Konten dari Pengguna

Media Sosial: Role-Relaxation Perempuan

Annisa Anindya
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
31 Agustus 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pexels.com (Perempuan)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com (Perempuan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial telah menjadi pelarian bagi banyak perempuan dari berbagai tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, perempuan cenderung melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun, penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menggunakan teknologi digital untuk berkomunikasi dengan orang lain cenderung melaporkan stres yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak menggunakan teknologi ini. Di tengah kesibukan dan tuntutan yang tidak henti-hentinya, platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram menawarkan ruang di mana mereka bisa merasa didengar dan dipahami.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik fungsi pelariannya, media sosial juga menyimpan sisi gelap yang sering kali tersembunyi. Penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung mengekspresikan lebih banyak kemarahan dan kekesalan di platform tersebut dibandingkan dalam interaksi langsung. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori "role-relaxation," di mana media elektronik memungkinkan individu melonggarkan peran sosial mereka.
Sumber: Pexels.com (Media Sosial sebagai Role-Relaxation pada Perempuan)
Teori "role-relaxation" mengacu pada bagaimana media elektronik mengubah dinamika interaksi sosial. Dalam komunikasi tatap muka, norma dan aturan sosial secara tidak langsung membatasi cara kita mengekspresikan diri. Ada unsur kedekatan dan akuntabilitas yang membuat individu lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara. Namun, media sosial mengaburkan batasan-batasan tersebut. Dalam dunia maya, interaksi sering kali anonim atau setidaknya jarak jauh, memungkinkan orang bertindak dengan cara yang mungkin tidak akan mereka lakukan dalam situasi langsung.
ADVERTISEMENT
Media sosial memberikan perempuan akses ke komunitas yang dapat memberi mereka dukungan yang sangat diperlukan. Dalam grup atau forum online, mereka dapat berbagi cerita, mendapatkan nasihat, dan merasa dikelilingi oleh orang-orang yang memahami apa yang mereka alami. Dukungan sosial semacam ini sering kali menjadi katup pelepasan yang penting, membantu menurunkan tingkat stres yang mereka rasakan. Bagi banyak perempuan, hanya dengan mengetahui bahwa ada orang lain yang peduli dan mau mendengarkan sudah cukup untuk meringankan beban emosional mereka.
Namun, hubungan perempuan dengan media sosial tidak selalu mulus. Ada kalanya pelarian dari stres ini berubah menjadi perilaku yang lebih ekstrem. Perempuan yang merasa tertekan atau marah kadang-kadang menggunakan media sosial sebagai arena untuk melampiaskan emosi mereka. Dalam situasi seperti ini, komentar-komentar yang mereka tuliskan bisa menjadi kasar, bahkan brutal, menghakimi orang lain tanpa mempertimbangkan dampaknya. Hal ini diperburuk oleh sifat media sosial yang memberikan ruang untuk anonimitas dan jarak emosional, sehingga banyak orang merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukanlah hal yang aneh. Ketika seseorang merasa terdesak oleh perasaan mereka sendiri, media sosial bisa menjadi tempat di mana mereka merasa bebas untuk melepaskan apa pun yang mereka rasakan. Anonimitas dan jarak yang diberikan oleh dunia maya sering kali membuat mereka merasa aman untuk mengatakan hal-hal yang mungkin tidak akan mereka ucapkan dalam kehidupan nyata. Namun, apa yang terasa seperti pelepasan sementara ini bisa berubah menjadi siklus negatif, di mana komentar brutal yang diberikan mengarah pada konflik lebih lanjut dan memperburuk kondisi mental mereka sendiri.
Di sisi lain, ada perempuan yang menemukan bahwa dengan berbagi kisah mereka di media sosial, mereka mendapatkan semacam validasi yang tidak bisa mereka dapatkan di tempat lain. Setiap "like," komentar positif, atau dukungan yang diterima dari komunitas online bisa menjadi sumber kekuatan, membantu mereka merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri. Namun, ketergantungan pada validasi ini juga memiliki risikonya. Ketika respons yang diharapkan tidak datang, atau ketika kritik negatif muncul, perasaan mereka bisa berbalik menjadi frustrasi dan kekecewaan yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Di sinilah letak paradoks media sosial. Di satu sisi, ia menawarkan dukungan dan pelarian dari stres yang sangat dibutuhkan, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi sumber stres baru. Perempuan, yang sering kali lebih vokal di media sosial, harus menavigasi ruang ini dengan hati-hati. Mereka perlu menemukan keseimbangan antara menggunakan media sosial untuk dukungan dan pelarian, serta menjaga kesehatan mental mereka dengan menghindari keterlibatan yang terlalu dalam dalam drama online atau konflik yang tidak perlu.
Media sosial memang memberikan perempuan alat untuk mengekspresikan diri mereka dengan lebih bebas, tetapi kebebasan ini datang dengan tanggung jawab. Sebagai pengguna, penting untuk diingat bahwa setiap kata yang kita ucapkan di dunia maya memiliki dampak. Entah itu memberikan dukungan atau sebaliknya, mengkritik dengan kasar, semua itu memengaruhi orang lain dan diri kita sendiri. Dengan kesadaran dan kendali diri, media sosial dapat menjadi sekutu dalam menjaga kesejahteraan emosional, bukan menjadi arena penghakiman yang memperburuk stres yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek penting dari "role-relaxation" adalah memudarnya akuntabilitas dalam komunikasi online. Akuntabilitas sosial yang ada dalam interaksi tatap muka hampir sepenuhnya hilang di media sosial. Di dunia maya, orang merasa mereka dapat bertindak tanpa konsekuensi langsung, yang memfasilitasi ekspresi emosi yang lebih ekstrem. Ini bukan berarti bahwa semua orang akan bertindak tanpa batas, tetapi bagi sebagian besar orang, ada kecenderungan untuk lebih leluasa dalam mengekspresikan diri ketika mereka tidak merasa diawasi secara langsung.
Fenomena ini dapat diamati dalam berbagai bentuk, dari debat politik yang panas hingga perundungan siber. Banyak orang yang mungkin tidak berani mengatakan hal-hal tertentu dalam percakapan langsung merasa lebih mudah untuk melakukannya di media sosial. Ini menunjukkan bagaimana media elektronik dapat mengubah cara kita berinteraksi dan mengekspresikan diri, dengan menghapus beberapa batasan sosial yang biasanya membatasi perilaku kita.
ADVERTISEMENT