Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Benjamin Netanyahu, Politisasi Antisemitisme, dan Residu Sejarah
28 Juli 2024 18:38 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hidayat Doe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu kembali berkunjung ke Amerika Serikat pada Rabu, (24/07/24) waktu setempat. Kunjungan itu dilakukan dengan sejumlah agenda penting, yang di antaranya memberi pidato di Gedung Capitol. Kehadiran Netanyahu di kantor anggota Kongres Amerika itu tidak lain untuk menggalang dukungan Kongres atas apa yang diklaimnya sebagai membela diri dari ancaman dan tindakan ekstrimis Hamas dan afiliasinya.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Netanyahu di gedung anggota parlemen Federal tersebut diiringi dengan demontrasi Pro-Palestina yang menyerukan diakhirinya serangan ke Gaza dan gencatan senjata. Saat massa berdemonstrasi di luar Gedung Capitol, PM Israel itu sedang memberikan pidato yang berapi-api di hadapan anggota Kongres Amerika.
Ada banyak hal yang dikemukakan Netanyahu di ruang sidang DPR AS itu, yang intinya, dia mencoba meyakinkan anggota Kongres Amerika bahwa serangan militer di Gaza adalah untuk membela dan mempertahankan keamanan Israel dan Amerika dari ancaman atau serangan musuh: Hamas, Hezbollah, dan Al Houthi, yang ketiganya didukung Iran.
Netanyahu juga mengecam masifnya demonstrasi yang menentang kunjungannya ke Amerika. Dia menyebut para demonstran sebagai idiot karena diklaim membela Hamas dan sekutunya yang menjadi ancaman bagi Israel dan Amerika. Netanyahu pun menyinggung dan mensinyalir demonstrasi itu berkaitan dengan antisemitisme yang kerap digaungkan jika dia atau Israel dikritik dan dikecam. Istilah antisemitisme pun terlontar eksplisit di Gedung DPR Amerika tersebut. Dengan narasi itu, Netanyahu seolah ingin menyalahkan bahwa demontrasi itu adalah bagian dari antisemitisme. Apa sebenarnya yang dimaksud Netanyahu dengan antisemitisme?
ADVERTISEMENT
Antisemitisme adalah istilah yang diperkenalkan oleh seorang jurnalis Jerman bernama Wilhelm Marr sekitar tahun 1879 (Abad ke-19), yang berarti kebencian dan permusuhan terhadap orang Yahudi. Istilah itu sangat populer di Eropa, khususnya di Jerman dan sekitarnya. Kebencian atau permusuhan itu muncul dan terjadi di Eropa pasca beredarnya rumor atau wacana bahwa kaum Yahudi telah menggunakan darah anak-anak Kristen untuk kegiatan ritual ibadah.
Jauh sebelum itu, era abad pertengahan atau sekitar tahun 500-1500 Masehi, prasangka buruk terhadap kaum Yahudi sudah ada, namun belum ada istilah yang digunakan untuk merujuk hal tersebut. Ketika itu, ada pandangan atau tuduhan yang berkembang di kalangan kaum Kristen bahwa orang Yahudi-lah yang harus bertanggung jawab atas kematian Yesus Kristus karena dalam proses penangkapan, pengadilan, dan penyalibannya terlibat orang Yahudi.
ADVERTISEMENT
Sekitar akhir abad ke-19, istilah antisemitisme berkembang maknanya ke arena politik. Antisemitisme dipolitisasi sebagai sentimen politik yang disebarkan oleh kaum nasionalis Eropa untuk menyingkirkan kaum Yahudi di wilayahnya karena dianggap sebagai orang asing, tidak loyal, dan berbahaya. Istilah itu juga digunakan oleh kelompok ultra nasionalis Eropa untuk menarik dukungan politik masyarakat setempat. Maka, sejak itu, mencuatlah antisemitisme di Eropa, seperti di Jerman, Prancis, dan wilayah Eropa Tengah serta Eropa Timur, yang berujung pada tragedi pembantaian Yahudi atau Holocaust oleh rezim Nazi, yang dipimpin oleh Adolf Hitler di Jerman, sekitar tahun 1941 hingga 1945.
Peristiwa Holocaust terjadi hampir di seluruh jazirah Eropa yang masih dalam pengaruh dan kekuasaan Nazi, yakni Jerman, Polandia, Hungaria, Prancis, Belgia, Belanda, Hungaria, Cekoslowakia, dan sejumlah wilayah Uni Soviet. Diperkirakan, jumlah tewas orang Yahudi dalam genosida itu sekitar 6 jutaan orang dari 9 jutaan Yahudi yang tersebar di Eropa. Tragedi kemanusiaan itu sangat mengerikan yang kemudian memicu eksodus besar-besaran orang Yahudi ke berbagai negara, seperti wilayah Palestina (kini negara Israel), Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Amerika Selatan.
