Konten dari Pengguna

Rezim Pangan dan Energi

HIDAYATULLAH RABBANI
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN. Surel: [email protected]
17 Januari 2025 15:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HIDAYATULLAH RABBANI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panglima TNI Agus Subiyanto bersama Kapolri Listyo Sigit Prabowo menghadiri Peluncuran Gugus Tugas Polri untuk mendukung ketahanan pangan sekaligus meninjau langsung program ketahanan pangan di Desa Bulang, Kabupaten Sidoarjo, Rabu (20/11/2024). Foto: Dok. Puspen TNI
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI Agus Subiyanto bersama Kapolri Listyo Sigit Prabowo menghadiri Peluncuran Gugus Tugas Polri untuk mendukung ketahanan pangan sekaligus meninjau langsung program ketahanan pangan di Desa Bulang, Kabupaten Sidoarjo, Rabu (20/11/2024). Foto: Dok. Puspen TNI
ADVERTISEMENT
Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kembali berada dalam sorotan terkait kebijakan lingkungan dan sumber daya alam. Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin (30/12/2024), Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pernyataan kontroversial mengenai perlunya memperluas perkebunan kelapa sawit. Ia menegaskan bahwa kekhawatiran soal deforestasi akibat ekspansi lahan sawit tidak perlu berlebihan, dengan klaim bahwa sawit memiliki kontribusi positif dalam menyerap karbon dioksida. Tak lama berselang, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan rencana pemanfaatan 20 juta hektare lahan hutan cadangan sebagai bagian dari strategi mendukung cadangan pangan, energi, dan air. Konsep ini diharapkan menjadi dukungan langsung bagi program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini menyoroti dilema mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam yang kini membuat Indonesia berada di persimpangan antara mengejar ketahanan pangan dan energi dengan konsekuensi ekologis dan sosial yang mungkin ditimbulkan.
Lewat buku berjudul Climate Leviathan (2018) karya Geoff Mann dan Joel Wainwright, saya akan mencoba melihat perspektif tentang bagaimana dinamika politik dan kapitalisme global dapat memperburuk atau menghambat tercapainya solusi yang adil dan berkelanjutan dalam kebijakan pangan dan energi.

Pangan dan Energi: Pilar Ketahanan Nasional yang Rentan

Pertama-tama mari kita pahami bahwa ketahanan pangan dan energi merupakan isu yang tak terpisahkan dari kesejahteraan masyarakat dan stabilitas negara.
Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan beragam kondisi geografis, menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dasar ini. Namun, kebijakan yang diterapkan dalam sektor pangan dan energi sering kali lebih mengutamakan pencapaian jangka pendek dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah konversi lahan hutan menjadi area pertanian atau energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini, yang sering dikaitkan dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap impor energi, memiliki potensi dampak ekologis yang sangat besar. Misalnya, konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, yang sering dipromosikan sebagai solusi energi terbarukan untuk biodiesel, berkontribusi pada deforestasi massal, hilangnya habitat alami, dan penurunan keanekaragaman hayati. Realitasnya, praktik perkebunan monokultur dapat merusak struktur tanah, meningkatkan kerusakan lingkungan, dan menciptakan ketergantungan ekonomi pada komoditas global yang rentan terhadap fluktuasi pasar.

Climate Leviathan dan Pengaruh Politik dalam Kebijakan Pangan dan Energi

Dalam karyanya Climate Leviathan, Mann dan Wainwright berargumen bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga merupakan masalah politik yang melibatkan kekuasaan global dan nasional. Kebijakan pangan dan energi di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi jangka pendek, yang berpotensi mengarah pada keputusan yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan ekonomi yang sangat bergantung pada sektor sumber daya alam, sering kali berada dalam posisi di mana kebijakan pangan dan energi dipengaruhi oleh kepentingan jangka pendek yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Misalnya, proyek besar seperti konversi hutan atau pembangunan pembangkit energi sering kali diimplementasikan tanpa analisis dampak sosial dan ekologis yang memadai.
Proyek-proyek ini cenderung menguntungkan perusahaan besar dan elite politik, sementara masyarakat marginal, seperti petani kecil dan komunitas adat, sering kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya yang mereka kelola secara berkelanjutan.
Buku ini juga menyoroti bagaimana pemerintah sering kali menjadi "Leviathan," entitas besar yang menggunakan krisis sebagai legitimasi untuk memperluas kendali atas sumber daya dan masyarakat. Dalam konteks global, tekanan internasional untuk memenuhi target emisi karbon atau menyediakan komoditas global, seperti biodiesel, semakin mengeruhkan dilema ini. Oleh karena itu, kebijakan yang tampak mendukung keberlanjutan sering kali hanyalah solusi kapitalistik yang memperdalam ketidakadilan.
ADVERTISEMENT

