Konten dari Pengguna

Teater Keliyanan dan Kekerasan di Pameran Duo Mujahidin-Nesar

Hidayat Adhiningrat
Karyawan swasta, senang bermain-main dan menulis
24 November 2024 18:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana pameran Theater and The Other Self di Galeri Salihara (Dok. Hidayat Adhiningrat)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pameran Theater and The Other Self di Galeri Salihara (Dok. Hidayat Adhiningrat)
ADVERTISEMENT
Memasuki ruang Galeri Salihara, Sabtu 23 November 2024 itu, sebuah tempat peristirahatan asing mengadang tanpa peringatan. Tiba-tiba kita berada dalam sebuah ruang sempit, gelap dan mengungkung. Di pojok kiri, satu lampu menyala, menyinari sepasang tulang menggantung. Itulah satu-satunya cahaya yang ada. Seberkas sinar yang memilih kengerian alih-alih bantal empuk yang notabene menyiratkan kenyamanan -yang dibiarkan tetap berada dalam gelap, lepas dari fokus imajinasi sang empunya.
ADVERTISEMENT
Di ujung lain, cahaya alami menyambut, sebuah pintu keluar. Lepas dari kungkungan, kita disuguhi pandangan yang lebih luas. Difasilitasi oleh jarak, kita jadi tahu bahwa kita baru saja memasuki sebuah tenda, tempat peristirahatan, atau mungkin semacam bayangan rumah bagi seniman pembuatnya.
Tempat itu, merujuk pada keterangan di katalog, adalah “Tempat tanpa peta, tanpa batas, tempat sinar menerangi pertemuan-pertemuan aneh, menimbulkan bayangan yang tidak dapat diingat. Rumah mungkin bukan tujuan melainkan perasaan, firasat dan dorongan hati Pavlovian, sebuah panggilan atau tarikan yang ada saat tidak ada.”
Karya yang diberi tajuk “Restless Soul #0” ini menjadi karya penyambut pengunjung dalam pameran “Theatre and the Other Self”, hasil kerja sama Komunitas Salihara dengan ArtSociates. Pameran ini menampilkan karya-karya dari Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, dikuratori oleh Krishnamurti Suparka. Karya awal tadi adalah milik Nesar Eesar.
ADVERTISEMENT
Saat menilik latar belakangnya, sedikit banyak kita bisa menduga kenapa karya tersebut muncul. Bagi Nesar, pengasingan adalah bagian dari hidupnya. Ia lahir dan besar di Afghanistan sembari menyaksikan konflik berkepanjangan di tanah kelahirannya. Baginya, Afghanistan bukan hanya tempat konflik tetapi juga kenangan tentang keluarga, kepulangan, dan rasa kehilangan.
Bagi sebagian orang, rumah mungkin perkara sederhana, tempat yang berada di satu lokasi dalam peta dan bisa diakses dengan mudah saat kita ingin pulang. Sementara bagi yang lain, seperti Nesar, rumah ibarat benda yang mengandung gaya gravitasi yang sangat besar. Rumah mungkin bukan lagi tujuan melainkan sebuah tempat yang bisa mereka bawa namun tidak pernah akan kembali sepenuhnya.
Suasana pameran Theater And The Other Self di Galeri Salihara (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Pameran “Theatre and the Other Self” berusaha menghadirkan sudut pandang unik tentang “diri” sebagai hasil negosiasi dari beragam pengaruh sosial, budaya, dan sejarah. Dalam catatannya dikatakan bahwa pameran ini menggunakan sandiwara sebagai metafora kehidupan, mencerminkan dinamika identitas dalam percakapan global yang penuh perubahan.
ADVERTISEMENT
Karya-karya Mujahidin dan Nesar menyoroti gagasan tentang diri yang selalu berhadapan dengan “yang lain,” menunjukkan bagaimana konstruksi identitas tidaklah tetap dan selalu berkembang di bawah bayang-bayang pengaruh eksternal. Meski berasal dari latar budaya dan sejarah yang berbeda, kedua seniman memiliki pandangan yang sejalan dalam memaknai identitas sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dari pandangan orang lain.
Keduanya berasal dari generasi di mana Islam dipandang sebagai sesuatu yang asing, dengan stereotip yang menempatkannya sebagai ancaman bagi dunia Barat. Bagi Mujahidin Nurrahman, misalnya, sebagai orang yang lahir dengan nama -yang bisa diterjemahkan sebagai- "pejuang iman" dan "cahaya rahmat," Nurrahman dibayangi oleh beban stereotip yang telah dipupuk oleh propaganda global. Adapun Nesar, seperti disebutkan di atas, selalu dianggap sebagai orang yang lahir dari wilayah Islam yang sarat akan konflik.
Karya Nesar Eesar dalam pameran Theatre and The Other Self (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Melalui seni, Mujahidin dan Nesar mempertanyakan dan merebut kembali identitas mereka. Nurrahman kini memeluk namanya dalam karya-karyanya, menghadirkan potongan-potongan ornamen yang penuh simbolisme, sementara Nesar mengenang tanah kelahirannya melalui sapuan warna yang membawa ingatan masa lalu ke dalam komposisi baru.
ADVERTISEMENT
Kedua seniman menawarkan eksplorasi tentang "rumah" sebagai sesuatu yang tidak tetap, tetapi selalu berada di antara kehilangan dan penemuan kembali. Narasi “diri” mereka diwarnai oleh pengaruh luar yang kuat, khususnya representasi Timur yang telah lama dikonstruksi oleh pandangan Barat.
Estetika dalam Kekerasan
Keluar dari “tendanya Nesar”, karya Mujahidin Nurrahman “The (R)Aid” menanti di dinding. Ini karya sederhana berupa boks First Aid (P3K) yang terisi penuh oleh peluru-peluru tajam. Pesannya tegas, seakan ingin mengatakan bahwa dalam beberapa keadaan, di sebuah ruang atau waktu tertentu, boleh jadi pertolongan pertama yang kita butuhkan justru sebuah senjata dibandingkan obat. Karya ini menyiratkan simbol kekerasan yang begitu gamblang, meski masih terbungkus oleh kotak P3K.
Agaknya kedua seniman, terutama Mujahidin, memiliki kecenderungan untuk membicarakan kekerasan lewat keindahan. Selain karya “The (R)Aid”, di dalam ruang pameran kita menyaksikan kiasan-kiasan kekerasan seperti penyisipan siluet F16, M16, AK47, pada karya-karya papercut-nya Mujahidin. Hingga kerangka tengkorak yang dibedah, dimana di dalamnya siluet senjata-senjata itu lagi-lagi muncul.
Siluet senjata-senjata dalam karya Mujahidin Nurrahman (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Praktik kekaryaan Mujahidin Nurrahman selama ini memang memiliki kekhasan, yaitu karya berbasis kertas yang dipotong-potong menjadi ornamen arabes yang cantik dan amat rinci. Namun dia kerap mengambil bentuk yang berseberangan secara ide, seperti senapan, peluru, hingga roket misil.
ADVERTISEMENT
Dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, karya-karya lukis pada kanvas Nesar juga menyiratkan simbol-simbol kekerasan itu. Dia memunculkan narasi tentang tanah air yang diserbu, pemusnahan penduduk, hingga pengusiran dan kemunculan pengungsi. Penggambaran manusia yang menderita dihadapkan pada penjelmaan sosok raksasa sebagai kiasan dari mitos. Narasi kekerasan ini tampil dengan “sopan” dan “indah” karena permainan warna yang menenangkan.
Kita tahu, tema dan nuansa kekerasan yang dibalut dengan keindahan bukan hal baru dalam seni rupa. Periode seni rupa dari Modernitas hingga masa kini dipenuhi dengan strategi inventif yang mengeksplorasi nuansa kekerasan. Seniman kerap melakukan pendekatan terhadap kekerasan melalui berbagai cara mulai -dari yang tersurat hingga tersirat.
Dalam diskusi pameran ““Theatre and the Other Self” yang dihadiri kedua seniman, isu ini mencuat. Estetika kekerasan tidak hanya mempunyai implikasi artistik tetapi juga dampak ekonomi. Julian Stallabrass dalam Art Incorporated: The Story of Contemporary Art (2004) berpendapat bahwa seni yang bernuansa politik, yang mencakup kekerasan yang estetis, sering kali dikooptasi oleh pasar seni dengan cara yang menekan sisi kritisnya. Seni yang mengangkat trauma dibuat cukup menarik untuk memuaskan kurator, institusi, dan kolektor.
Diskusi pameran Theater and The Other Self (Dok. Hidayat Adhiningrat)
Dalam hal ini, industri seni sendiri memainkan peranan penting dalam membentuk cara agar kekerasan bisa diinterpretasikan dan dihargai. Dari sudut pandang industri, penggambaran kekerasan yang tidak terlalu kentara—seperti yang ditemukan dalam karya-karya Mujahidin dan Nesar—menjadi cara yang “aman” dalam mengolah tema-tema yang meresahkan, sehingga galeri dan pembeli dapat memamerkan karya-karya tersebut tanpa perlu khawatir akan kemunculan rasa tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Kurator Krishnamurti Suparka dalam katalognya menulis, keputusan Mujahidin dan Nesar untuk menampilkan bentuk-bentuk kekerasan yang kaya secara simbolis namun mengandung sisi estetis menghadapi dinamika industri ini. Karya-karya mereka yang bersih dan indah dapat dipasarkan karena mereka menangguhkan dampak kekerasan lalu menjadikannya sebagai topik untuk direnungkan dan bukan sebagai kejutan.
Dalam melakukan hal tersebut, mereka berpartisipasi dan melontarkan kritik terhadap sistem ini. Mereka menggunakan keindahan tidak hanya sebagai “senjata reklamasi” atau “simbol perlawanan” namun sebagai komentar tentang bagaimana dunia seni itu sendiri menyerap, membendung, dan menggunakan kembali trauma untuk kebutuhan konsumsi.