Konten dari Pengguna

Media Sosial: Kesadaran Palsu di Ilusi Diri dalam Perspektif Nietzsche

Annisa Anindya
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
29 September 2024 8:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Media Sosial dan Kesadaran Palsu

ADVERTISEMENT
Sumber: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com
Media sosial, dalam perspektif Nietzsche, dapat dianggap sebagai perwujudan dari kesadaran palsu dan ilusi diri yang mendominasi kehidupan modern. Nietzsche, seorang filsuf yang terkenal dengan kritiknya terhadap moralitas konvensional dan pencarian kebenaran otentik, menyoroti bagaimana manusia sering kali terjebak dalam konstruksi sosial yang tidak otentik. Dalam konteks media sosial, kita dapat melihat bagaimana individu membangun citra palsu dan menjadi terasing dari diri sejati mereka.
ADVERTISEMENT
Di zaman modern yang dipenuhi oleh konektivitas digital, media sosial telah menjadi arena di mana individu membangun citra diri mereka. Setiap unggahan, komentar, atau reaksi menciptakan narasi yang kadang jauh dari kenyataan. Fenomena ini dikenal sebagai kesadaran palsu, di mana pengguna media sosial memproyeksikan versi kehidupan yang ideal, namun tidak selalu sejalan dengan kenyataan yang mereka jalani. Dalam konteks ini, pemikiran Nietzsche tentang perjuangan untuk bertahan hidup dan mencapai kekuasaan melalui persepsi diri menjadi relevan.
Bagi Nietzsche, perjuangan manusia bukan hanya tentang kelangsungan fisik, tetapi juga tentang kekuasaan atas persepsi—bagaimana individu memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka ingin dipandang oleh orang lain, hal ini tercermin dalam bagaimana pengguna media sosial berusaha membentuk citra diri yang sempurna. Mereka merasa perlu menunjukkan kesuksesan, kebahagiaan, dan kebebasan yang mungkin tidak sepenuhnya mereka miliki dalam kehidupan nyata. Ini adalah bentuk perjuangan modern untuk mendapatkan kendali atas persepsi orang lain, dengan harapan mendapatkan pengaruh dan kekuasaan sosial.
ADVERTISEMENT
Setiap unggahan yang disusun dengan cermat, setiap gambar yang dipoles dengan filter, dan setiap cerita bahagia yang dibagikan ke dunia maya adalah bagian dari narasi ini. Pengguna media sosial tidak hanya menipu orang lain, tetapi juga diri mereka sendiri. Mereka mulai mempercayai ilusi yang mereka ciptakan—sebuah kesadaran palsu yang mengatakan bahwa hidup mereka lebih sempurna daripada kenyataannya. Di sinilah letak relevansi pemikiran Nietzsche. Menurutnya, ilusi dan penipuan diri adalah bagian penting dari perjuangan manusia untuk meraih kekuasaan. Dalam dunia digital, kekuasaan ini tidak lagi terkait dengan kontrol fisik, melainkan dengan kendali atas persepsi publik.
Sumber: Pexels.com
Media sosial memungkinkan kita untuk mengedit kehidupan kita, menyembunyikan bagian-bagian yang tidak kita inginkan, dan menampilkan hanya potongan-potongan yang menarik. Ini menciptakan semacam realitas alternatif, di mana kesempurnaan bisa diraih melalui gambar yang diatur dan kata-kata yang dipilih dengan hati-hati. Pada akhirnya, ini adalah permainan kekuasaan, seperti yang dipahami oleh Nietzsche—upaya untuk mendominasi persepsi orang lain dan membuat mereka percaya pada narasi yang telah kita ciptakan. Namun, perjuangan ini tidak tanpa konsekuensi.
ADVERTISEMENT
Dalam proses membangun citra diri yang ideal, banyak pengguna media sosial tanpa sadar terperangkap dalam jebakan kesadaran palsu. Mereka merasa perlu terus mempertahankan ilusi tersebut, meskipun semakin jauh dari kebenaran. Kehidupan yang dikurasi ini membuat mereka kehilangan kontak dengan siapa mereka sebenarnya. Mereka tidak hanya membentuk kesadaran palsu di mata orang lain, tetapi juga dalam diri mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia sering kali berbohong kepada diri mereka sendiri lebih dari mereka berbohong kepada orang lain. Di dunia media sosial, kebohongan ini diperkuat oleh umpan balik yang diberikan oleh sistem algoritma yang mendukung validasi sosial seperti "like" dan komentar positif.