Perspektif Global dan Alternatif Lokal

Foto udara Candi Teluk 2 yang lokasinya dikelilingi perkebunan kelapa sawit di Muaro Jambi, Jambi, Kamis (20/6/2024). Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Meski demikian,fenomena ini bukanlah masalah unik Indonesia. Banyak negara berkembang menghadapi dilema serupa di mana ketergantungan pada ekspor komoditas dan tekanan global untuk "hijau" sering kali berbenturan dengan kebutuhan lokal dan keberlanjutan.
Contoh dari negara seperti Brasil dan Republik Demokratik Kongo menunjukkan bahwa kebijakan global seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) sering kali gagal mengatasi akar masalah deforestasi, yaitu ketimpangan kekuasaan dan kebutuhan ekonomi masyarakat lokal.
Di sisi lain, perlawanan lokal terhadap model Leviathan terus muncul di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Komunitas adat dan organisasi lingkungan sering kali menjadi garda terdepan dalam melindungi ekosistem hutan dan sumber daya alam dari eksploitasi berlebihan. Inisiatif seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat, agroekologi, dan advokasi hukum berbasis keadilan iklim adalah contoh konkret dari alternatif lokal yang dapat menjadi model untuk kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Ketergantungan pada Ilmuwan yang Menjadi Alat Legitimasi

Selanjutnya, salah satu fenomena yang perlu diperhatikan dalam kebijakan pangan dan energi Indonesia adalah semakin banyaknya ilmuwan dan ahli yang terlibat dalam pembuatan kebijakan yang berpotensi dipengaruhi oleh kepentingan politik. Dalam banyak kasus, ilmuwan dan akademisi yang seharusnya bertindak sebagai pengawal integritas riset dan kebijakan, justru sering kali digunakan sebagai alat legitimasi oleh penguasa.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Banyak ilmuwan yang terafiliasi dengan pemerintah atau sektor-sektor yang mendukung kebijakan konversi lahan, pembangunan pembangkit energi, dan sektor agribisnis besar lainnya. Ilmuwan ini sering kali terlibat dalam proses-proses konsultasi atau menjadi bagian dari tim yang memberikan "validasi ilmiah" terhadap kebijakan yang sebenarnya lebih didorong oleh kepentingan ekonomi atau politik, bukan oleh hasil riset yang independen dan berimbang.
ADVERTISEMENT

Kebijakan Anti-Sains dan Kurangnya Deliberasi Publik

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia dalam kebijakan pangan dan energi adalah kurangnya pendekatan berbasis ilmu pengetahuan yang kuat. Kebijakan sering kali dibuat dengan sangat cepat, tanpa melibatkan riset yang cukup atau konsultasi dengan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan mendalam tentang dampak lingkungan dan sosial. Hal ini menciptakan kebijakan yang tidak hanya tidak efektif, tetapi juga dapat memperburuk masalah yang ada.
Dalam konteks ini, Climate Leviathan mengingatkan kita akan pentingnya pengetahuan ilmiah dan deliberasi publik dalam merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Krisis iklim dan sumber daya membutuhkan kebijakan yang didasarkan pada riset yang komprehensif dan partisipasi publik yang inklusif. Tanpa proses deliberasi yang transparan dan berbasis bukti, kebijakan pangan dan energi akan cenderung gagal dalam mencapai tujuan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Agar kebijakan pangan dan energi di Indonesia dapat mencapai tujuan ketahanan jangka panjang, penting untuk menekankan pendekatan berbasis riset ilmiah yang kredibel, analisis dampak yang menyeluruh, dan partisipasi publik yang inklusif. Kebijakan harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saat ini tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sosial dalam jangka panjang.
Pengelolaan hutan misalnya, harus mengutamakan konservasi dan restorasi ekosistem daripada semata-mata berfokus pada konversi lahan untuk pertanian atau energi terbarukan. Sektor energi terbarukan juga harus diarahkan pada pengembangan teknologi yang benar-benar ramah lingkungan, seperti panel surya dan energi angin, alih-alih hanya mengandalkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Kebijakan pangan dan energi di Indonesia harus menempatkan keberlanjutan sebagai prinsip utama, dengan dasar ilmiah yang kuat dan partisipasi masyarakat yang inklusif. Jika pemerintah terus mengambil langkah-langkah yang lebih mementingkan kepentingan politik jangka pendek daripada keberlanjutan sosial dan ekologis, Indonesia berisiko menghadapi krisis yang lebih besar di masa depan, baik dalam hal ketahanan pangan, energi, maupun keadilan sosial. Dengan belajar dari tantangan global dan memanfaatkan kekuatan lokal, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan untuk masa depan.
ADVERTISEMENT