Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Media Sosial: Arena Tekanan Sosial dalam Era Konsumsi
29 September 2024 9:32 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Media Sosial Menjadi Tekanan Sosial
ADVERTISEMENT
Media sosial telah berkembang menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia kini menjadi medium yang secara halus dan kuat memperkuat tatanan sosial dan mempromosikan gaya hidup konsumtif. Pemikiran ini bukanlah hal baru. Para ahli komunikasi seperti Paul F. Lazersfeld dan Robert K. Merton telah lama mengemukakan bahwa media memainkan peran penting dalam memperkuat nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dalam konteks media sosial saat ini, norma-norma yang dipromosikan seringkali berpusat pada konsumerisme, dengan tren dan gaya hidup yang dikemas sebagai tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Salah satu fenomena psikologis yang mendominasi interaksi di media sosial adalah FOMO, atau Fear of Missing Out. FOMO mengacu pada ketakutan atau kecemasan seseorang karena merasa tertinggal atau tidak mengikuti tren terbaru. Dalam dunia media sosial, kita terus-menerus dibombardir dengan konten yang menunjukkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna: liburan mewah, pakaian bermerek, dan aktivitas sosial yang menarik. Fenomena ini menciptakan tekanan bagi pengguna media sosial untuk ikut serta dalam tren tersebut, atau setidaknya menciptakan ilusi bahwa mereka juga memiliki kehidupan yang sama menariknya.
Sebagai contoh, fenomena Labubu, boneka monster yang awalnya hanya populer di kalangan kecil penggemar seni, dengan cepat meledak menjadi tren di Asia setelah idol Korea Lisa "Blackpink" memposting fotonya bersama boneka tersebut di media sosial. Sejak saat itu, Labubu menjadi barang yang sangat dicari dan dijadikan simbol status di kalangan pengguna media sosial. Orang-orang yang memiliki Labubu dianggap "in" dan mengikuti tren terbaru, meskipun pada awalnya mungkin mereka tidak benar-benar tertarik dengan boneka tersebut. Tekanan sosial untuk memiliki benda yang sedang tren ini memperlihatkan bagaimana media sosial mengarahkan kita untuk menyesuaikan diri dengan standar yang tidak selalu kita yakini.
ADVERTISEMENT
Selain memicu FOMO, media sosial juga memperkuat budaya konsumtif yang semakin melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Para selebritas dan influencer kerap kali mempromosikan gaya hidup yang glamor, lengkap dengan barang-barang mewah dan eksklusif. Mereka memperkenalkan produk-produk ini secara halus dalam bentuk unggahan konten harian mereka, seolah-olah produk tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari gaya hidup mereka. Fenomena ini dikenal sebagai komersialisasi konten, di mana konten yang dibagikan sebenarnya merupakan iklan tersembunyi untuk mendorong konsumsi.
Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi platform berbagi informasi, tetapi juga tempat di mana norma konsumsi dipromosikan dan diperkuat. Pengguna media sosial yang merasa tertinggal akan cenderung membeli produk-produk yang sama, meskipun mereka tidak benar-benar membutuhkannya, hanya untuk mengikuti tren yang dipromosikan oleh para influencer. Di sinilah media sosial memainkan peran kunci dalam menciptakan budaya konsumsi yang berlebihan. Orang-orang terdorong untuk terus membeli dan mengonsumsi barang-barang baru demi mempertahankan citra yang mereka ciptakan di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Contoh nyatanya adalah penggunaan fitur swipe up di Instagram Stories, di mana para influencer sering kali memberikan tautan langsung ke produk-produk yang mereka promosikan. Ini menciptakan kemudahan bagi para pengikut untuk segera membeli produk tersebut tanpa banyak berpikir. Dorongan untuk berbelanja semakin diperkuat oleh fakta bahwa banyak orang merasa perlu meniru gaya hidup para influencer yang mereka kagumi. Hal ini membuat media sosial menjadi lahan subur bagi kapitalisme konsumtif.
Endorsement dan Budaya Flexing
Salah satu cara utama di mana media sosial mendorong konsumsi adalah melalui endorsement atau promosi produk oleh influencer dan selebritas. Endorsement ini sering kali dilakukan dengan cara yang tampak organik, seolah-olah influencer hanya berbagi tentang produk yang mereka gunakan sehari-hari. Namun, di balik itu semua, ada hubungan komersial di mana para influencer dibayar untuk mempromosikan produk tertentu. Dalam beberapa kasus, influencer bahkan mendesain konten mereka sedemikian rupa agar tidak terlihat seperti iklan, membuat audiens merasa bahwa mereka hanya berbagi rekomendasi produk secara tulus.
ADVERTISEMENT
Budaya flexing juga menjadi bagian dari dinamika ini. Flexing mengacu pada tindakan memamerkan barang-barang mewah atau gaya hidup glamor di media sosial. Influencer sering kali secara sadar atau tidak sadar mempromosikan gaya hidup ini, di mana kepemilikan barang-barang mewah dianggap sebagai tanda kesuksesan. Flexing di media sosial tidak hanya terbatas pada barang-barang fisik seperti mobil atau pakaian, tetapi juga melibatkan pengalaman-pengalaman eksklusif seperti liburan di resor mewah atau makan di restoran bintang lima.
Bagi sebagian besar orang, ini menciptakan tekanan untuk ikut serta dalam gaya hidup yang serupa. Mereka merasa terdorong untuk membeli barang-barang yang sama atau mengunjungi tempat-tempat yang sama agar dapat menunjukkan bahwa mereka juga bagian dari "kalangan elit" yang terlihat di media sosial. Bahkan jika mereka tidak mampu secara finansial, banyak yang tetap berusaha untuk mengikuti tren ini, sering kali dengan mengorbankan kebutuhan lain.
ADVERTISEMENT
Tekanan untuk terus mengikuti tren konsumsi di media sosial tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga finansial. Banyak orang merasa terjebak dalam siklus konsumsi berlebihan karena takut dianggap ketinggalan. Mereka terus-menerus merasa harus membeli barang-barang baru atau mengikuti gaya hidup yang dipromosikan di media sosial, meskipun hal itu bisa merusak stabilitas finansial mereka. Selain itu, perbandingan terus-menerus dengan kehidupan orang lain yang tampaknya sempurna di media sosial juga dapat menyebabkan rasa rendah diri, kecemasan, dan depresi.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan terkait erat dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan. Hal ini diperparah oleh budaya konsumerisme yang semakin mendominasi platform-platform ini. Ketika seseorang melihat temannya atau influencer favoritnya memamerkan barang-barang baru, mereka merasa tertekan untuk melakukan hal yang sama. Perasaan ini sering kali tidak sehat, terutama ketika seseorang merasa bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar yang ditampilkan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Media sosial kini telah menjadi arena di mana tekanan sosial dan konsumsi berlebihan semakin diperkuat. Fenomena seperti FOMO, flexing, dan endorsement oleh influencer menciptakan lingkungan di mana konformitas terhadap gaya hidup konsumtif dianggap sebagai norma. Pengguna media sosial tidak hanya merasa harus mengikuti tren yang sedang berlangsung, tetapi juga terdorong untuk terus-menerus membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya merugikan kesehatan mental, tetapi juga stabilitas finansial individu.