Mengurai Kecerdikan Singapura dalam Perjanjian FIR

Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI
Konten dari Pengguna
29 Januari 2022 20:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
Tulisan dari Hikmahanto Juwana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Denah FIR sesudah perjanjian penyesuaian antara RI & Singapura Foto: AirNav Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Denah FIR sesudah perjanjian penyesuaian antara RI & Singapura Foto: AirNav Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebijakan Presiden Jokowi sangat tepat untuk mengambil alih pengelolaan FIR yang berada di atas Kepulauan Riau. Kebijakan ini patut didukung. Namun, Perjanjian Penyesuaian FIR yang Selasa lalu ditandatangani tidak merefleksikan kebijakan Presiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Ternyata, Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR. Sehingga para negosiator Indonesia pun terkecoh.
FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian efektif berlaku, ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37,000 kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.
Pada ketinggian tersebut bagi Singapura sangat krusial. Hal ini lantaran pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.
Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Bagi negeri Singa Putih ini Keselamatan harus dipastikan.
Bila FIR diserahkan ke Indonesia, maka diprediksi dapat mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub. Ada dua 'kecerdikan' Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia.
Denah FIR sesudah perjanjian penyesuaian antara RI & Singapura Foto: AirNav Indonesia
Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail. Bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian, ada peribahasa yang selalu menjadi panduan yaitu 'the devil is in the details'.
ADVERTISEMENT
Maksud peribahasa ini adalah seorang lawyer untuk menang dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail, maka akan menjadi makanan empuk.
Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian.
Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.
Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan, mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan.
Kecerdikan Singapura lainnya adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan. Paket perjanjian seperti ini sangat merugikan Indonesia, seperti yang terjadi pada tahun 2007 saat perjanjian ekstradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan.
ADVERTISEMENT
Singapura telah mengetahui bagaimana memberlakukan perjanjian FIR. Selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing, juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.
Oleh karenanya, Singapura akan mensyaratkan Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus.
Bila hanya salah satu maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku.
Pesawat Malindo di bandara Changi Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR, mengingat menjadi sumber kontroversi pada tahun 2007. Sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi.
Bila ini kembali menjadi kontroversi dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR.
Akibatnya Perjanjian FIR tidak akan berlaku efektif. Konsekuensinya adalah FIR tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia dan tetap dikelola oleh Singapura.
ADVERTISEMENT
Kalau perjanjian pertahanan diratifikasi oleh DPR, lalu dokumen ratifikasi perjanjian FIR dan pertahanan dipertukarkan kedua perjanjian ini akan efektif berlaku. Maka, Singapura tetap mengelola FIR di ketinggian 0-37,000 kaki atas dasar pendelegasian sebagaimana diatur dalam perjanjian FIR.
Bahkan Singapura mendapat satu keuntungan lagi, yaitu perjanjian pertahanan yang di tahun 2007 ditentang oleh banyak pihak bisa efektif berlaku.