Tradisi Bulan Ramadhan di Berbagai Negara

Hijab Lifestyle
All about hijab.
Konten dari Pengguna
13 April 2021 22:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hijab Lifestyle tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ilustrasi. Foto: Unsplash/@katekerdi
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ilustrasi. Foto: Unsplash/@katekerdi
ADVERTISEMENT
Bulan suci Ramadhan dirayakan setiap tahun selama bulan ke-9 dalam kalender Hijriah atau kalender lunar Islam. Bulan ini berlangsung selama kurang lebih 30 hari, tergantung pada penampakan bulan baru yang menandakan saat di mana Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tahun 610 Masehi.
ADVERTISEMENT
Ramadhan lebih dari sekadar bulan puasa. Bulan suci ini juga berakar dengan budaya serta sejarah di tempat tertentu. Umat Muslim di berbagai belahan dunia menandai bulan Ramadhan dengan perayaan meriah yang unik di wilayah mereka dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dilansir dari The Culture Trip, berikut tradisi bulan Ramadhan dari berbagai negara.

Indonesia: Ritual mandi menjelang Ramadhan

Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia, sekaligus terdiri dari beragam suku dan budaya. Salah satu tradisi menjelang Ramadhan adalah Padusan dari Jawa. Padusan yang memiliki arti 'mandi' dalam Bahasa Indonesia, adalah tradisi di mana orang-orang menceburkan diri ke mata air untuk membasuh tubuh mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Padusan merupakan bukti sintesis antara agama dan budaya di Indonesia. Mata air memiliki makna spiritual yang dalam bagi budaya Jawa dan merupakan bagian dari kesucian selama bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Praktik ini diyakini disebarkan oleh Wali Songo di Pulau Jawa. Bertahun-tahun yang lalu, para tetua dan pemuka agama setempat menetapkan mata air suci untuk Padusan. Namun saat ini, orang hanya perlu pergi ke danau atau kolam terdekat, atau membersihkan diri di rumah mereka sendiri.

Lebanon: Tembakan meriam untuk menandai berbuka puasa

Gambar ilustrasi. Foto: Unsplash/@finleydesign
Meriam ditembakkan setiap hari selama bulan Ramadhan untuk menandai berbuka puasa di beberapa negara di Timur Tengah. Tradisi yang dikenal sebagai Midfa al Iftar, dimulai di Mesir selama lebih dari 200 tahun yang lalu ketika negara itu diperintah oleh penguasa Ottoman, Khosh Qadam.
Qadam secara tidak sengaja menembakkan meriam baru yang sedang diuji saat matahari terbenam. Suara itu bergema di seluruh Kota Kairo yang mendorong banyak orang berasumsi bahwa cara itu dapat menandai berakhirnya puasa. Putri Qadam, Haja Fatma, meminta tembakan meriam menjadi tradisi selama bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT

Pakistan: Wanita berkumpul pada malam Idul Fitri

Akhir bulan Ramadhan ditandai dengan penampakkan bulan baru yang sekaligus menjadi tanda perayaan hari besar umat Islam yaitu Idul Fitri. Festival Chaand Raat di Pakistan setelah buka puasa terakhir dirayakan oleh wanita dan gadis yang berbondong-bondong ke pasar lokal untuk membeli gelang warna-warni. Mereka juga mewarnai tangan dan kaki dengan lukisan yang rumit.
Pemilik toko bahkan tetap buka hingga dini hari karena permintaan henna yang melonjak saat malam terakhir Ramadhan. Beberapa wanita juga mendirikan toko henna darurat di dekat toko perhiasan untuk menarik pelanggan berbelanja sekaligus melukis tangan dan kaki mereka dengan henna.

Turki: Tabuhan genderang untuk membangunkan sahur

Sejak zaman Kekaisaran Ottoman, orang yang berpuasa selama Ramadhan terbangun untuk sahur karena suara tabuhan genderang. Terlepas dari kemajuan zaman dengan penemuan jam alarm dan smartphone, tradisi ini tetap mengakar kuat. Tercatat lebih dari 2.000 penabuh genderang berkeliaran di jalanan Turki untuk menyatukan komunitas lokal selama bulan suci.
ADVERTISEMENT
Penabuh genderang mengenakan kostum tradisional Ottoman, termasuk fez dan rompi yang keduanya dihiasi dengan motif tradisional. Saat mereka berkeliling dengan davul (drum khas Turki), penabuh drum mengandalkan kemurahan hati penduduk untuk memberi mereka tip (bahşiş) atau bahkan mengundang mereka untuk berbagi makan sahur.

Mesir: Menyalakan lentera warna-warni

Setiap tahun, masyarakat Mesir menyambut Ramadhan dengan lenteran warna-warni yang melambangkan persatuan dan kegembiraan sepanjang bulan suci. Meskipun tradisi ini lebih bersifat budaya daripada keagamaan, namun sangat lekat dengan bulan suci Ramadhan.
Kisah awal tradisi yang kemudian disebut Fanous ini berbeda-beda. Sebuah catatan menyebutkan bahwa asal mula Fanous lahir saat dinasti Fatimiyah. Pejabar militer memerintahkan penduduk setempat untuk memegang lilin di jalan-jalan yang gelap sebagai bentuk penyambutan kepada Khilafah Al-Muʿizz li-Dīn yang tiba di Kairo pada hari pertama Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Lilih-lilin yang dipegang penduduk setempat juga dilindungi dengan bingkai kayu agar tidak mati. Seiring waktu, bingkai kayu tersebut bertransformasi menjadi lentera berpola. Saat ini, lentera banyak dipajang di seluruh negeri sebagai tanda cahaya selama bulan suci Ramadhan. Seiring perkembangan, Fanous juga kerap ditemukan pada tradisi lokal lainnya.