Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Bagaimana Hukum Istri Gugat Cerai Suami dalam Islam?
16 Desember 2021 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hijab Lifestyle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perceraian terkadang menjadi alasan bagi setiap pasangan yang tidak bisa menemukan jalan keluar dari suatu masalah.
ADVERTISEMENT
Dalam membina hubungan pernikahan, setiap pasangan tentu menginginkan rumah tangga yang berjalan baik tanpa masalah berarti. Namun, dalam membina hubungan suami istri pula kadang ada saja masalah-masalah yang harus mereka hadapi bersama. Akan tetapi, tidak semua pasangan yang telah menikah dapat menyelesaikannya dengan baik hingga berujung perceraian.
Menurut Couple Family Psychology mencatat, alasan utama dalam perceraian yang sering dilaporkan adalah kurangnya komitmen, perselingkuhan, dan konflik atau pertengkaran. Kebanyakan dari mereka menyalahkan pasangan dari pada diri sendiri atas perceraian yang terjadi.
Dalam beberapa kasus, perceraian tidak hanya diajukan oleh pihak suami, namun bisa juga dari istri. Secara hukum negara, dua-duanya sah dan diizinkan, namun dalam Islam ada rambu-rambu yang harus diperhatikan apabila istri yang mengajukan cerai.
ADVERTISEMENT
Gugatan cerai dalam Islam memiliki dua istilah, yaitu fasakh dan khulu. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri dan istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suami. Sedangkan khulu, gugatan cerai istri di mana ia mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada sang suami.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
Seorang isti boleh menggugat cerai suaminya asalkan dengan syarat dan alasan yang jelas. Namun, hukumnya akan menjadi haram jika istri yang menggugat cerai suaminya tanpa alasan. Hal ini disebutkan dalam suatu hadis yang berbunyi,
ADVERTISEMENT
"Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut." (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Dalam khuluk yang hukumnya mubah, harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Kesepakatan ini pula berkaitan tentang nominal tebusan.
Maka, melalui kesepakatan ini sekaligus menunjukkan bahwa akad khuluk, harus ada kerelaan dari pihak suami untuk menerima tebusan. Selain itu, harus ada kesanggupan dari pihak istri juga. Yang paling utama adalah nominal tebusan tidak boleh melebihi nominal maskawin saat pernikahan.
Dilansir dari berbagai sumber, Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam bukunya al-Muhadzdzab fi Fiqih al-Imam al-Syafi'i mengatakan, "Apabila seorang perempuan benci terhadap suaminya karena penampilannya yang jelek, atau perlakuannya yang kurang baik, sementara ia takut tidak akan bisa memenuhi hak-hak suaminya, maka boleh baginya untuk mengajukan khulu dengan membayar ganti rugi atau tebusan."
ADVERTISEMENT
Selain alasan takut berbuat kufur, ada beberapa alasan lain seorang istri diperbolehkan mengajukan khulu, yaitu ketika suami melakukan penganiayaan berupa fisik maupun verbal hingga membuat istri menderita. Selain itu juga ketika suami tidak menjalankan kewajiban agama dan tidak menjalankan kewajibannya kepada istri, seperti berzina, selingkuh, tidak menjalankan perintah agama, berbuat buruk kepada istri, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai.
Bahkan, ketika suami tidak memberikan nafkah, sementara ia mampu untuk melakukan itu, maka seorang istri juga berhak mengajukan gugatan cerai.
Satu hal yang harus dijadikan catatan, yaitu ketika istri mengajukan khuluk atau menggugat cerai suami, maka tidak ada kata "rujuk".