Secarik Kisah dari Pegunungan Nemangkawi

Hidayat Adhiningrat
Karyawan swasta
Konten dari Pengguna
22 April 2017 10:50 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Secarik Kisah dari Pegunungan Nemangkawi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
(Tim Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi menuju Puncak Gunung Nemangkawi/Foto: Dokumentasi Palawa Unpad)
ADVERTISEMENT
Puncak Nemangkawi saat ini populer dengan sebutan Puncak Carstensz Pyramid. Namun, puncak tersebut sejatinya memiliki nama lokal “Nemangkawi” yang berasal dari bahasa Suku Amungme. Nemangkawi memiliki arti Panah Putih.
Palawa Unpad (Universitas Padjadjaran) berhasil mencapai titik tertinggi Indonesia itu dengan misi untuk menerapkan konsep zero waste mountaineering dalam pendakian gunung es. Puncak gunung yang menjadi salah satu dari World Seven Summit tersebut berhasil dijejaki tim Palawa Unpad pada bulan Maret lalu.
Selain menerapkan sistem pendakian dengan konsep zero waste mountaineering, tim juga membawa misi untuk kembali mempopulerkan nama lokal dari puncak dengan ketinggian 4884 mdpl (meter dari permukaan laut) tersebut.
Adalah para peneliti Eropa yang menamai Pegunungan Nemangkawi dengan sebutan Cartensz. Penamaan ini terjadi setelah Februari 1623, saat seorang pelaut Belanda bernama Jan Cartensz berlayar di sebelah selatan Pulau Papua.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnalnya ia melaporkan bahwa mereka menyaksikan gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih. Saat itu, di Eropa, banyak orang menganggap Jan Cartensz sebagai pembual karena melaporkan adanya gunung bersalju abadi di wilayah garis khatulistiwa.
Namun, banyak juga peneliti yang tertarik dan penasaran dengan laporan “bualan”-nya itu. Kemudian mereka melakukan serangkaian ekspedisi ke Pegunungan Nemangkawi yang belakangan mereka sebut sebagai Pegunungan Cartensz.
Pada 5 Mei 1963, Soekarno (Presiden pertama Republik Indonesia) menamai Puncak Nemangkawi sebagai Puncak Soekarno. Itu terjadi ketika ia terbang di atas Pegunungan Nemangkawi dalam perjalanan menuju Biak ke Merauke.
Lalu, pada rezim Orde Baru, Presiden Soeharto mengganti namanya menjadi Puncak Jaya sembari melabeli sebuah daerah dengan nama Jayapura (Ibukota Provinsi Papua).
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, puncak bersalju tersebut masih popular dengan nama Cartensz Pyramid, meski masyarakat sekitar lebih nyaman menyebutnya sebagai Gunung Nemangkawi.
Pendakian ini dilakukan untuk menuntaskan rangkaian Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi (EPN). Ekspedisi yang bertemakan “Petualangan dan Pendidikan” ini sebelumnya telah mengirimkan tim peneliti literasi ke Desa Soanggama pada November tahun lalu.
Sebagai desa terakhir di salah satu jalur pendakian menuju puncak gunung tertinggi Indonesia, ada banyak yang bisa diceritakan dari Desa Soanggama. Salah satunya mengenai pendidikan.
Seperti yang sudah menjadi rahasia umum, di Indonesia pemerataan kualitas pendidikan menjadi salah satu masalah yang terus diupayakan penyelesaiannya. Terutama di daerah terpencil yang jauh dari ibukota.
Secarik Kisah dari Pegunungan Nemangkawi (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Siswa-siswi SD Soanggama menjelang kegiatan belajar mengajar/Foto: Dokumentasi Palawa Unpad)
ADVERTISEMENT
Fasilitas umum di desa ini tidak banyak. Desa Soanggama memiliki dua gereja, satu untuk jemaat Protestan, satu lagi untuk jemaat Katolik. Ada juga bangunan dari papan kayu yang disebut warga sebagai Kantor Desa Soanggama, tapi tidak dimanfaatkan. Selama tim peneliti berada di sana bangunan itu selalu kosong dan terkunci.
Fasilitas umum lainnya adalah sebuah bangunan Sekolah Dasar (SD) yang juga terbuat dari papan kayu. Mulai dari dinding, lantai, meja, kursi, hingga tiang-tiang penyangganya berbahan kayu belaka. Bangunan sekolah ini berdinding putih dengan perpaduan kelir biru di pinggir-pinggirnya dan tiang-tiang penyangga berwarna merah.
Bangunan SD Negeri Soanggama itu didirikan sejak 2010. Terdiri dari 4 ruang kelas. Satu bangunan terpisah yang merupakan perpustakaan, di kesehariannya merangkap fungsi sebagai ruang kelas enam.
ADVERTISEMENT
Cukup sederhana, untuk tidak menyebutnya begitu memprihatinkan. Bangunan sederhana ini setiap harinya (kecuali Minggu) digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar oleh anak-anak didik yang berasal dari Desa Soanggama dan beberapa desa di sekitarnya. Pengajarnya ada 4 orang yang terdiri dari tiga guru pendatang dan seorang warga lokal lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Para orang tua tidak mencecap bangku sekolah karena dulu lokasi sekolah jauh dan adanya budaya nikah muda yang masih kental. Namun, dengan semakin dekatnya jarak sekolah seperti sekarang, semakin meningkat pula semangat mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Jika melihat jumlah siswa yang terdaftar di sekolah, akan terlihat jelas perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki.
