Komik sebagai Bacaan Baik

Konten dari Pengguna
25 Februari 2018 3:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hikmat Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komik sebagai Bacaan Baik
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Cerita-cerita komik itu tidak wajar, bahkan cenderung membahayakan. Saya tidak setuju komik dibawa ke sekolah. Kalau perlu komik dihapuskan saja, baik yang ada di sekolah atau yang di luar sekolah…"
ADVERTISEMENT
–Pak Thohir, Kepala Sekolah SDN Kebon Melati Tanah Abang (1993), sebagaimana dikutip oleh Kompas, 29 Desember 1993.
Komik dimusuhi, dicurigai, bahkan hendak dibakar, sejak awal sejarah komik di negeri kita. Pada 1954, komik hendak diganyang karena dianggap kebarat-baratan.
Pada 1965, komik adalah jenis buku yang dengan segera dicokok dari toko buku oleh polisi untuk diperiksa apakah “anti-Pancasila” atau tidak. Setelah dicokok, Polisi memeriksa apakah komik mengandung pornografi. Jebulnya, dimulailah praktik komik harus terbit seizin kepolisian.
Pada 1971, penerbit Pustaka Jaya yang baru berdiri menyatakan bahwa mereka tak akan menerbitkan komik, karena komik membuat anak-anak malas (Tempo, no. 6, 1971).
Sampai sekarang pun, masih banyak orang tua dan pendidik yang memandang negatif komik. Mungkin sekarang pandangan itu tak terlalu mencuat, karena para orang tua dan pendidik lebih mengkhawatirkan anak-anak kini lebih banyak diserbu tontonan dan game yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Komik seakan sebuah medium jadah. Komik, sebagai medium, adalah sasaran sensor yang paling keras di abad ke-20.
Di Amerika, pada 1954, seorang psikolog terkemuka menyerang komik sebagai bacaan yang merusak kaum muda. Psikolog itu, Dr. Frederick Wertham, melakukan penelitian pada anak-anak bermasalah dan menyimpulkan bahwa komiklah yang membuat para anak itu berperilaku menyimpang dan melanggar hukum.
Kesimpulan ini cocok benar dengan moralitas Amerika di era McCarthy-isme yang merentang sejak 1950-an hingga 1960-an.
Tak heran, gara-gara serangan Wertham itu, senat Amerika sampai menggelar dengar-pendapat segala –yang dilakukan seakan sebuah pengadilan– untuk menetapkan apakah komik barang haram atau bukan. Sejak serangan ini, industri komik Amerika limbung.
Mereka lantas melindungi diri dengan membuat sebuah mekanisme self-censorship yang paling keras yang pernah ada.
ADVERTISEMENT
Mekanisme itu bernama Comic Codes Approval (CCA), di mana setiap komik yang ingin diedarkan secara umum harus lolos sensor ini. Dalam aturan CCA, komik antara lain tak boleh menggambarkan adegan penggunaan obat terlarang (bahkan jika itu untuk kampanye anti obat terlarang!) dan tak boleh menyertakan “relevansi sosial”.
Di Prancis, pada periode yang sama, komik juga terkena aturan sensor yang keras –sementara film, misalnya, boleh mengungkapkan ketelanjangan, komik bahkan tak dibolehkan menampilkan pakaian seksi.
Celakanya, memang banyak komik yang berisi sampah. Eksploitasi seks dan kekerasan sering jadi dagangan yang laku dalam komik.
Dilema ini tampak dalam kasus penangkapan komikus Mike Diana di Amerika Serikat pada 1993. Ia ditangkap karena dianggap menyebarluaskan materi cabul, dan komik-komiknya dilarang beredar. Segera saja ini menimbulkan protes keras dari para pekerja komik.
ADVERTISEMENT
Mike Diana seakan jadi martir pelanggaran hak kebebasan berbicara. Sampai-sampai timbul gerakan antisensor yang cukup bergairah di kalangan komikus Amerika, yang masih aktif hingga kini.
Tapi komik Mike Diana sendiri, yang dipersoalkan saat itu, memang mengandung adegan-adegan sadis yang sangat menghinakan perempuan. Adegan penyiksaan digambarkan secara detail, dan tanpa pertobatan moral sedikitpun. Jika hal ini jadi soal di Amerika, apalagi di sini.
