Mungkinkah Meminta Pertanggungjawaban China?

Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI
Konten dari Pengguna
29 April 2020 6:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hikmahanto Juwana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini Presiden Donald Trump menyampaikan hendak menuntut China atas kerugian yang diderita oleh AS akibat penyebaran pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Sebuah koran di Jerman pun melakukan kalkulasi kerugian yang diderita di Jerman. Di Inggris juga ada pihak yang mengungkap hal senada. Bahkan, di AS Jaksa Agung negara bagian Missouri telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan setempat.
Permasalahan utama dalam mendapat ganti kerugian yang diderita adalah ke mana gugatan itu dilayangkan, apa yang menjadi dasar gugatan dan apakah putusan dapat dieksekusi.
Bila gugatan dilayangkan ke pengadilan di suatu negara maka pemerintah China akan mudah mematahkannya dengan alasan pemerintah China memiliki kekebalan (immunity) di lembaga peradilan nasional.
Bila diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau arbitrase internasional seperti Permanent Court of Arbitration maka China harus menyatakan persetujuan terlebih dahulu untuk menjadi pihak yang digugat.
ADVERTISEMENT
Tentu pemerintah China tidak akan memberikan persetujuan tersebut. Intinya membawa pemerintah China ke lembaga peradilan maupun arbitrase nasional maupun internasional akan sia-sia, sekalipun yang mengajukan adalah pemerintah suatu negara.
Kalaupun ada lembaga peradilan yang menyatakan berwenang untuk mengadili, isu berikutnya adalah apa yang menjadi dasar gugatan.
Dasar yang digunakan oleh banyak pihak adalah tidak transparannya pemerintah China di awal penyebaran COVID-19. Dalam hukum pihak yang menggugat wajib membuktikan apa yang didalilkan.
Tentu ini tidak akan mudah bagi siapa pun yang menggugat China karena pemerintah China akan tidak memberi akses kepada siapa pun untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dari negara China.
Kalaulah ada suatu pengadilan yang memutuskan China bersalah dan mewajibkan pembayaran ganti rugi, permasalahan berikutnya adalah bagaimana putusan tersebut dieksekusi. Satu hal yang pasti pemerintah China tidak akan dengan sukarela menjalankan putusan.
ADVERTISEMENT
Putusan dari lembaga peradilan hanyalah 'menang' di atas kertas. Untuk benar-benar merasakan kemenangan tersebut perlu untuk dijalankan atau dieksekusi.
Memang terdapat aset-aset China yang tersebar di berbagai negara. Namun saat dieksekusi akan dihalangi dengan alasan aset tersebut memiliki kekebalan (bila berkaitan dengan aset kedutaan besar) atau aset tersebut bukan milik pemerintah China, melainkan BUMN China atau swasta asal China.
Menuntut ganti rugi dari negara yang dianggap bertanggung jawab atas suatu tindakan yang dilakukan bukanlah hal baru. Pasca-perang Dunia Kedua, misalnya, banyak pihak yang menuntut ganti rugi atas tindakan penjajahan.
Namun proses ganti rugi ini tidak dilakukan melalui lembaga peradilan, namun melalui proses di luar lembaga peradilan.
Proses seperti ini harus dimulai dari kesadaran negara yang memunculkan kerugian. Negara tersebut kemudian menyepakati dengan negara yang dirugikan bentuk-bentuk ganti kerugian.
ADVERTISEMENT
Pasca-Perang Dunia Kedua ini yang dikenal dengan sebutan pampasan perang. Dalam konteks COVID-19, tentu pemerintah China bisa memberikan pampasan bagi negara-negara terdampak.
Bila dikalkulasi tentu biaya yang harus dikeluarkan akan sangat fantastis. Sepertinya pemerintah China tidak akan melakukan opsi ini.
Namun pemerintah China dapat melakukan tiga hal penting sebagai respons dari suara-suara yang menuntut ganti rugi tanpa memberikan pampasan.
Pertama, China tidak akan mengambil keuntungan dari bencana dunia ini. Baik keuntungan ekonomi dan finansial, politik maupun sosial.
Kedua, China sedapat mungkin memberi bantuan kepada negara-negara terdampak dalam bentuk apa pun untuk meringankan kerugian oleh banyak negara.
Terkahir, China harus memperbaiki 'imej'-nya di mata dunia bahwa ia bukanlah negara yang hendak mendominasi dunia dengan kekuatan finansial dan militernya.
ADVERTISEMENT
Tiga hal ini tentunya didasarkan pada kesadaran China untuk bertanggung jawab.
Namun bila pemerintah China tetap bersikukuh tersebarnya pandemi COVID-19 bukan karena kegagalan penanganan dini olehnya maka suara dunia untuk mendapatkan kompensasi akan terkubur.
*Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani