Konten dari Pengguna

Anak Muda, Teknologi, dan Aktivisme: Mobilisasi Organik di Dunia Digital

Annisa Anindya
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
29 September 2024 9:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Anak Muda, Teknologi, dan Aktivisme

Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
Anak muda di era digital saat ini memiliki peran yang semakin signifikan dalam mendorong perubahan sosial dan politik melalui aktivisme berbasis teknologi. Dengan semakin majunya perkembangan internet dan media sosial, generasi muda mampu menciptakan gerakan organik yang dimobilisasi secara digital. Mobilisasi organik, yang biasanya terjadi tanpa keterlibatan organisasi formal, memanfaatkan platform online untuk menyebarkan pesan, meningkatkan kesadaran, dan mengumpulkan dukungan secara luas.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, aktivisme digital yang digerakkan oleh Generasi Z telah muncul sebagai salah satu bentuk perjuangan sosial yang paling berpengaruh. Melalui media sosial seperti Twitter, TikTok, dan Instagram, para pemuda ini menggerakkan opini publik dan memaksa perubahan nyata di tingkat kebijakan. Dari advokasi hak-hak perempuan hingga reformasi politik, aktivisme digital menjadi alat baru bagi anak muda untuk mengambil bagian dalam perubahan sosial. Tema ini penting dibahas karena dalam era informasi yang serba cepat, kekuatan digital tidak lagi bisa diabaikan sebagai bentuk pengaruh politik dan sosial yang signifikan.
Salah satu contoh paling menonjol dari aktivisme digital adalah gerakan mengawal kasus Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2024, di mana terjadi pengawasan luas terhadap proses penentuan sistem pemilu di Indonesia. Keputusan MK untuk tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka, yang berada di bawah pengawasan masyarakat luas, adalah hasil dari mobilisasi digital yang signifikan. Tagar #KawalPutusanMK menjadi viral di Twitter, dengan ribuan anak muda ikut serta mengadvokasi transparansi dan keadilan dalam proses ini. Kampanye ini menunjukkan bahwa anak muda tidak hanya pasif menyaksikan perubahan, melainkan juga aktif terlibat dalam mempertahankan demokrasi.
Sumber: Pexels.com
Gerakan ini berawal dari kekhawatiran publik bahwa keputusan MK dapat diwarnai oleh kepentingan politik yang berpotensi merugikan demokrasi Indonesia. Para aktivis muda melalui platform media sosial mereka menyebarkan informasi tentang pentingnya partisipasi publik dalam pengawasan proses tersebut. Berbagai infografis, video, dan utas Twitter digunakan untuk menyampaikan argumen bahwa sistem pemilu yang lebih transparan dan partisipatif harus dijaga demi keberlangsungan demokrasi. Ini adalah contoh nyata bagaimana Generasi Z menggunakan media digital untuk tidak hanya meningkatkan kesadaran tetapi juga menuntut pertanggungjawaban dari institusi-institusi negara.
ADVERTISEMENT
Selain pengawalan keputusan MK, contoh lain dari aktivisme digital yang dipelopori oleh Generasi Z adalah kasus yang terjadi di Provinsi Lampung. Bima Yudho, seorang TikToker yang juga dikenal sebagai @awbimaxreborn, membuat video viral yang mengkritik kondisi infrastruktur di Lampung, khususnya jalan-jalan yang rusak dan lambatnya pembangunan. Video ini memicu gelombang kritik terhadap pemerintah daerah dan menjadi sorotan nasional. Para aktivis muda lainnya ikut menyebarkan video tersebut, mengangkat topik pembangunan infrastruktur ke tingkat nasional. Tidak hanya viral di TikTok, isu ini kemudian diangkat oleh berbagai media massa dan menjadi perbincangan nasional.