Jumlah siswa perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang laki-laki. Hal ini tejadi karena perempuan banyak yang sudah dijodohkan sejak usia sangat belia. Sehingga mereka tidak dapat lagi bersekolah karena harus mengurus rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk kaum laki-lakinya, mereka sudah lebih leluasa dalam mengenyam pendidikan. Bahkan sudah banyak yang meneruskan sampai kuliah dan menjadi orang ‘besar’.
Medan yang Berat dan Usaha Melakukan Pendakian Minim Sampah
Empat bulan setelah kepulangan tim peneliti, Palawa Unpad mengirimkan tim pendaki yang terdiri dari Ichsan Lovano Pradewa (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Ronni Robinson Simbolon (Fakultas Ilmu Budaya), Muhammad Ikhsan Rizky (Fakultas Geologi), dan Yandi Romadona (Fakultas Teknologi Industri Pertanian). Mereka dikirimkan untuk menuntaskan misi ekspedisi.
Salah satu tim pendaki menuturkan bahwa tantangan terbesar dalam pendakian ini adalah ketika berada pada ketinggian di atas 4000 mdpl. Tim harus benar-benar mengatur pernapasan karena oksigen yang ada begitu tipis.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa tim perlu banyak istirahat selama pendakian. “Selama pendakian jalannya penuh kabut, jarak pandang mungkin hanya sekitar sepuluh sampai dua puluh meter,” ujar Ronni Robinson, seorang anggota tim.
Selain oksigen yang tipis, hujan juga senantiasa menemani perjalanan tim selama summit attack. Awalnya hujan air yang turun dari langit. Setelahnya, hujan es turun saat tim mulai menggantungkan keamanan dirinya pada safety line. Hujan es dengan kondisi medan yang semakin sulit ini pun menjadi tantangan selama pendakian menuju puncak.
Pendakian menuju puncak dimulai dari Basecamp Lembah Kuning. Inilah lokasi tim bermalam dan mendirikan tenda. Ketinggian 4250 mdpl Lembah Kuning menjadi titik terakhir menuju Puncak Nemangkawi. Dari Lembah Kuning menuju puncak, tim butuh waktu pendakian selama tujuh jam.
ADVERTISEMENT
Salah satu pitch yang sulit adalah Kandang Babi. Menurut Ronni, lokasi tersebut bukan benar-benar kandang dengan banyak babi, melainkan celah terbesar di punggungan Nemangkawi dengan jarak kurang lebih dua puluh meter.
Ada dua cara untuk melewatinya, menggunakan jembatan tali atau tyrolean. "Tim memilih melewatinya menggunakan sebuah tali sebagai pijakan dan dua buah tali di kanan dan kiri sebagai pengaman," jelasnya.
Secarik Kisah dari Pegunungan Nemangkawi (2)
zoom-in-whitePerbesar
(Temuan Sampah Di Jalur Pendakian Gunungan Nemangkawi/Foto: Dokumentasi Palawa Unpad)
Dengan menerapkan konsep zero waste mountaineering, pendakian ini berusaha untuk sama sekali tidak menghasilkan sampah. Konsep tersebut bukan sekadar tidak meninggalkan sampah di gunung, akan tetapi dimulai sejak perencanaan pendakian.
Zero waste mountaineering merupakan sebuah manajemen pendakian yang berprinsip: “tidak membawa sampah saat mendaki”. Tidak sulit untuk mengaplikasikan manajemen seperti ini, apalagi bila anda sudah pernah melakukannya.
ADVERTISEMENT
Prinsip dasarnya: hindari membawa perbekalan yang berpotensi jadi sampah.
Karena perbekalan dalam pendakian yang paling berpotensi besar jadi sampah adalah perbekalan makanan, hal yang paling mendasar pada penerapan konsep ini terletak pada manajemen konsumsi. Tim mengurangi barang yang berpotensi menghasilkan sampah dan menggantinya dengan wadah pakai ulang berupa kotak makan atau kantong kain.
Selama pendakian setiap anggota tim membawa kotak snack-nya sendiri. Hal tersebut, selain sebagai salah satu bentuk penerapan konsep zero waste mountaineering, juga untuk mengefektifkan pergerakan tim saat istirahat. Tim tidak lagi perlu usaha berlebih untuk membuka bungkusan snack di cuaca dan medan yang ekstrim.
“Kita udah berusaha tidak membawa sampah sama sekali pas pendakian, tapi ternyata di Basecamp Lembah Kuning kita malah nemu banyak banget sampah. Sedih sih. Walau ini gunung tertinggi di Indonesia, ternyata banyak juga sampahnya,” ujar Ronni.
ADVERTISEMENT
Ronni menambahkan ia tak hanya menemukan sampah bungkus makanan, melainkan piring melamin, sendok, gelas, hingga kaleng oxycan dan gas. Hal tersebut senada dengan pendapat anggota tim yang lain, Rizky.
Ia menuturkan tak hanya menemukan sampah di basecamp, juga di sepanjang jalan menuju puncak. "Sangat disayangkan salah satu gunung yang menjadi destinasi wisata dunia itu kurang terperhatikan kebersihannya," ujar Rizky, prihatin.
*Tulisan ini didasarkan pada obrolan dengan tim Ekpedisi Padjadjaran Nemangkawi dan beberapa pemberitaan yang ada di media