Konten dari Pengguna

Kasih Tak Terucap dari Ayah

Hilalia Kani Juliana
Hilalia Kani Juliana, mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta, jurusan Penerbitan Jurnalistik. Aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan Badan Otonom GEMA yang merupakan media informasi mahasiswa.
9 Juni 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilalia Kani Juliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi Ayah dan Anak (Foto: Freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Ayah dan Anak (Foto: Freepik)
ADVERTISEMENT
Ayah, kata yang selalu melibatkan perasaan campur aduk dalam hidupku. Aku lahir dalam sebuah keluarga yang terlihat sempurna di luar, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayahku, seorang pria yang tampaknya kuat dan tegas, namun sayangnya tidak mampu melindungi aku dari penderitaan yang hadir di tengah keluarga kami.
ADVERTISEMENT
Aku ingat saat pertama kali rumah kami terasa seperti medan perang. Waktu itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar ketika ibu dan ayah mulai sering bertengkar. Ibu sering menangis, dan aku tidak mengerti mengapa.
Suatu hari, setelah pertengkaran besar, ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan ayah. Aku ikut bersama ibu, karena aku tidak tahan tinggal bersama ayah dan ibu tiriku yang baru, seorang wanita yang mirip dengan ibu tiri dalam cerita Bawang Merah dan Bawang Putih.
Ibu tiri yang baru memasuki hidup kami adalah mimpi buruk. Ia memperlakukan aku dengan sangat buruk. Makanan yang seharusnya untukku sering kali disisihkan untuk anak-anaknya sendiri. Aku sering dikunci di kamar, disuruh membersihkan rumah tanpa henti, dan sering kali menerima kata-kata kasar yang membuatku merasa tidak berarti.
ADVERTISEMENT
Ayah, yang seharusnya menjadi pelindungku, justru tampak tidak berdaya di hadapannya. Bahkan lebih buruk lagi, ayah kadang ikut menyudutkanku, membuatku merasa tidak ada tempat di dunia ini yang aman untukku.
Di setiap kesempatan yang ada, aku selalu berusaha mendekati ayah dan mencari perlindungan darinya. Aku ingin percaya bahwa dia masih peduli padaku, meski segalanya tampak mengatakan sebaliknya. Tapi setiap kali aku mencoba, ayah selalu berpihak pada ibu tiri. “Dia ibu barumu, kamu harus hormat padanya,” kata ayah berkali-kali. Kata-kata itu membuat hatiku hancur, karena aku tahu ibu tiriku tidak pernah menganggapku sebagai anaknya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi. Aku memilih tinggal bersama ibu kandungku. Meskipun kondisi keuangan kami pas-pasan, setidaknya di sana aku merasa dihargai dan dicintai. Tapi, bayangan tentang ayah selalu menghantuiku. Setiap kali aku melihat anak-anak lain dengan ayah mereka yang penuh kasih sayang, hatiku terasa nyeri. Kenapa ayahku tidak bisa seperti itu?
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu, dan aku mulai menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak kuketahui tentang ayah. Setiap kali aku mengunjungi rumah lama kami untuk mengambil barang-barang yang tertinggal, aku sering mendapati ayah sedang duduk sendirian di ruang tamu, menatap foto-foto keluarga kami dengan mata kosong. