Konten dari Pengguna

Pameran Iwan Effendi di Ara Contemporary: Boneka Bercerita, Dalang Menghilang

Hidayat Adhiningrat
Seorang penulis seni amatir dan manusia yang senang bermain-main
18 Mei 2025 0:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Pameran Iwan Effendi di Ara Contemporary: Boneka Bercerita, Dalang Menghilang
Begitu memasuki Ara Contemporary, Jakarta, pada pameran tunggal Iwan Effendi bertajuk “Once Was” (17 Mei–21 Juni 2025), pengunjung langsung disambut karya video animasi. Seperti mengajak kita merenung
Hidayat Adhiningrat
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pameran tunggal Iwan Effendi “Once Was” di Ara Contemporary (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran tunggal Iwan Effendi “Once Was” di Ara Contemporary (Dok. Hidayat Adhiningrat)
ADVERTISEMENT
Begitu memasuki Ara Contemporary, Jakarta, pada pameran tunggal Iwan Effendi bertajuk “Once Was” (17 Mei–21 Juni 2025), pengunjung langsung disambut karya video animasi berdurasi 6 menit 35 detik. Berjudul “Ingin Memeluk, Harus Melepas” (Wanting to Hold, Needing to Let Go), video ini memukau dengan teknik pembuatan yang unik: setiap frame direkam dari gambar tangan di atas kertas, lalu dihapus dan digambar kembali secara berulang-ulang, menciptakan ilusi gerak penuh kedalaman.
ADVERTISEMENT
Karya ini terbagi menjadi tujuh bagian naratif, masing-masing dibangun melalui proses stop motion manual yang intens. Iwan Effendi—yang juga dikenal dengan nama beken Papeyo—seolah mengabadikan dialog antara keberadaan dan ketiadaan. Setiap goresan arang (charcoal) meninggalkan jejak samar di atas kertas, sehingga sisa-sisa gerakan yang telah dihapus tetap terasa hadir. Inilah esensi yang ingin diusung Iwan: memori tentang apa yang pernah ada, tetapi telah berubah bentuk. Jejak-jejak itu bukan sekadar sisa proses, melainkan saksi bisu dari gerak yang abadi—nyata, namun tak bisa dipisahkan dari aksi mencipta itu sendiri.
Melalui teknik repetitif ini, Iwan seolah mengajak penonton merenungkan dualitas dalam seni pertunjukan boneka—latar belakang yang melekat padanya sebagai arsitek Papermoon Puppet Theatre. Bagaimana sesuatu yang fana, seperti gerakan tangan dalang (puppeteer) atau goresan di kertas, dapat meninggalkan bekas yang bertahan meski wujud aslinya lenyap. Di balik kesan minimalisnya, karya ini menjadi pintu masuk untuk memahami tema besar pameran: transformasi, ingatan, dan keindahan dalam ketidakkekalan. Setiap frame yang dihapus bukan akhir, melainkan awal dari lapisan makna berikutnya—persis seperti memori manusia, yang terus ditimpa namun tak pernah benar-benar hilang.
ADVERTISEMENT
Akhir dari jejak proses gambar-rekam-hapus itu dipajang di ruang sebelah. Tujuh frame lukisan arang di atas kertas bersanding dengan boneka-boneka Papermoon dan sebuah mural besar bergambar karakter wajah khas teater tersebut. Salah satu lukisan berjudul “Bystander”. Di pusat kanvas, pohon raksasa berdiri tegak, megah namun sunyi. Kanopinya lebat, digambar dengan arang berwarna abu-abu gelap yang tebal dan bertekstur, menciptakan kesan dedaun bergetar dalam hembusan angin senyap.
Di antara dedaunan itu, buah-buahan oranye cerah tersebar seperti titik cahaya, ditambahkan dengan sentuhan soft pastel yang menghadirkan kehangatan di tengah suasana kelam. Batang pohon kokoh menjulang ke atas, menancap pada tanah yang samar. Di bawah naungannya, dua figur manusia kecil berdiri berhadapan. Mereka tampak terjebak dalam momen—mungkin berpelukan penuh kerinduan, atau justru berpisah dengan hati berat. Beberapa buah oranye terlihat jatuh dari dahan, berhamburan di udara dan mendarat di bagian bawah bingkai lukisan, seolah melanjutkan cerita di luar batas kertas.
Karya gambar Iwan Effendi, charcoal di atas kertas berjudul “Submerged” (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Di sampingnya, karya “Submerged”—yang juga menjadi bagian dari jejak proses animasi—menampilkan figur kaki manusia dari lutut ke bawah. Kulitnya digambar dengan tekstur lembut yang kontras dari goresan arang kasar, menciptakan kesan hidup namun rapuh. Kaki-kaki ini seolah berdiri di atas permukaan air. Garis-garis air bergoyang lembut, ditambah sentuhan pastel kabur dan melayang, membuatnya terasa berada di ambang dua dunia: nyata dan ilusi.
ADVERTISEMENT
Latar belakangnya adalah kanvas alam sunyi. Garis-garis tipis melengkung menyerupai ranting kering atau rumput liar tersebar acak, digoreskan dengan arang yang mempertegas kesan gelap-misterius. Warna dominan abu-abu diselingi hitam pekat, namun kilau lembut pastel menyelip di antara kegelapan, memberi dimensi dan kehidupan pada karya ini.

Menyibak Transformasi Seni di Balik Layar Dalang

Pameran “Once Was” adalah pameran yang melanjutkan praktik artistik Iwan Effendi, yang mengakar dari latar belakangnya sebagai dalang. Di sini dia menggabungkan prinsip inti dan daya emosional seni pertunjukan boneka. Pameran ini menonjolkan kontras antara diam dan gerak, menampilkan serangkaian gambar bergerak, lukisan, dan gambar di atas kertas. “Saya pikir semua seniman akan masuk pada periode-periode kekaryaan. Tidak berhenti di satu titik kenyamanan, tapi gelisah mencari hal baru. Dan itu yang sedang terjadi pada saya sekarang,” ucap Iwan.
Iwan Effendi di depan seri karya “Contact Point #1 — #7” (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Pergeseran ini tercermin dalam fokus pameran yang tak lagi menempatkan boneka sebagai pusat, melainkan menyoroti “ketidakterlihatan” sang dalang. Seperti dalam pertunjukan wayang, boneka hanya hidup ketika dalang menghilang dari kesadaran penonton. Judul “Once Was” pun mengusung narasi tentang memori dan transformasi—proses di mana dalang menangkap cerita, mewujudkannya melalui boneka, lalu menguap begitu kisah tersampaikan.
ADVERTISEMENT
Konsep ini terwujud secara visual dalam lukisan besar bertajuk “Cast no Shadow” yang dipamerkan di ruang “Focus” Galeri Ara Contemporary. Di atas kanvas, sosok boneka Papermoon berdiri tegak dengan tekstur kasar dan goresan ekspresif. Wajahnya yang polos namun menggugah, dengan mata besar menatap kosong ke kejauhan, seolah terperangkap dalam kebingungan atau kerinduan. Di sekelilingnya, garis-garis oranye dan hitam membentuk bayang-bayang wajah serta tubuh manusia—sebuah representasi sang dalang yang telah menyatukan emosi dengan boneka, lalu sirna meninggalkan jejak.
Karya lukisan di atas kanvas Iwan Effendi “Cast no Shadow” (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Ruang “Focus” di lantai bawah Galeri Ara Contemporary menjadi panggung bagi Iwan Effendi untuk mengurai tabir proses kreatif yang kerap tersembunyi. Di sini, ia membeberkan bagaimana gerak, emosi, dan “nyawa” boneka Papermoon lahir dari dialog intens antara manusia dan objek.
ADVERTISEMENT
Seri lukisan “Contact Point #1 – #7” menjadi saksi bisu transformasi tersebut: setiap goresan menangkap momen-momen intim ketika pengalaman manusia—melalui sentuhan, genggaman, bahkan pangkuan—dialirkan ke tubuh boneka. Seperti mantra yang diwariskan turun-temurun, lukisan-lukisan ini menunjukkan bagaimana boneka tak sekadar objek mati, melainkan wadah yang hidup begitu disentuh oleh kehadiran sang dalang.
Puncak eksplorasi ini terlihat dalam rangkaian “potret diri” yang menutup seri. Iwan tak lagi membatasi diri pada bentuk manusiawi—boneka diubahnya menjadi serangga, kursi yang bisu, buku yang terbuka, atau anjing yang terduduk. Setiap transformasi ini adalah percakapan diam-diam antara yang hidup dan mati, antara gerak dan beku. Inspirasi ini diambil dari lakon-lakon teater Papermoon, di mana boneka harus menjelma sebagai metafora.
ADVERTISEMENT
Melalui “Once Was”, Iwan Effendi mengukir narasi tentang memori yang tak pernah benar-benar hilang—ia hanya berubah wujud. Isi pameran ini bukan tentang apa yang pernah ada, tetapi tentang proses tak kasatmata di balik perubahan itu sendiri: bagaimana sang dalang merelakan dirinya larut dalam boneka, lalu menghilang agar kisahnya tetap hidup. Di ruang antara yang tampak dan yang tersembunyi, Iwan seperti mengajak kita merenungi keindahan paradoks: bahwa seni paling mengharukan justru lahir dari ketiadaan.