Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
There is No Center, Pameran Berlanjut dan Makna Tak Pernah Beku
11 Februari 2025 23:04 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Pameran “There is No Center” di ROH Galeri, Jakarta (Dok. Hidayat Adhiningrat)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jktv4fkwexmsm5d76d4pf1m3.jpg)
ADVERTISEMENT
Ketika ROH Galeri membuka pameran “There is No Center”, 25 Januari 2025 lalu, ruang galeri apple relatif lengang meski ada lima karya yang sedang “memenuhinya”. Keadaan ini berbeda dengan ruang-ruang lainnya yang terasa sesak dan padat. Atau, pada lantai di sepanjang lorong yang membentang dari pintu masuk menuju tembok di ujung ruangan. Lantai dipenuhi instalasi cermin melingkar, menggoda mata untuk mengintip pada apa yang ada di bawah sana -yang ternyata wajah-wajah kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Di ruang putih bernuansa minimalis itu, karya-karya tampak enggan menuntut perhatian. Dominasi warna monokrom diam-diam nyaris membuat saya melengos, sampai pandangan tersangkut pada "Peri Bumi" karya Budi Santoso. Patung kayu di atas batu itu menyimpan magnet tersendiri: raut wajah manusia diukir sedemikian rupa, memancarkan melankoli yang terasa akrab namun asing. Ia menjadi portal yang menarik saya masuk lebih dalam, memaksa mata untuk menyelami setiap retakan dan lekuk pahatan.
Sekali terjerat dalam ruang ini, perlahan terkuaklah narasi diam empat karya lain. Di dinding, sketsa Tith Kanitha menggeliat seperti coretan mimpi buruk. Di dinding lain, "Two Dimensional Accordion" karya Kazuko Miyamoto berdegup dalam irama geometris benang dan paku. Tapi yang paling membingungkan justru karpet putih polos yang membentang di lantai — bukan alas kaki, melainkan karya yang menantang penafsiran. Dalam diamnya, ia seolah menertawakan kegelisahan kita yang selalu ingin mencari makna. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh karpet putih ini?
Merujuk pada keterangan penyelenggara, boleh dibilang pameran “There is No Center” adalah laboratorium kuratorial ROH Galeri yang biasanya berkutat pada pameran statis. Selama 12 minggu, karya-karya akan bermetamorfosis merespons perubahan di sekitarnya. Kali ini mereka membayangkan suatu ruang ketika karya seni dapat muncul dalam tahap yang berbeda. Bentuk mereka bersifat kontingen dan relasional terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Di sini, ruang galeri bukan kotak mati, melainkan organisme hidup yang terus merekonfigurasi diri.
ADVERTISEMENT
Penyelenggara pameran menjadikan preseden historis sebagai rujukan untuk hal ini, salah satunya adalah pameran “When Attitudes Become Form” yang diselenggarakan oleh Harald Szeemann pada tahun 1969. Pameran tersebut menampilkan karya-karya yang menolak untuk menjadi objek yang tetap. Ruang pameran menjadi tempat yang terus berubah dan dapat dialihkan.
Satu kalimat dari kurator pameran, Denise Lai, menjadi peringatan bagi saya untuk tidak terburu-buru menarik kesimpulan mengenai apa yang terkandung di tiap karya. Mungkin terlalu cepat untuk mencoba mengikat makna dalam karya seni yang terus berubah. Saya coba menahan diri untuk tidak mengambil kesimpulan apa-apa. Hanya melihat dan terus memeriksa. Namun, apa saya mampu menahan godaan itu?
Seluruh ruang pameran ini ibarat peta tanpa pusat. Di langit-langit pintu masuk, karya Aditya Novali “When It’s too painful to catch the light” menggantung. Blencong—lampu tradisional pewayangan yang biasanya menyatukan bayangan boneka dalam narasi epik—di tangan Aditya berubah jadi makhluk metamodern. Tanpa api di dalamnya, ribuan cermin kecil di permukaannya memantulkan cahaya liar, menari-nari di dinding bak disko kosmik. Di sini, blencong bukan lagi sumber cahaya, melainkan perantara yang memecah realitas menjadi fragmen-fragmen yang berkedip-kedip.
