Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Beras di Tanah Surga: Dampak Iklim dan Kebijakan Politik Indonesia
21 Juni 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Resha Hidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga beras telah menimbulkan dampak signifikan di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, terutama terasa oleh para penjual warung nasi. Keluhan-keluhan sering terdengar di warung-warung tersebut, di mana harga makanan tetap dipertahankan namun kenaikan harga beras terus terjadi. Ini menjadi perhatian karena sebelumnya, penjual warung nasi mengambil untung dengan margin yang tipis, sementara kebutuhan pokok seperti beras memiliki bobot yang sangat besar dalam biaya mereka. Dalam situasi ini, mereka hanya memiliki dua opsi: menaikkan harga jual atau menghentikan usaha mereka.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dalam aspek penjual, masyarakat pun ikut menjerit akibat kenaikan harga beras. Terutama para masyarakat miskin kota. Menurut data yang dilansir di media CNN Indonesia, harga beras tembus hingga Rp 18 ribu per kg. Harga tersebut melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Dalam sebuah video konferensi pers, presiden Jokowidodo menyebutkan bahwa kenaikan beras ini naik di berbagai negara akibat perubahan iklim yang ekstrim. Hal tersebut mengakibatkan produksi beras berkurang. Dan yang lebih mengerikan adalah kenaikan harga beras diprediksi akan naik hingga akhir maret.
Berita yang beragam tentang kenaikan harga beras mengindikasikan bahwa penyebab utamanya adalah kelangkaan beras yang disebabkan oleh perubahan iklim ekstrim, khususnya fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau panjang. Hal ini mengakibatkan gagal panen dan penundaan musim panen bagi para petani. Selain itu, dugaan timbunan stok beras oleh beberapa pihak juga disorot sebagai faktor yang memperparah situasi tersebut, sehingga produksi petani tidak mencapai pasar.
ADVERTISEMENT
Itulah sedikit gambaran fakta yang terjadi di lapangan atas fenomena kenaikan harga beras yang mencekik leher masyarakat. Fakta buruk yang harus kita terima jika fenomena ini terus di abaikan, maka tidak menuntut kemungkinan akan terjadi kelangkaan. Dan naas, kelangkaan ini harus terjadi pada komoditas pangan utama rakyat Indonesia. Penggelontoran bantuan beras oleh Presiden Joko Widodo pada masa pemilu kemarin menuai kontroversi di kalangan elit politik. Dijadikan bahan serangan politik. Inilah yang menjadikan penulis merasa kesal dan tidak masuk akal. Elit Politik terlalu berfokus pada pertandingan Jokowi dan Banteng yang ingin di sembelih, namun tidak memperhatikan esensi dari masalah pokok yang terjadi pada masyarakat bawah. Impor beras pun belum menjadi solusi terbaik pada masalah ini. Dan pada akhirnya kita harus menerima kenyataan pahit pasca pemilu, yaitu kelangkaan beras yang menyebabkan kenaikan harga pada komoditas beras.
ADVERTISEMENT
Dalam fenomena kali ini, penulis sangat sependapat dengan pernyataan Yusuf Wibisosno selaku Direktur Institute For Demographic and Poverty yang mengatakan bahwa Elnino bukanlah sesuatu yang bisa dibantah yang menjadi faktor utama kelangkaan pada beras seperti yang dipaparkan para pemangku kebijakan diatas. Tidak sepatutnya pemerintah mengkambinghitamkan Elnino karena fenomena Elnino sejatinya sudah diprediksikan jauh sebelum kenaikan harga beras melonjak tinggi di angka Rp 18 ribu dan melampaui harga HET. Fenomena Elnino seharusnya dijadikan sebagai referensi untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Maka penulis sangat tidak setuju ketika pemerintah melakukan sebuah tindakan impor beras ketika masalah sudah terjadi. Dalam arti lain pemerintah lebih senang mengobati ketimbang mencegah sebuah penyakit. Fenomena kali ini harus dijadikan sebuah evaluasi besar-besaran kabinet pemerintahan presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, program food estate juga belum dirasakan manfaatnya secara general oleh masyarakat. Mustahil rasanya food estate bisa terlaksana secara maksimal jika harga pupuk saja masih tinggi. Dan hari ini anggaran subsidi pupuk terus turun dalam lima tahun terakhir. Kita juga belum mengetahui pasti penyebab turunnya anggaran subsidi pupuk ini. Apakah hal ini terjadi akibat kejadian korupsi yang terjadi di Kementerian Pertanian oleh SYL atau karena faktor lain? Wallahualam.
Akan tetapi penulis ingin memberikan sedikit gagasan yang mungkin bisa dijadikan sebuah pertimbangan kebijakan pemerintah. Penulis berharap adanya regulasi perdagangan beras yang jelas. Pasalnya, proses perdagangan beras di Indonesia masih sangatlah rumit dan melewati rantai perdagangan yang panjang untuk sampai pada pengecer. Dalam regulasi perdagangan ini, penulis berharap adanya desentralisasi produksi dan penjualan beras. Mengingat beras merupakan hal yang pokok bagi kebutuhan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus tegas dan teliti terhadap kegiatan pembangunan infrastruktur. Jangan sampai pembangunan infrastruktur negara menghabiskan banyak lahan persawahan. Penulis berpikir dengan kekayaan dan luasnya wilayah di Indonesia, seharusnya Indonesia menjadi peringkat kedua teratas penghasil padi terbaik. Namun kenyataannya hari ini Indonesia masih menjadi peringkat ke 4 setelah Bangladesh menurut data databoks.katadata.co.id. Dan hari ini kita harus menerima kenyataan pahit untuk melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam atau negara lain untuk memenuhi kebutuhan pokok kita. padahal, kita adalah negara ketiga terbesar produsen beras.
ADVERTISEMENT
Penulis memberikan saran kepada pemerintah untuk mengambil hikmah dari kisah kepemimpinan Nabi Yusuf. Kesuksesan Nabi Yusuf dalam menghadapi masa paceklik di Mesir, di mana kebijaksanaannya sangat dihargai oleh raja Mesir, menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan kecerdasan dalam mengelola masalah ekonomi. Penulis menekankan bahwa tafsir mimpi yang membantu Nabi Yusuf dalam kisah tersebut mirip dengan ramalan cuaca BMKG yang tidak dapat dikendalikan. Namun, sebagai manusia modern, kita seharusnya lebih mampu mengatasi tantangan ini dalam jangka waktu yang lebih panjang, bahkan selamanya, dengan mengambil pelajaran dari kisah Nabi Yusuf untuk menyelesaikan masalah ekonomi secara bijaksana dan efektif.
Oleh: Resha Hidayatullah, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta