Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perkembangan Rumah Sebagai Tempat Tinggal
19 Agustus 2018 19:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Hijab Lifestyle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak semua masyarakat memakai konsep bilik atau ruang di dalam rumahnya. Tempat tinggal masyarakat Dhai di lembah Baliem Papua, contohnya. Bentuk tempat tinggalnya bulat dengan satu pintu disebut honae untuk laki-laki dan ebe ae untuk perempuan. Honae terdiri dari dua bagian, yaitu loteng (bagian atas) untuk tidur dan bagian bawah dengan alas dari rumput.
ADVERTISEMENT
Tempat tinggal orang Laut (kepulauan Riau) di atas perahu, juga tidak mengenal konsep ruang/bilik. Sebagian besar aktivitasnya dilakukan diatas laut. Rumah perahu diisi oleh keluarga inti dan anak-anak yang sudah menginjak remaja harus berada di perahu yang berbeda.

Foto: Ilustrasi Rumah Modern | Pixabay.com
Tempat tinggal orang Tugutil di Halmahera yang biasanya berada di tepi sungai dalam hutan juga tidak mengenal pembagian ruang/bilik. Tempat tinggal mereka terbuat dari bahan-bahan yang disediakan oleh hutan. Rumah orang Tugutil di hutan Tutuling memiliki tiga tipe yaitu tipe paling sederhana, sederhana dan tipe lengkap.
Rumah masyarakat Donggo di Sumbawa Timur bentuk, ukuran, dan bahannya sangat ditentukan oleh fungsinya. Masyarakat Donggo adalah salah satu masyarakat yang memiliki banyak konsep tempat tinggal. Menurut hasil penelitian Heriyanti Dharsono (dalam Koentjaraningrat, 1933: 164-168) setidaknya terdapat tujuh bentuk bangunan, yaitu: (1) Tiang penyangga, (2) rumah tinggi, (3) rumah ikat dan rumah bundar, (4) rumah tusuk, (5)Uma Ruka atau Uma Na’e, (6) hunian diladang atau kebun dengan sistem ikat, (7) bangunan sederhana yang terdapat disawah/ladang.
ADVERTISEMENT
Bahan dan alat yang dipakai untuk membuat tempat tinggal seringkali ditentukan oleh kondisi lingkungan dan sumberdaya alamnya. Kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan geografinya kemudian melahirkan konsep ekologi budaya.

Foto: Ilustrasi Rumah Kuno | Pixabay.com
Julian H. Steward adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Culture ecology (ekologi budaya). Penggunaan istilah ini berkaitan dengan hasil pengamatan pada kebudayaan di Peru dan Meso Amerika yang ternyata menunjukkan adanya kesamaan. Atas dasar itu Steward menyarankan perlunya kajian tentang keterkaitan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya.
Analisis dapat dilakukan dengan melihat hubungan pola tata kelakuan suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan, sehingga mereka dapat melakukan aktivitas dan bertahan hidup. Perhatikan pula keterkaitan sikap dan pandangan; bentuk-bentuk hubungan perilaku dan keinginan untuk bertahan hidup; kegiatan sosial dan hubungan-hubungan pribadi dikalangan mereka. Pada dasarnya Steward menyatakan bahwa proses perkembangan kebudayaan di dunia ini memiliki corak khas dan unik. Kekhasan dan keunikan tersebut disebabkan oleh perbedaan ekologinya.
ADVERTISEMENT
Harus diakui bahwa (1) Kebudayaan menentukan habitat para anggotanya; (2) habitat membuka beragam kemungkinan bagi kehidupan aneka ragam budaya; (3) habitat membuat beberapa hal menjadi sama, namun juga menciptakan banyak hal yang berbeda-beda; (4) masyarakat telah mengambil prakarsa atas sebagian unsur habitat untuk membentuk kebudayaan; (5) habitat itu sendiri mengalami peribahan karena kebudayaan.
By Sofi Solihah
Sumber:
Suhamihardja, Agraha Suhandi. 1997. Pola Hidup Masyarakat Indonesia. Bandung : Fakultas Sastra, UNPAD.
Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (suatu pendekatan sejarah). Jakarta : Pustaka Jaya.
Mardjono, Ig dan Djoko Pranowo. 2000. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : PT. Pramator