Ini dilema yang sukar dipecahkan, karena memicu oposisi dua kutub yang keras: apakah kita akan meniadakan sensor, dengan risiko komik sadis macam begini boleh melenggang; ataukah kita mengadakan sensor, dengan risiko kebablasan sehingga ada pengawasan polisional terhadap komik?
Mungkin karena melihat sejarah yang tipikal inilah, pengamat sastra anak Riris Sarumpaet, sempat berkata bahwa,
ADVERTISEMENT
"Memang komik tidak dimasukkan dalam deretan buku-buku besar sastra, atau yang layak dibaca anak. Itu menurut para ahli. Tetapi dalam kenyataannya komik itu selalu ada." (Jakarta-Jakarta no. 29, 27 Mei-2 Juni 1988)
Singkatnya, dalam pendapat ini, komik bukanlah termasuk bacaan yang baik. Ia sekadar kenyataan yang harus disiasati.
Tokoh komik Belgia. (Foto: Daniel Chrisendo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh komik Belgia. (Foto: Daniel Chrisendo/kumparan)
Komik sampah memang ada. Banyak, malah. Arswendo Atmowiloto, dalam artikel “Komik Sampah, Siapa Yang Salah?” mengakui itu, tapi meneruskan dengan pertanyaan, “…bagaimana komik sampah bisa lahir? Apakah bisa ditudingkan pada komikusnya belaka?” (Kompas, 1980).
Banyak pengamat komik di Amerika juga berkata, kira-kira, benarlah belaka bahwa 90% komik adalah sampah. Tapi medium manapun (film, buku, musik) punya 90% yang sampah. (Lagipula, tak semua sampah harus dimusnahkan. Ada yang bisa dimanfaatkan dengan daur ulang, ada yang bisa dijadikan seni instalasi....)
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, kita tak bisa menyalahkan medium komik itu sendiri. Sebagai medium, komik punya potensi-potensi yang kuat. Entah itu potensi naratif, potensi penyampai pesan yang efektif, potensi susastra dan seni rupa, dan banyak lagi.
Serial komik di majalah Hai. (Foto: Sattwika/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Serial komik di majalah Hai. (Foto: Sattwika/kumparan)
Salah satu ukuran apakah sebuah buku dianggap sebagai bacaan baik atau bukan adalah ketersediaannya di perpustakaan.
Sejak Aleksandria, hingga Baghdad sebelum diserbu bangsa Mongol, hingga kini, perpustakaan dianggap sebagai salah satu kuil peradaban. Dengan beban historis ini, ada semacam tugas perpustakaan untuk menyeleksi buku-buku yang akan jadi koleksinya.
Ada diskusi menarik yang berkembang beberapa tahun belakangan di kalangan pustakawan Amerika: apakah komik layak masuk perpustakaan? Apakah komik layak menjadi bacaan yang dianjurkan?
ADVERTISEMENT
Kondisi di Amerika dalam soal ini memang beda dengan, misalnya, Prancis. Di Prancis komik dianggap sebagai urusan kementerian kebudayaan. Di Amerika, komik sempat lama dicerca. Tapi tak bisa ditepis fakta bahwa komik adalah bagian penting yang melekat dalam budaya populer Amerika.
Komik di Amerika adalah tradisi, sekaligus institusi. Superman, Batman, Snoopy, Popeye, dan banyak lagi, adalah ikon-ikon nasional yang tak bisa diabaikan.
Dengan kesadaran itulah maka Library of Congress punya koleksi besar komik Amerika yang diterbitkan sejak awal sejarah komik modern di sana. Dasar pemikirannya adalah preservasi budaya.
Komik menjadi dokumen historis yang penting, bisa memberi informasi sebuah periode waktu tertentu. Dalam premis ini, komik dianggap penting bukan karena nilai intrinsiknya, tapi karena konteksnya. Sebagai bacaan, komik belum sampai jadi bacaan yang dianjurkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini bergeser ketika industri komik Amerika merengkuh tren novel grafis dan TPB (Trade Paper Back, semacam kumpulan komik yang sebelumnya beredar dalam bentuk lebih pendek) .