Selain itu, gerakan digital yang menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga menjadi contoh penting dari kekuatan aktivisme digital. Tagar #SahkanRUUPKS menjadi kampanye masif yang diinisiasi oleh berbagai komunitas anak muda di platform seperti Twitter dan Instagram. Kampanye ini bertujuan menekan DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan undang-undang yang melindungi korban kekerasan seksual. Banyak anak muda yang berani berbagi pengalaman mereka tentang kekerasan seksual, mengadvokasi hak-hak perempuan, serta menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami. Ini adalah bukti bahwa media digital telah menjadi ruang bagi anak muda untuk berjuang demi keadilan sosial yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Mobilisasi Massa Secara Organik
Meskipun aktivisme digital memiliki kekuatan besar dalam menggerakkan opini publik, kita tidak boleh melupakan pentingnya aksi massa secara organik. Tanpa adanya aksi nyata di dunia offline, aktivisme digital dapat jatuh ke dalam jebakan slacktivism—fenomena di mana partisipasi hanya sebatas pada interaksi online tanpa diikuti oleh tindakan nyata di lapangan. Slacktivism berisiko mengurangi dampak gerakan karena keterlibatan hanya terjadi di media sosial tanpa upaya mobilisasi fisik yang lebih signifikan.
Misalnya, gerakan #GejayanMemanggil yang digagas oleh mahasiswa pada tahun 2019 tidak hanya terbatas pada Twitter, tetapi berkembang menjadi aksi demonstrasi di berbagai kota besar di Indonesia. Kampanye digital tersebut berhasil menggerakkan ribuan mahasiswa dan masyarakat untuk turun ke jalan dan menuntut perbaikan kebijakan. Hal ini membuktikan bahwa mobilisasi massa secara organik tetap diperlukan untuk menambah tekanan pada para pemangku kebijakan.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan kampanye #ReformasiDikorupsi, di mana ribuan mahasiswa dan aktivis turun ke jalan menuntut reformasi setelah kampanye online berhasil mengumpulkan momentum besar. Aksi-aksi nyata ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial berperan penting dalam membangun kesadaran, dampak maksimal dari aktivisme baru bisa dicapai ketika ada perpaduan antara aktivisme digital dan mobilisasi massa di dunia nyata.
Mengapa Aktivisme Digital Penting?
Mengapa tema ini sangat penting untuk dibahas sekarang? Pertama, digital activism adalah cerminan dari perubahan paradigma dalam cara masyarakat berpartisipasi dalam urusan publik. Jika sebelumnya partisipasi politik banyak dilakukan lewat demonstrasi fisik atau melalui organisasi formal, kini media sosial telah menyediakan ruang baru yang memungkinkan setiap orang, terutama anak muda, untuk menyampaikan pandangan mereka dan mempengaruhi kebijakan publik. Dengan satu unggahan atau video, suara anak muda bisa didengar oleh jutaan orang, termasuk para pembuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
Kedua, teknologi telah membuat akses terhadap informasi menjadi lebih demokratis. Media sosial tidak hanya memungkinkan individu untuk mengakses informasi secara cepat, tetapi juga memungkinkan mereka untuk memproduksi konten sendiri. Anak muda kini dapat mendistribusikan narasi mereka sendiri, melampaui batas-batas media tradisional yang sering kali dikendalikan oleh kepentingan korporat atau politik. Mereka tidak lagi hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai produser yang dapat menggerakkan wacana-wacana kritis dan memperjuangkan keadilan.
Ketiga, pentingnya digital activism juga terlihat dari kekuatan kolektif yang dimiliki oleh gerakan ini. Dengan hashtag atau kampanye digital, aktivis muda dapat memobilisasi dukungan dalam skala besar. Hal ini memberikan tekanan yang lebih besar pada pihak-pihak berwenang untuk merespons tuntutan mereka. Dalam konteks Indonesia, di mana akses langsung kepada pengambil keputusan sering kali sulit, media sosial telah menjadi alat yang sangat efektif untuk menjembatani jurang antara rakyat dan pemerintah.
ADVERTISEMENT