Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Cintailah “Aku”, seperti “Mereka” yang menginginkan Kemerdekaan.
4 Oktober 2017 20:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Hikmiyati Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Tanah air kutidak kulupakan, kau terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh tidak kan hilang dari kalbu.” Potongan lirik lagu karya Soendari Soekotjo ini selalu mengingatkan aku pada negriku, yang indah,subur,kaya,dan beragam kebudayaan menjadi satu dari sabang sampai merauke. Siapa sih yang tidak mengenal lirik lagu tersebut, lagu yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap kecintaan kita kepada Indonesia. Ya, Indonesia. Dimana tempat aku dilahirkan oleh Ibu atas seizin Tuhan Yang Maha Esa. Aku sungguh beruntung, dapat dilahirkan ke dunia ini dan berada pada negara yang berjuta warna. Aku ingin menceritakan, kisah hidupku, pengalamanku, semangatku, untuk memperjuangkan “hak” aku. Karena, kita semua dianugerahi kebebasan atau kemerdekaan untuk bahagia di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Indonesia, tepatnya di pulau jawa aku berteduh. Suasana desa nan asri dan indah, disertai gubuk kecil dan petakan lading sawah yang terhampar luas. Membuat orangtuaku bekerja sebagai petani sawah dan juga peternak ayam kampung. Aku ingin sekali pergi keluar kota, Jakarta, aku ingin merantau, bersama mereka mengadu nasib di teriknya matahari siang. Demi mereka, Indonesia. Indonesia yang sangat aku cintai, begitu khas dengan nilai-nilai keadilan sosial, yang membuat aku memiliki semangat yang tinggi untuk bisa menyetarakan nasib keluargaku. “Hari demi hari aku membayangkan, betapa bahagianya, jika semua masyarakat dapat mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila. Tidak ada perbedaan, tidak ada kesenjangan, yang ada hanyalah kemakmuran setiap rakyat Indonesia”, Ah rasanya aku sedang berhayal terlalu tinggi, terlalu muluk-muluk untuk Indonesia, sedangkan untuk makan dikampung saja aku pas-pasan. Hmm, tapi Tuhan tidak pernah salah dalam menaruh ide cemerlang dalam fikiranku, aku harus bergegas pergi ke Jakarta untuk memperjuangkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Pergi, Merantau
---------------------------------------------------------------------------------------------
Silam bulan di Jakarta
Rasanya, sunyi sekali. Seperti hidup sendiri, tanpa orangtua dikampung. “Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku harus kembali lagi ke kampung? “Aku berfikir keras untuk bisa berkembang hidup di Jakarta. Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan anak muda Jakarta yang gagah-gagah. Mereka melihatku sinis seperti melihat orang asing. Hatiku terenyuh dan berbicara dalam hati “Ah, pasti dia aneh dengan gaya dan kekuranganku. Tidak apa-apa semuanya bagian dari penyetaraan” Akupun pergi dan menghela nafas… “Huhh…”
-Perlu ku ceritakan, kenapa mereka melihatku aneh,-
Aku memang tidak dilahirkan normal seperti anak-anak pada umumnya, aku baru sadar setelah aku beranjak dewasa. Aku memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan, hal ini membuatku merasa sedih, karena banyak orang yang mengucilkanku, mengejekku, bahkan tidak sama sekali menegurku. Aku mulai menjadi pribadi yang pendiam, aku berusaha keras untuk bisa diterima di setiap kalangan, karena yang aku tahu: Kita semua dilahirkan sama, walaupun kita beda agama, beda suku, bahkan sakit sekalipun, kita harus tetap memiliki semangat untuk saling membantu dan mengasihi oranglain. “Aku pun menyadari semuanya..