Bayangan-bayangan itu menemukan mitranya di lantai: instalasi cermin Charwei Tsai “Ancient Desires - Java” yang memantulkan wajah pengunjung seperti danau tanpa dasar. Jika Aditya memecah cahaya, Charwei justru menjadikan tubuh kita sebagai bahan bakarnya. Setiap langkah meninggalkan riak di permukaan cermin, seolah kita adalah dalang sekaligus wayang dalam pertunjukan ini. Di dinding sebelah, lukisan multimedia Aditya yang lain berbisik pada instalasi lantai itu.
Di tengah percakapan diam-diam ini, ruang dipotong oleh detak jantung mekanis: “Clock” karya Orawan Arunak. Dua belas jam dinding menggantung seperti orbit planet yang mandek, masing-masing hanya memperlihatkan satu angka. Jarumnya bergerak tanpa tujuan, tidak menjanjikan pukul berapa, hanya mengingatkan bahwa waktu tetap mengalir meski kita berusaha membekukannya dalam angka. Karya ini adalah monumen untuk paradoks: gerak yang statis, waktu yang tak terukur, kefanaan yang diabadikan.
Berjalan terus hingga ke ujung ruang pamer, ada persimpangan budaya Tcheu Siong dan Albertho Wanma. Di sana permadani Tcheu menyulam makhluk dari dunia spiritual Hmong, semacam entitas yang hanya muncul di mimpi ketika logika representasi gagal. Sementara di dekatnya, potret diri Wanma sebagai patung terbelah, “Separated Generation”, hadir bagai kegagalan proyek konstruksi. Di sini, tubuh itu menjadi medan perang antara ingatan leluhur dan tuntutan identitas nasional. Membuatnya patah dan penuh kerusakan alih-alih mewujud sebagai bentuk baru yang (diharapkan) sempurna.
Hari itu saya putuskan berhenti sampai di sini, sembari bertanya dalam diri: bisakah makna benar-benar berada di suatu tempat, atau ia selalu menjadi, dalam tarian antara yang terlihat dan yang tersembunyi?
ADVERTISEMENT
***
Dua pekan setelah pembukaan, saya kembali ke ROH Gallery, saat antrian pengunjung mengular sampai ke jalan. Saya menyusuri barisan itu, tubuh terhimpit di antara mereka yang tergoda oleh gemuruh pameran. Di depan instalasi Mira Rizki Kurnia bertajuk “Bengap Dalam Senyap”, waktu seolah melambat. Sebuah panci besi menganga ke arah jalanan—mulut raksasa yang menelan riuh: deru mobil, langkah kaki, bisikan angin. Dari sana, suara-suara itu dialirkan melalui benang menuju kaleng-kaleng yang tergantung di dinding.
Saya mendekatkan telinga ke salah satu kaleng. Dengungan rendah menyelinap di antara desau percakapan yang terfragmentasi. Seolah-olah kaleng itu adalah telinga bumi yang merekam detak jantung tubuhnya. Mira, rupanya, sedang membangun mesin waktu akustik. Karyanya hidup dari momen, setiap detik menawarkan komposisi suara yang takkan terulang.
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk, saya mencoba membayangkan: bagaimana jika halaman ini sepi? Mungkin suara angin akan mendominasi, atau kita justru bisa mendengar dengung listrik dari kabel-kabel tersembunyi di balik dinding galeri. Tapi Mira tak memberi jawaban. Karyanya adalah cermin sonik yang memantulkan kebisingan. Sebuah pengingat bahwa dalam sistem besar, setiap desis, setiap helaan, adalah partitur yang terus ditulis ulang oleh waktu.