Sebagai istilah, mungkin “novel grafis” banyak dimasalahkan oleh para komikus sendiri. Istilah ini dianggap sebagai akal-akalan para komikus yang minder pada medium lain agar komik diangkat ke posisi terhormat.
Dalam kritik ini, istilah “komik” kadung dianggap tak terhormat, maka dipakailah kata “novel” dan “grafis” yang lebih terhormat. Padahal kan makhluknya itu-itu juga.
Ada semacam kekhawatiran dalam kritik ini, bahwa perhatian akan lebih dipusatkan pada bentuk (komik harus tebal, dan sebagainya), dan melupakan isi atau mutu komik itu sendiri.
Tapi istilah “novel grafis” secara umum disambut baik. Will Eisner dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ini (sebetulnya, ini tidak akurat --Will Eisner bukan yang pertama), lewat karyanya, A Contract With God.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang komikus legendaris yang telah berkarya secara inovatif sejak 1940-an, Eisner memberi bobot pada istilah ini. Ia melontar istilah ini karena percaya bahwa komik bisa bercerita tentang tema serius seperti hubungan manusia dengan Tuhan, atau pelik-pelik masalah ras (Yahudi) di tengah krisis moneter 1930-an.
Karya-karya novel grafis Eisner kemudian banyak memengaruhi komikus Eropa sejak 1980-an hingga kini (Time, November 1993).
Bobot ini juga berlanjut ketika pada 1992, Maus karya Art Spiegelman, mendapat penghargaan bergengsi Pulitzer untuk kategori khusus. (Spiegelman sendiri termasuk yang membenci istilah novel grafis.)
Pada saat yang sama, sebuah cerita Sandman karya Neil Gaiman dan digambar oleh Charles Vess, berjudul Midsummer Night Dream, memenangi anugerah Fantasy Award, penghargaan untuk sastra fantasi yang tak pernah mencakup komik.
ADVERTISEMENT
Cerita ini mengimajinasikan penciptaan karya utama Shakespeare, Midsummer Night, yang terjadi atas pengaruh Morpheus sang dewa alam mimpi atau The Sandman.
Seri The Sandman yang mulanya terbit seperti majalah, bulanan dan dalam format 32 halaman dan disisipi iklan, dikumpulkan menjadi serangkaian novel grafis. Seri ini adalah seri novel grafis terbitan DC Comics yang paling berhasil di pasaran. Hingga kini, seri ini selalu dicetak ulang setiap tahunnya, dan menjadi faktor krusial membesarnya industri novel grafis di Amerika.
Seri Sandman juga banyak dianjurkan oleh para pustakawan untuk dikoleksi di perpustakaan-perpustakaan Amerika. Pada era 2000-an, judul-judul novel grafis yang bermutu telah melimpah.
Sebut saja karya-karya Alan Moore (salah seorang pelopor novel grafis juga) seperti Watchmen, From Hell, The League of Extraordinary Gentlemen, V for Vendetta, seri Swamp Thing, dan Promethea. Karya-karya Moore dicirikan oleh sifat intelektualnya, di samping keasyikan cerita-ceritanya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi karya-karya dari wilayah yang biasa disebut sebagai “komik alternatif”. Misalnya, Jimmy Corrigan, The Smartest Kid on Earth, karya Chris Ware. Novel grafis ini setebal 600-an halaman, dan menyajikan seni grafis yang luar biasa.
Penerimaan pasar akan novel grafis juga membuka jalan bagi penerimaan kembali karya-karya klasik lokal maupun dari belahan bumi lain (khususnya Jepang dan Eropa).
Komik-komik di Wondry book store. (Foto: Tisiana Triwina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komik-komik di Wondry book store. (Foto: Tisiana Triwina/kumparan)
Singkatnya, sebagian para pustakawan di Amerika kemudian merasakan manfaat dan potensi komik melalui novel grafis ini. Michael R. Lavin, yang berpengalaman sebagai pustakawan selama 25 tahun, dan kini menjadi Koordinator Koleksi Elektronik di Buffalo Libraries, mengurai banyak sekali manfaat novel grafis bagi perpustakaan.
Alasan paling penting mengapa perpustakaan umum dan perpustakaan sekolah harus punya koleksi novel grafis, kata Lavin, sangat sederhana: novel grafis mudah dibaca, dan remaja menyukainya!
ADVERTISEMENT
“Para penjual buku dan pustakawan di seluruh Amerika,” katanya, “menemukan bahwa novel grafis segala tipe, termasuk yang bergaya Jepang, amatlah populer di kalangan pembaca muda. Saat ini ...para pustakawan dapat memilih seleksi besar novel grafis bermutu tinggi yang mencakup setiap topik dan genre yang terbayangkan, dan yang cocok bagi beragam tingkat pembaca.” (Brodart Co., 2004)
Rupanya novel grafis cenderung banyak dipinjam. Novel grafis populer di kalangan muda bukan hanya karena format visual mereka, tapi juga karena mereka banyak membahas tema dan topik yang bermakna bagi para pembaca muda: keterasingan, prasangka, ketakadilan sosial, pertumbuhan dewasa, dan tanggung jawab pribadi.
Menurut Stan Tychinski, mengutip Library Journal, “kehadiran komik di (perpustakaan) sekolah menengah pertama menghasilkan peningkatan dramatis 82% dalam peminjaman buku, dan peningkatan 30% sirkulasi buku NON-KOMIK.” (Brodart Co., 2004).
ADVERTISEMENT
Mengenai format visual novel grafis, Lavin menengarai bahwa, “anak-anak sekarang tumbuh dalam lingkungan yang sangat visual, dibombardir oleh imaji televisi, video games, dan grafik komputer.” Mungkin itulah sebab novel grafis amat atraktif bagi para kaum muda.
Namun hal ini menyaran sebuah keuntungan lain: membaca dan memahami novel grafis mensyaratkan kemampuan melek visual yang khusus. Dari sini kita bisa mengaitkan hubungan antara komik dan pengaktifan kecerdasan otak kanan yang sering dicirikan dengan kecerdasan visual itu.
Tapi Lavin juga menambahkan bahwa itu semua manfaat yang sering diungkap dari novel grafis. Semuanya mendasarkan diri bahwa komik bisa jadi bacaan awal para pembaca pemula, sebelum tertarik pada bacaan-bacaan lain. Ini memang sebuah premis yang baik.
ADVERTISEMENT
Tapi Lavin menunjukkan bahwa ada satu manfaat nyata lainnya: novel grafis juga menarik minat para pembaca serius. “Banyak sekali novelis, penulis skenario, ilustrator, aktor, dan sutradara yang berhasil menyebutkan peran penting komik dan novel grafis dalam perkembangan kreatif mereka.”
Novel grafis sering menginspirasi remaja untuk menulis. Novel grafis juga, masih kata Lavin, dapat dimanfaatkan di ruang kelas sebagai alat bantu pendidikan. Ini masuk akal jika kita, misalnya, membaca The League of Extraordinary Gentlemen (Alan Moore, Kevin O’Neil) yang banyak dipuji pustakawan.
Dengan cerdas, Alan Moore mengumpulkan tokoh-tokoh sastra klasik seperti Kapten Nemo dari 20.000 Feets Under The Sea (Jules Verne), Dr. Jekyll dari Dr. Jekyll and Mr. Hyde (Robert Louis Stevenson), Alan Quartermain, dan sebagainya, dalam sebuah kisah petualangan seru. Kisah ini dapat memicu minat kaum muda membaca karya sastra klasik.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, telah umum penggunaan komik sebagai bahan pendidikan. Universitas-universitas di Jepang banyak memanfaatkan komik untuk mengajar sejarah, ekonomi, dan banyak lagi.
Japan Inc., misalnya, adalah sebuah komik drama yang sekaligus menerangkan sistem ekonomi Jepang mutakhir –dan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1980-an.
Nah, masihkah Anda yakin bahwa komik adalah bacaan buruk? Akan halnya komik-komik sampah, Arswendo menulis begini: “Komik sampah yang buruk dibuat oleh komikus tanggung. Tanggung dalam menggambar, dan, lebih tanggung lagi dalam mengarang.” (Kompas, 1980)
Mungkin ini bisa jadi bahan pemikiran bagi para pendidik, orangtua, penerbit, tapi juga para komikus sendiri.***
Hikmat Darmawan