Konten dari Pengguna

Perkembangan industri kecantikan menjadi standar kecantikan wanita Indonesia

Annisa Anindya
Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas
28 Juli 2024 10:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anindya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Industri Kecantikan Menjadi Standar Kecantikan

Sumber: Pexels.com (Industri Kecantikan)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels.com (Industri Kecantikan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkembangan industri kecantikan saat ini sangatlah luar biasa. Di banyak negara Asia, penggunaan model Barat yang meluas dalam periklanan telah memicu kekhawatiran yang signifikan. Keinginan untuk meniru estetika Barat bervariasi di seluruh budaya. Di Indonesia, misalnya, biaya dan aksesibilitas operasi plastik seringkali membuatnya tidak terjangkau oleh sebagian besar penduduk. Namun, segmen masyarakat yang lebih kaya, dilengkapi dengan sarana keuangan, memiliki kesempatan untuk menjalani prosedur yang meniru fitur model Kaukasia yang sering digambarkan dalam iklan produk pemutih. Sementara perubahan fisik yang disengaja tetap agak tabu karena pertimbangan agama mengenai rasa syukur atas penampilan alami, beberapa individu, terutama seniman, mengejar transformasi seperti itu secara diam-diam.
ADVERTISEMENT
Lanskap praktik pemutihan kulit di Asia sangat kompleks, di mana persepsi tentang kecantikan dan identitas ras bersinggungan dengan norma budaya dan kesenjangan ekonomi. Colorism, preferensi untuk warna kulit yang lebih terang, tidak hanya membentuk hierarki sosial tetapi juga memengaruhi perilaku konsumen di pasar perawatan kulit. Industri produk pemutih kulit bernilai miliaran dolar yang berkembang pesat, didominasi oleh raksasa global seperti Beiersdorf dan pemain lokal seperti Wardah, mencerminkan pengaruh standar kecantikan yang memprioritaskan kulit putih. Namun, mempromosikan warna kulit putih tertentu sebagai cita-cita Pan-Asia menimbulkan pertanyaan tentang keragaman ras dan inklusivitas di wilayah tersebut.
Preferensi untuk kulit yang lebih terang, biasa disebut sebagai colorism, menetapkan hierarki sosial berdasarkan warna kulit. Colorism sudah tertanam kuat di banyak masyarakat Asia, di mana kulit yang lebih terang sering dikaitkan dengan status sosial, kekayaan, dan kecantikan yang lebih tinggi. Fenomena ini bukanlah hal baru; ia memiliki akar sejarah yang mendahului kolonialisme. Namun, pengaruh penjajahan Barat telah memperburuk persepsi ini, menanamkan cita-cita kecantikan Barat ke dalam tatanan budaya banyak negara Asia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, misalnya, dampak penjajahan Belanda telah meninggalkan warisan abadi pada standar kecantikan. Selama periode kolonial, kulit yang lebih terang dikaitkan dengan kelas penguasa dan penjajah Eropa, sedangkan kulit yang lebih gelap terkait dengan penduduk asli dan status sosial yang lebih rendah. Konteks historis ini telah berkontribusi pada preferensi kontemporer untuk kulit yang lebih terang, yang semakin diperkuat oleh media dan periklanan modern.
Industri kecantikan telah memanfaatkan sikap sosial ini, mengubah keinginan untuk kulit yang lebih terang menjadi bisnis yang menguntungkan. Pasar pemutih kulit di Asia telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar, terutama di negara-negara seperti Jepang dan Cina. Produk pemutih kulit mencakup beragam item perawatan kulit, termasuk pembersih, toner, pelembab, alas bedak riasan, tabir surya, losion tubuh, dan deodoran. Konglomerat global seperti Beiersdorf, Unilever, Shiseido, Procter & Gamble, L'Oréal, dan Kao Corporation mendominasi pasar ini, memenuhi permintaan yang meningkat akan produk pemutih kulit di seluruh wilayah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, merek lokal seperti Wardah, Snowz, dan Laneige telah menjadi terkenal dengan menawarkan rangkaian pemutih kulit yang disesuaikan dengan beragam konsumen Asia. Merek-merek ini sering menggunakan referensi budaya lokal dan wajah-wajah yang akrab untuk menarik audiens target mereka, membuat produk mereka lebih relatable dan diinginkan. Misalnya, Wardah, sebuah merek Indonesia, menekankan sertifikasi halal dan keindahan sederhana, selaras dengan nilai-nilai agama dan budaya dari basis pelanggannya yang mayoritas Muslim.
Terlepas dari produk pemutih kulit di mana-mana, ada pemahaman yang bernuansa tentang keputihan, dengan interpretasi dan makna yang bervariasi di berbagai konteks. Secara khusus, mempromosikan warna kulit putih tertentu sebagai bagian dari cita-cita Pan-Asia dapat mengistimewakan subkelompok ras tertentu, seperti mereka yang berasal dari Asia Timur Laut, sambil meminggirkan yang lain, seperti orang-orang dari Asia Tenggara. Dinamika ini menciptakan interaksi yang kompleks antara ras, kecantikan, dan hierarki sosial, di mana individu berkulit terang sering dianggap lebih menarik dan sukses.
ADVERTISEMENT
