Metal Bar, di sisi lain, berdiri sebagai monumen transformasi dengan material Steel, Cement, dan Glass yang juga berasal dari sisa-sisa pembuangan. Baja, yang mungkin dulunya bagian dari mesin-mesin terlupakan, kini menjadi tulang punggung karya ini, diperkuat oleh semen yang menambahkan bobot dan tekstur kasar. Pecahan kaca, dilebur dan tertanam di permukaannya, menangkap cahaya dan menawarkan kilauan rapuh yang kontras dengan kekokohan material lainnya.
Karya Heavy Metal Bar Faisal Habibi (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Teknik peleburan terlihat dalam cara kaca menyatu dengan baja dan semen, membentuk kesatuan yang harmonis namun penuh tegangan visual. Berbeda dengan kelenturan Ligament, karya ini menghadirkan garis-garis lurus dan kesan solid yang menggambarkan ketahanan, seolah-olah menceritakan bagaimana material yang terbuang dapat diubah menjadi sesuatu yang monumental. Melalui karya ini, Faisal menegaskan bahwa bahkan dari limbah, potensi baru dapat ditemukan, mencerminkan ketangguhan hidup yang terus beradaptasi.
ADVERTISEMENT

Menjaga Jejak atau Menyulap Rongsokan

Dalam ruang pameran "Happy to Connect", karya Dusadee Huntrakul dan Faisal Habibi tidak sekadar berdampingan—mereka saling merangkul dalam diam, membentuk dialog diam-diam. Dusadee, dengan Love Song for Going Out yang sunyi, dan Faisal, dengan Untitled (Yellow) yang berdenyut, menciptakan ketegangan sekaligus harmoni antara preservasi dan transformasi.
Jika Dusadee merawat fragmen-fragmen memori lewat ketelitian tangan yang menghormati material alami, Faisal justru membongkar ulang sisa-sisa keseharian menjadi bahasa baru. Perbedaan ini bukan jurang, melainkan jembatan: keduanya sama-sama mengajak kita menyelami bagaimana identitas manusia terpateri—entah melalui apa yang dipertahankan, atau apa yang diubah.
Di Galeri ROH, karya mereka "berbicara" melalui kontras medium: keranjang kuning Faisal yang menyala-nyala adalah api yang membakar batas antara fungsi dan seni, sementara tangan tanah liat Dusadee yang terbuka adalah air yang meresap pelan, mengajak refleksi. Tapi dalam diamnya, kedua pendekatan bertemu di titik yang sama: kegelisahan akan apa yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Dusadee mengawetkan memori lewat sisa-sisa yang diabadikan (remah makanan, sarung tangan usang), sementara Faisal membuktikan bahwa bahkan yang terbuang pun menyimpan narasi—limbah baja bukan akhir, melainkan benih patung baru. Pameran ini adalah pertemuan dua kutub: Dusadee si penjaga arsip, Faisal si alkemis urban.
Seperti yin dan yang, mereka saling melengkapi dengan cara tak terduga. Ruang pameran yang monokromatik itu menjadi panggung bagi pertanyaan: apakah kita lebih mirip Dusadee, yang merenung dalam jejak yang tertinggal, atau Faisal, yang melihat keabadian justru dalam perubahan?
Mungkin jawabannya ada di antara keranjang kuning yang menyala dan piring kosong yang membisu—dua sisi dari mata uang yang sama: hasrat manusia untuk memberi makna pada yang fana.
ADVERTISEMENT