Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Kebudayaan Bangsa Arya zaman Veda sampai Jainisme dan Budhisme
19 Agustus 2018 18:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Hijab Lifestyle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bangsa Arya menggunakan bahasa arya dalam berbicara. Dalam keluarga, ayah dianggap pemimpin keluarga yang melindungi anak dan istrinya. Istri dianggap sebagai pengatur rumah tangga dan juga bertugas melahirkan anak laki-laki. Anak laki-laki dalam satu keluarga dianggap sangat penting, sampai-sampai wanita yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki akan mengalami nasib dicerai suaminya. Pada saat itu juga tidak dikenal poligami kecuali pada kepala suku.
ADVERTISEMENT
Desa-desa di india dianggap sebagai republik-republik kecil yang dikepalai oleh seorang raja yang kekuasannya tidak mutlak. Pada masa ini juga tidak dikenal hukuman mati, yang ada adalah hukuman denda. Contohnya seseorang yang membunuh dikenakan hukuman “denda darah” yaitu denda sejumlah hewan ternak. Bangsa Arya juga memiliki kebiasaan judi yang sangat besar.
Foto: Ilustrasi Budhisme | Pixabay.com
Wanita yang boleh menikah pada masa itu hanyalah wanita-wanita yang sudah dewasa dan tidak ada juga perkawinan anak-anak. Ketika sang suami meninggal, sang istri harus menaiki pencaka tempat pembakaran jenazah suami dan terbakar bersama tubuh suaminya. Kemudian abu jenazahnya disimpan dalam guci atau tempayan.
Dalam hal kepercayaan, agama bangsa Arya terdiri dari penyembahan pada dewa, terutama dewa cahaya, yaitu dewa angkasa yang diam di kahyangan, yang dianggap sebagai kepala dewa, yang dimaksudkan ialah dewa Dyasupitar, yang mengingatkan pada nama dewa Zeus dan Dewa Yupiter dari bangsa Yunani, yang dianggap sebagai bapak langit. Kedudukan dewa Dyasupitar. Kemudian tergeser oleh dewa langit lain yang bernama Varuna, yaitu dewa pembuka cahaya dan penguasa alam semesta. Tidak lain dewa ini ialah dewa Surya.
ADVERTISEMENT
Nama dewa-dewa lain yang populer ialah Mitra, Indra, Agni, Soma, Aswin dan sebagainya, namun demikian semua dewa itu sebenarnya aspek dari yang Maha Esa juga yang mendasari semua gejala alam tersebut. Sementara kepercayaan berdasarkan kitab Veda, upacara keagamaan dilakukan di sebuah pelataran luas yang ditaburi rumput suci, yang pelaksanaannya dipimpin oleh pendeta yang disebut hotar dan hotri. Di kepercayaan ini tidak dikenalnya candi ataupun patung dalam sistem pemujaaan agama menurut Veda.
Setelah masa Veda, dari kesusasteraan wiracarita India, ada dua wiracarita yang sangat terkenal dalam kesusasteraan India, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Mahabharata adalah cerita yang menenrangkan tentang keluarga besar Bharata. Cerita ini merupakan carta kepahlawanan yang di tulis dalam bentuk syair.
ADVERTISEMENT
Foto: Ilustrasi Budhisme | Pixabay.com
Dalam kisah ini diceritakan berbagai tokoh. Dhristarasta merupakan raja buta dengan ratusan putranya kaum Kurawa dan kelima kemenakannya, yaitu Pandawa. Yang nanti dikisahkan tentang kecemburuan Duryudana (saudara tertua kaum Kurawa) kepada para Pandawa. Hingga nanti di akhir cerita diceritkan tentang pertempuran mereka yang dimenangkan oleh pihak Pandawa.
Lalu ada Wiracarita kedua yaitu Ramayana. Carita ini ini mengisahkan tentang kepahlawanan Rama dan Sinta, istrinya yang harus melawan keangkaramurkaan Ravana, raja raksasa. Dibandingkan dengan caritera Mahabarata, cerita Ramayana ini lebih terkesan di buat-buat. Dakam kisahnya, Sinta diculik oleh Ravana dan dibawa ke negerinya, Pulau Langka. Lalu Rama beserta adiknya Lakshamna dibantu Hanoman (raja kera) datang untuk menyelamatkan Sinta.
ADVERTISEMENT
Di akhir cerita diceritakan kemenangan Rama atas Ravana. Rama dan Sinta pun akhirnya hidup bahagia menjadi raja dan permaisuri di Ayodhya. Disisi lain kedudukan pendeta menjadi kurang penting dalam wiracarita. Sedangkan Dewa Indra merupakan tokoh pujaan dan pautan dalam kerohanian, yang merupakan gambaran prajurit keindraan. Disini, kedudukan rakyat biasa pun disinggung-singgung, mereka ikut raja bertempur bersama para prajuritnya.
Sementara itu para budak, tawanan perang, maupun orang-orang yang berhutang tidak punya kedudukan dalam hukum. Itu semua memberi gambaran berharga mengenai susunan masyarakat dalam masa itu.
Diolah dari berbagai sumber
by Sofi Solihah