Namun, implikasi dari standar kecantikan ini melampaui perilaku konsumen individu dan memiliki konsekuensi sosial yang lebih luas. Promosi warna kulit putih tertentu sebagai cita-cita Pan-Asia menimbulkan pertanyaan tentang keragaman ras dan inklusivitas di wilayah tersebut. Dengan menyamakan kecantikan dengan kulit putih, iklan ini dapat melanggengkan gagasan superioritas dan inferioritas rasial, memperkuat hierarki sosial yang ada dan berkontribusi pada rasisme yang terinternalisasi.
Rasisme yang terinternalisasi terjadi ketika individu dari kelompok terpinggirkan mengadopsi keyakinan dan stereotip prasangka yang diabadikan oleh budaya dominan. Dalam konteks pemutihan kulit, ini dapat bermanifestasi sebagai preferensi untuk kulit yang lebih terang dan devaluasi warna kulit yang lebih gelap. Bias yang terinternalisasi ini dapat memiliki efek psikologis yang signifikan, termasuk harga diri yang rendah dan masalah citra tubuh. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan produk pemutih kulit sering melaporkan merasa lebih percaya diri dan diterima secara sosial, terlepas dari potensi risiko kesehatan yang terkait dengan produk ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penggunaan model Barat dalam mengiklankan produk pemutih kulit dapat menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis dan tidak dapat dicapai. Model-model ini seringkali memiliki fitur yang tidak mewakili penduduk setempat, seperti kulit terang, hidung tajam, dan tubuh tinggi dan ramping. Dengan mempromosikan cita-cita Barat ini, iklan dapat berkontribusi pada rasa rendah diri di antara individu yang tidak sesuai dengan standar ini, yang mengarah pada keinginan untuk perubahan fisik dan peningkatan permintaan akan produk pemutih kulit.
Pengaruh iklan ini melampaui perilaku konsumen individu dan berdampak pada sikap masyarakat yang lebih luas terhadap ras dan kecantikan. Dengan menyamakan kecantikan dengan kulit putih, iklan ini dapat melanggengkan gagasan superioritas dan inferioritas rasial, memperkuat hierarki sosial yang ada dan berkontribusi pada rasisme yang terinternalisasi. Dinamika ini menciptakan interaksi yang kompleks antara ras, kecantikan, dan hierarki sosial, di mana individu berkulit terang sering dianggap lebih menarik dan sukses.
ADVERTISEMENT
Menanggapi sikap masyarakat ini, industri kecantikan telah memanfaatkan nilai tinggi yang ditempatkan pada kulit putih di pasar Asia. Pasar pemutih kulit di Asia telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar, terutama di negara-negara seperti Jepang dan Cina. Produk pemutih kulit mencakup beragam item perawatan kulit, termasuk pembersih, toner, pelembab, alas bedak riasan, tabir surya, losion tubuh, dan deodoran. Konglomerat global seperti Beiersdorf, Unilever, Shiseido, Procter & Gamble, L'Oréal, dan Kao Corporation mendominasi pasar ini, memenuhi permintaan yang meningkat akan produk pemutih kulit di seluruh wilayah.
Selain itu, merek lokal seperti Wardah, Snowz, dan Laneige telah menjadi terkenal dengan menawarkan rangkaian pemutih kulit yang disesuaikan dengan beragam konsumen Asia. Merek-merek ini sering menggunakan referensi budaya lokal dan wajah-wajah yang akrab untuk menarik audiens target mereka, membuat produk mereka lebih relatable dan diinginkan. Misalnya, Wardah, sebuah merek Indonesia, menekankan sertifikasi halal dan keindahan sederhana, selaras dengan nilai-nilai agama dan budaya dari basis pelanggannya yang mayoritas Muslim.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari produk pemutih kulit di mana-mana, ada pemahaman yang bernuansa tentang keputihan, dengan interpretasi dan makna yang bervariasi di berbagai konteks. Secara khusus, mempromosikan warna kulit putih tertentu sebagai bagian dari cita-cita Pan-Asia dapat mengistimewakan subkelompok ras tertentu, seperti mereka yang berasal dari Asia Timur Laut, sambil meminggirkan yang lain, seperti orang-orang dari Asia Tenggara.
Kesimpulannya, penggunaan model Barat yang meluas dalam mengiklankan produk pemutih kulit di Asia telah memicu kekhawatiran yang signifikan karena potensinya untuk menanamkan perasaan rendah diri di antara penduduk setempat. Keinginan untuk meniru estetika Barat bervariasi di seluruh budaya, dengan segmen masyarakat yang lebih kaya memiliki akses yang lebih besar ke prosedur yang meniru fitur model Kaukasia. Kapitalisasi industri kecantikan pada nilai tinggi yang ditempatkan pada kulit putih di pasar Asia telah menyebabkan proliferasi produk pemutih kulit, yang semakin memperkuat preferensi untuk warna kulit yang lebih terang.
ADVERTISEMENT
Dengan mempelajari faktor sejarah, budaya, dan sosial-ekonomi yang membentuk praktik pemutihan kulit di Asia, kita dapat menjelaskan kompleksitas fenomena ini. Promosi warna kulit putih tertentu sebagai cita-cita Pan-Asia menimbulkan pertanyaan tentang keragaman ras dan inklusivitas, sementara pengaruh standar kecantikan Barat yang meluas terus membentuk perilaku konsumen dan sikap masyarakat. Memahami dinamika yang rumit ini sangat penting dalam mengatasi implikasi yang lebih luas dari praktik pemutihan kulit dan mempromosikan representasi kecantikan yang lebih inklusif dan beragam.