Semuanya dirajut menjadi simfoni yang terus bermutasi. Jika kemarin panci itu menangkap rintik hujan, atau besok merekam teriakan pedagang kopi bersepeda di seberang jalan, maka kaleng-kaleng ini akan “bernyanyi” dengan nada berbeda. Bahkan kehadiran kita saat ini—antrean yang tak terduga—telah mengubah narasi karya itu sendiri. Di sini, karya seni bukan lagi objek yang diam. Persis seperti janji pameran ini: tiada pusat, tiada makna yang beku. Hanya suara-suara yang berlarian di antara kaleng-kaleng usang, menyapa telinga kita sebentar, lalu lenyap ditelan momen berikutnya.
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah melangkah ke ruang pameran saya langsung menuju ke satu karya yang sebelumnya masih menyisakan misteri, karpet putih di ruang galeri apple, bagai kanvas yang menanti sentuhan akhir. Karya ini baru menemukan bentuknya ketika Bea Camacho, seniman asal Filipina, tiba untuk mengaktifkannya melalui performa “Efface” – sebuah ritual yang pertama kali digelar pada 2008 di Green Papaya Art Projects itu kini dihidupkan kembali selama tiga hari berturut-turut di pameran ini.
Ini hari kedua penampilannya, Camacho terlihat tenggelam dalam kesunyian. Di atas karpet putih itu Chamaco berselonjor, tubuh separuhnya sudah terbelit rajutan benang putih yang merambat dari kaki hingga melewati pinggang. Jika di hari pertama benang baru menyelimuti area lutut, kini gulungannya semakin naik, mengisyaratkan target akhir: membungkus seluruh tubuhnya hingga menjelma kepompong manusiawi.
ADVERTISEMENT
Setiap helai benang yang tertanam tidak sekadar menutupi tubuh, melainkan membentuk metafora penguburan diri, seolah ia dengan sengaja mengemas eksistensinya ke dalam lapisan-lapisan yang semakin tak terjangkau. Adegan kontemplatif ini mengingatkan pada ritual pengasingan. Di sini, isolasi bukan sekadar pelarian, melainkan benteng perlindungan.
"Karya ini ingin tampak publik tapi tetap intim," tulis Camacho dalam catatan di esai Erwin Romulo yang dibagikan pada pengunjung di pintu masuk. "Penonton takkan pernah bisa mengaksesnya secara utuh. Selalu ada yang tersembunyi: sesuatu yang terjadi di luar ruang ini, sesuatu yang belum tuntas atau sedang dikemas rapat-rapat."
Benang demi benang, performance ini menjadi alegori ambigu tentang pertapaan modern. Ia memantulkan paradoks: upaya menyembunyikan diri justru mengundang decak interpretasi, sementara upaya mengubur identitas malah melahirkan mitos baru. Di balik kepompong buatan itu, Camacho seperti ingin menyisakan pertanyaan: apakah yang tersisa ketika seniman dan karyanya menyatu, lalu lenyap dalam rajutan benangnya sendiri?
ADVERTISEMENT
Pameran “There is No Center” masih dapat dinikmati selama beberapa minggu ke depan. Ruang ini tidak statis—ia hidup dan terus berevolusi melalui penambahan, pengurangan, atau pengaktifan karya-karya lewat serangkaian performance. Setiap interpretasi terhadap karya pun akan terus bergulir, berubah seiring waktu. Bahkan teks yang sedang Anda baca ini pun tidak lepas dari dinamika tersebut. Begitu kalimat-kalimatnya terserap oleh pikiran Anda, deskripsi dan maknanya telah menjadi bagian dari masa lalu.
Tak ada cara untuk mengikat makna dalam satu versi final. Satu-satunya cara untuk memperbarui pemahaman Anda adalah dengan mengunjungi pameran secara langsung: merasakan bagaimana setiap karya terus membentuk ulang makna dan persepsi Anda. Di sana, batas mengabur. Persis seperti kandungan dalam judul pameran ini: tidak ada pusat yang mutlak.
ADVERTISEMENT