Konten dari Pengguna

Cerita Ilham Aidit dalam Seminar di Unpad-2

Hijab Lifestyle
All about hijab.
20 September 2018 14:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hijab Lifestyle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilham Aidit menceritakan masa kecilnya, saat ia tidak pernah absen datang ke gereja katedral beserta keluarganya setiap Minggu yang terletak di Jalan Merdeka, Bandung, hal itu berlangsung selama sepuluh tahun setidaknya hingga ia berusia enam belas tahun
ADVERTISEMENT
Sarjono Kartosuwiryo juga mengatakan bahwa dia mendapatkan fitnah dan serangkaian perlakuan yang tak diinginkan dari masyarakat sebagai dampak dari takdinya menjadi anak seorang pimpinan yang dianggap pemberontak, beliau berharap masyarakat bisa “berdamai” dengan masa lalunya, memaafkan konflik yang sempat terjadi bahkan menjadikan itu semua ilmu positif.
Pada sesi pertanyaan, seorang mahasiswa bertanya bagaimana menghilangkan rasa menderita karena tertindas secara mental karena senior tersebut memiliki kakek yang juga seorang DI/TII, pertanyaan ini ditanggapi oleh Ilham Aidit dengan menganalogikan apabila kita mengendarai mobil maka pandangan kita terfokus ke depan dan hanya sekali-kali melihat ke belakang, seperti itulah menyikapinya terutama bagi seorang intelektual kemudian mengingat-Nya melalui kandungan ayat Al-Quran sebagai penenang jiwa.
Foto: Ilustrasi D.N. Aidit, ayah Ilham Aidit | www.flickr.com by Redaksi Indonesia
ADVERTISEMENT
Di penghujung acara, pembicara mengajukan beberapa pertanyaan seperti kepanjangan dari apakah D.N dari nama Aidit, yaitu Dipa Nusantara dan siapa orang kedua setelah Soekarno yang merumuskan dasar negara, yaitu Muhammad Yamin, senior kami dapat menjawabnya dengan benar sehingga mendapat buku sebagai reward dari jawabannya, kemudian Ibu Irna, seorang guru SMA di Bandung juga menerima buku sebagai apresiasi dari pembicara.
Acara seminar bedah buku Children of War karya Nina Pane, anak dari sastrawan Sanusi Pane, Warouv Stella, dan Triwara R. Bernada ini membahas tentang kisah kehidupan anak para tokoh yang dianggap berpengaruh pada pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Indonesia, selain Ilham Aidit, diundang pula Sarjono Kartosuwiryo yang merupakan anak dari pimpinan DI/TII yang berpusat di Malangbong, Garut.
ADVERTISEMENT
Seminar ini bertujuan untuk meluruskan dan membuka pandangan masyarakat luas terutama para akademisi, yaitu mahasiswa yang sedang mempelajari sejarah bahwa meskipun orang-orang seperti Ilham Aidit dan Sarjono Kartosuwiryo merupakan anak seorang yang dianggap pemberontak oleh pemerintah saat itu, tidak selalu mengikuti jejak ayahnya.
Foto: Ilustrasi Anak-anak Korban Perang | www.flickr.com by Don-Pixel
Bahkan menurut Ilham Aidit, ibunya merupakan seorang yang sholeh, ini sangat berlawanan dengan keyakinan D.N. Aidit sebagai orang yang dianggap anti-Tuhan melalui pemberontakan komunisnya, “ayah saya seorang komunis tulen” ujarnya meyakinkan audiens, kesimpulannya jika ada ungkapan like father like son maka ungkapan itu tidak berlaku berdasarkan pengakuan tokoh-tokoh dalam seminar tersebut.
Namun sayangnya masyarakat luas tentu tidak akan dengan mudah menerimanya mengingat konflik di masa lalu yang menimbulkan peristiwa berdarah seperti DI/TII dan berdampak hingga kini meninggalkan kenangan kolektif tersendiri bagi kerabat yang memiliki ikatan darah terutama dengan tokoh yang disebutkan dalam seminar, masyarakat masih belum dewasa menerima luka sejarah masa lalu tersebut, dalam hal ini tentunya tugas para sejarawanlah untuk meluruskan seperti apa kata Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah.
ADVERTISEMENT