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan berlalu… *Keadaan sudah mulai berubah*
Kekurangan yang aku miliki, bukanlah akhir dari segalanya. Aku menemukan sahabat yang bernama “Baryani”. Ia sangat baik, kita berbeda suku, Baryani merupakan anak keturunan suku Bugis. Dari Baryani aku mulai menemukan titik terang dalam hidupku, aku mencoba mengasah kemampuanku, agar bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Baryani menampungku dirumahnya, rumahnya sangat besar, ada tukang kebun yang mengingatkanku pada sosok orangtua dikampung. Gagahnya Baryani, tidak menutup mata hatinya untuk menampung dan membantuku. Baryani menyuruh aku untuk beristirahat dirumahnya, dan sesekali aku membantu mengerjakan pekerjaan dirumahnya. Aku diajarkan untuk hidup sehat, diajarinya les piano sampai aku mahir. Setelah mahir, banyak tawaran dan aku menjadi guru les piano untuk anak-anak Jakarta. Aku terus belajar, dan mengasah bakatku, Baryani selalu memberiku peluang untuk melangkah lebih maju. Ayah Baryani merupakan seorang Tentara Nasional Indonesia, yang tugasnya membela Negara. Ayahnya sangat bijak dalam memimpin, meskipun aku memiliki kekurangan, sering kali aku diajak bersama Baryani bertemu dengan orang-orang penting. Aku merasa berhutang budi pada Baryani dan Ayahnya, Tuhan benar-benar maha baik, menempatiku dan menaruh ku pada orang yang tepat.
ADVERTISEMENT
Tujuh tahun berlalu…
Ayah Baryani sakit keras, Baryani diminta untuk melanjutkan kepemimpinan Ayahnya. Dan aku di amanahi untuk menjadi prajuritnya. Sejak saat itu karirku terus membaik, kekurangan yang aku miliki lama kelamaan tidak terlihat, karena sikap dan prilaku baik dari keluarga Baryani, sungguh keadilan membuat semua orang bahagia. Aku pun bergegas pulang ke kampung, dan membawa orangtuaku untuk tinggal di Jakarta bersamaku.
Alhamdulillah, susah payah aku berjuang untuk melawan penyakitku dengan hidup bahagia, tekad yang kuat untuk menyetarakan hidup. Pada akhirnya, Orang-orang yang mengejek aku menjadi baik, mereka bisa menerima bahwa aku adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, aku tidak pantas dikucilkan, aku berhak mendapatkan kemerdekaan yang sama seperti mereka semua. Kini aku bangkit dan aku bisa menjadi seorang pemimpin negri ini, dengan mengamalkan pancasila sebagai dasar kehidupanku. Kehidupan keluargaku lama kelamaan membaik, orangtuaku sanggat bangga padaku, Ia turut berterimakasih kepada keluarga Baryani, yang senantiasa menerima kekuranganku. “Sungguh, keadilan membuat kami merasa lebih di hargai, tanpa keadilan rusak sudah moral kita semua” Ayahku berbicara lirih..
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia, milik Ibu Pertiwi ini akan hancur, jika kita hanya menyebutkan sila-nya pada setiap upacara hari senin. Tanpa pernah kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, Nilai yang terkandung dalam 5 sila sudah sangat jelas. Perhatikan baik-baik setiap bait yang dibuat dalam prembulan perumusan pancasila. Tidak ada satu katapun yang menuliskan tentang perbedaan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Penting untuk seorang pemimpin, mengetahui arti sebuah pancasila yang menjadi ideologi dan pandangan hidup bangsa. Bagiku, anugrah yang tuhan berikan adalah bertemu dengan orang-orang yang selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, bersikap adil, memiliki sikap persatuan kepada seluruh masyarakat, pemimpin yang mengutamakan rakyat, dengan begitu akan terciptalah keadilan sosial. Yang dirindukan oleh Ibu pertiwi. Jayalah Indonesiaku.
ADVERTISEMENT
Cerita pendek, Untukmu. Hari kesaktian Pancasila.
Karya : Hikmiyati Aziz