ADVERTISEMENT
Meskipun antisemitisme yang memicu bencana kemanusiaan itu sudah berlalu sekian dekade, namun sampai saat ini, sentimen buruk itu masih bertahan di beberapa wilayah Eropa. Antisemitisme tidak lagi memakan korban kematian seperti dulu, tapi masih berlaku dalam bentuk stigma/stereotip, ujaran kebencian, dan perlakuan diskriminatif. Bahkan, istilah antisemitisme kembali muncul seriring dengan gencarnya Israel menyerang Palestina.
Lantas, apakah demonstrasi yang memprotes kedatangan Benjamin Netanyahu berkaitan dengan antisemitisme, sebagaimana tuduhan yang dilontarkan PM Israel tersebut? Netanyahu sudah sering melontarkan istilah itu ketika merespons dan menyerang balik pihak yang bertentangan dengan kepentingannya. Beberapa hari lalu, Jumat (19/07/24), saat Mahkamah Internasional (International Justice Court/ICJ) mengeluarkan keputusan terhadap pendudukan Israel di Palestina adalah illegal dan melanggar hukum, Netanyahu merespons dengan menyebut keputusan itu sebagai bagian antisemitisme.
ADVERTISEMENT
Padahal, baik keputusan ICJ maupun demonstrasi pro-Palestina di depan Gedung Capitol itu tidak ada kaitannya dengan antisemitisme. Demontrasi pro-Palestina adalah gerakan untuk memprotes agresi dan tindakan genosida yang dilancarkan Israel di Palestina. Demikian juga, keputusan ICJ merupakan hasil keputusan ahli dari hakim persidangan Mahkamah Internasional. Keduanya tidak ada kaitannya dengan antisemitisme, seperti yang dituding oleh Netanyahu. Istilah negatif itu seakan dipolitisasi untuk kepentingannya, dalam artian dijadikan tameng pembelaan untuk menghadapi dan menyerang pihak yang berlawanan.
Sementara, antisemitisme adalah istilah yang kompleks dan memiliki sejarah panjang seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Artinya, Istilah tersebut tidak bisa serta merta dihubungkan dengan berbagai penolakan terhadap operasi militer Israel di Palestina. Justru, operasi militer yang membabi buta yang terus dilancarkan Israel hingga hari ini memunculkan dan menyuburkan kembali antisemitisme tersebut, yang oleh penulis disebut sebagai “Residu Sejarah”.
ADVERTISEMENT
Antisemitisme, jika dipahami lebih jauh dari sudut pandang teori konstruktivisme, adalah semacam residu sejarah, yang bisa jadi merupakan efek dari peristiwa buruk yang pernah dilakukan sejumlah oknum Yahudi di masa lalu. Residu itu bisa berdampak buruk manakala dipolitisasi oleh pihak lain untuk kepentingan tertentu. Bahkan, antisemitisme bisa sangat berbahaya secara kolektif kalau dipolitisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Nazi di Jerman. Potensi bahaya atau buruk itu sebenarnya bukan saja mengenai bangsa Semit (Yahudi) itu sendiri, tetapi juga bisa berdampak buruk pada kelompok yang dicap antisemitisme.
Semisal, Netanyahu mempolitisasi istilah antisemitisme dengan mencap demonstran Amerika sebagai antisemitik, dan di saat bersamaan ada Yahudi ekstrem, berandai saja, yang memiliki power atau senjata terprovokasi dengan tudingan Netanyahu tersebut. Maka bukan tidak mungkin para demonstran akan ditembaki oleh ultranasionalis Yahudi tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai perbandingan, dampak buruk politisasi residu sejarah tersebut bisa dilihat pada fenomena islamofobia, sebuah istilah yang merujuk pada sentimen negatif pada Islam atau komunitas muslim. Fenomena itu muncul dan mencuat di Eropa dan Amerika pada awal abad ke-21 pasca peristiwa peledakan gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, pada 11 September 2021.
Islamofobia itu serupa dengan antisemitisme, namun fenomena tersebut baru muncul di abad ini dengan konteks perkembangan teknologi media yang sangat maju, sehingga residu sejarah dari apa yang disebut sebagai Islamofobia tersebut demikian cepat mencuat dan tak terhindari oleh komunitas muslim. Fenomena itu menjadi berdampak buruk bagi komunitas muslim saat istilah itu dipolitisasi oleh pihak tertentu untuk menyudutkan Islam dan penganutnya. Komunitas muslim di sejumlah negara Eropa dan Amerika pun diperlakukan secara disktriminatif, bahkan ada yang mengalami kekerasan fisik karena kuatnya pengaruh negatif islamofobia yang dipolitisasi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sebagai pelajaran, kita perlu berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan menggunakan sebuah istilah negatif yang terkait dengan identitas kelompok tertentu. Apalagi, jika istilah identitas tersebut dipolitisasi, hal itu bisa berdampak buruk atau berbahaya, baik bagi pemilik identitas yang dimaksud, maupun pihak lain yang dicap dengan identitas tersebut.