Obsesi terhadap validasi eksternal ini, yang tercermin dalam bentuk reaksi digital seperti "like" dan "share", memperlihatkan bagaimana perjuangan untuk pengaruh dan kekuasaan di media sosial berlanjut. Pengguna yang menerima lebih banyak perhatian merasa dirinya lebih berharga dan lebih berkuasa di dunia digital. Mereka menjadi lebih yakin bahwa ilusi yang mereka ciptakan adalah benar, meski hanya berdasarkan persepsi orang lain. Seperti yang ditegaskan oleh Nietzsche, kekuasaan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga terletak dalam kemampuan seseorang untuk mempengaruhi bagaimana orang lain melihat mereka.
ADVERTISEMENT
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO), misalnya, memperkuat kesadaran palsu ini. Banyak orang merasa bahwa mereka harus selalu terlibat dalam tren terbaru atau memperlihatkan bahwa mereka ikut dalam kegiatan sosial yang sedang populer. Mereka berusaha agar tidak terlihat ketinggalan, meskipun mungkin tidak ada minat nyata dalam hal-hal tersebut. Pengguna merasa tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditetapkan oleh lingkungan sosial digital, yang sering kali menciptakan citra diri yang tidak otentik. Seperti yang dikatakan Nietzsche, manusia adalah makhluk yang berjuang untuk kekuasaan, dan dalam konteks media sosial, kekuasaan ini hadir dalam bentuk penerimaan sosial dan relevansi digital.
Kesadaran palsu ini juga terlihat dalam bagaimana influencer membangun dan mempertahankan citra mereka di media sosial. Influencer, yang menjadi model dan panutan bagi banyak orang, kerap kali memproyeksikan gaya hidup yang tampak sempurna dan glamor. Namun, kehidupan tersebut sering kali hanyalah hasil dari penipuan diri, diciptakan untuk menarik perhatian dan mengamankan pengaruh di dunia digital. Pengikut mereka kemudian mencoba meniru apa yang mereka lihat, percaya bahwa standar kesempurnaan tersebut adalah sesuatu yang bisa dicapai, padahal yang mereka lihat hanyalah ilusi.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam konteks aktivisme sosial, kesadaran palsu ini tetap relevan. Banyak pengguna media sosial yang terlibat dalam “slacktivism” atau aktivisme digital yang sifatnya hanya simbolik. Mereka merasa telah berkontribusi pada perubahan sosial hanya dengan membagikan tagar atau mengubah foto profil, meskipun dampaknya tidak nyata di dunia fisik. Ini adalah bagian dari ilusi bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang bermakna, padahal dalam kenyataannya, kontribusi tersebut lebih sering berfungsi sebagai cara untuk membangun citra diri yang peduli di mata orang lain.
Dalam pandangan Nietzsche, semua bentuk penipuan diri ini pada akhirnya terkait dengan perjuangan manusia untuk menguasai persepsi, baik tentang diri sendiri maupun tentang bagaimana mereka dipandang oleh orang lain. Di dunia digital, di mana identitas seseorang sebagian besar dibentuk oleh keberadaan online mereka, ilusi dan kesadaran palsu menjadi alat yang penting dalam perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Pengguna media sosial berupaya membangun citra yang tidak hanya membuat mereka terlihat sukses dan bahagia, tetapi juga untuk mempertahankan kontrol atas bagaimana dunia melihat mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagaimana setiap perjuangan untuk kekuasaan, ada harga yang harus dibayar. Kesadaran palsu ini tidak hanya menciptakan ketegangan dalam hubungan sosial, tetapi juga mengikis identitas diri yang otentik. Di dunia yang semakin terhubung oleh media sosial, kita harus bertanya pada diri sendiri: seberapa jauh kita akan pergi untuk mempertahankan ilusi tersebut? Dan apakah pada akhirnya, seperti yang diprediksi oleh Nietzsche, kita akan terperangkap dalam ilusi kita sendiri, kehilangan kontak dengan realitas yang sebenarnya?