Konten dari Pengguna

Industri Kecantikan: I Am Young and Beautiful—At Least on Social Media

Annisa Anindya
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
22 September 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Industri Kecantikan Mempengaruhi Standar Kecantikan

Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri kecantikan melalui strategi pemasaran di media sosial berkolaborasi erat dengan selebritas digital untuk membangun citra kecantikan ideal yang sering kali sulit dicapai oleh sebagian besar orang. Gambar-gambar yang dipublikasikan oleh influencer kecantikan mengusung wajah tanpa cela, kulit mulus, tubuh langsing, dan penampilan sempurna yang dianggap bisa dicapai melalui penggunaan berbagai produk kosmetik dan perawatan tubuh. Fenomena ini semakin diperkuat oleh kehadiran influencer yang mempromosikan produk-produk kosmetik secara konsisten dalam konten harian mereka, baik itu melalui tutorial makeup, ulasan produk, atau transformasi kecantikan yang menunjukkan hasil luar biasa setelah menggunakan produk tertentu.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan telah menjadi bagian integral dari budaya manusia selama berabad-abad. Di masa lalu, standar ini dipengaruhi oleh seni, kerajaan, dan masyarakat, namun kini industri kecantikan, dengan bantuan teknologi dan media sosial, telah mengambil peran utama dalam membentuk persepsi tentang kecantikan ideal. Ketika media sosial mulai mendominasi kehidupan sehari-hari, standar kecantikan tradisional yang dulu dipromosikan melalui televisi, majalah, atau iklan film kini bergeser ke platform digital, dengan selebritas digital dan influencer yang mengendalikan narasi kecantikan.
Konten-konten ini tidak hanya memperkuat standar kecantikan yang terbentuk di masyarakat, tetapi juga mendorong audiens untuk meniru penampilan tersebut. Remaja perempuan, khususnya, rentan terhadap pengaruh media sosial dan sering kali merasa bahwa untuk diterima secara sosial, mereka harus memenuhi standar kecantikan yang diciptakan oleh industri ini. Media sosial, yang menawarkan platform terbuka bagi siapa saja untuk memamerkan penampilan mereka, semakin memperkuat pentingnya penampilan fisik dalam menentukan nilai seseorang.
Sumber: Pexels.com
Tidak hanya perempuan yang terkena dampak dari standar kecantikan ini. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki juga merasakan tekanan serupa terkait penampilan fisik mereka. Meskipun tidak sekuat pada perempuan, laki-laki pun dihadapkan pada ekspektasi sosial yang menuntut tubuh yang kuat, berotot, dan atletis. Iklan-iklan yang menggunakan tubuh pria berotot untuk mempromosikan pakaian, aksesoris, atau produk perawatan tubuh semakin mempertegas gagasan maskulinitas tradisional yang sering kali menekan laki-laki untuk memenuhi standar yang tidak realistis.
ADVERTISEMENT
Peran algoritma media sosial tidak dapat diabaikan dalam memperkuat standar kecantikan ini. Platform seperti Instagram dan TikTok menggunakan algoritma yang memprioritaskan konten yang sering disukai dan dibagikan, yang sering kali berasal dari influencer kecantikan atau merek-merek terkenal. Konten ini secara otomatis muncul di feed pengguna, menciptakan ilusi bahwa standar kecantikan tersebut adalah norma yang harus diikuti. Algoritma ini juga mendorong pengguna untuk terlibat lebih dalam, membandingkan diri mereka dengan selebritas digital dan, dalam banyak kasus, merasa tidak puas dengan penampilan mereka sendiri.
Dalam kehidupan remaja perempuan, tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang dipromosikan di media sosial sering kali mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan mental mereka. Studi menunjukkan bahwa gadis-gadis remaja yang sering membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial lebih cenderung merasa tidak puas dengan tubuh mereka sendiri. Keinginan untuk mendapatkan lebih banyak 'like', pengikut, atau komentar positif mendorong mereka untuk mengubah penampilan mereka demi memenuhi ekspektasi kecantikan yang tidak realistis. Hal ini bisa memicu perasaan rendah diri, depresi, bahkan hingga perilaku menyakiti diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain di media sosial juga tidak hanya berdampak pada kepercayaan diri seseorang, tetapi juga memperkuat distorsi citra tubuh. Banyak dari kita, baik pria maupun wanita, tidak menyadari betapa besar pengaruh media sosial dalam memodifikasi cara kita memandang tubuh kita. Pengguna sering kali mengedit foto mereka sebelum mempostingnya, menggunakan filter atau aplikasi yang secara drastis mengubah penampilan mereka. Ini menciptakan ilusi bahwa orang-orang di media sosial memiliki penampilan yang sempurna, padahal kenyataannya, gambar-gambar tersebut sering kali dimodifikasi secara signifikan.
Selebritas digital dan influencer kecantikan memanfaatkan fenomena ini untuk mempromosikan produk-produk kosmetik yang diklaim dapat "memperbaiki" ketidaksempurnaan alami manusia, seperti produk anti-keriput, pemutih kulit, hingga penurun berat badan. Akibatnya, banyak orang merasa bahwa untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, mereka perlu membeli produk-produk ini. Tekanan untuk tampil sesuai dengan standar kecantikan ini menciptakan siklus yang tidak sehat di mana konsumen merasa perlu terus-menerus membeli produk kecantikan demi mencapai penampilan yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi antara merek-merek kosmetik dan selebritas digital semakin mengokohkan citra bahwa kecantikan adalah sesuatu yang harus dicapai dengan usaha dan biaya. Selebritas digital yang memiliki ribuan hingga jutaan pengikut sering kali menjadi representasi dari standar kecantikan tersebut. Mereka menampilkan wajah dan tubuh yang tampak sempurna, sering kali hasil dari perawatan estetika yang mahal, tetapi mereka jarang, atau bahkan tidak pernah, mengungkapkan upaya di balik penampilan tersebut. Hal ini menciptakan ekspektasi yang tidak realistis bagi pengikut mereka, terutama perempuan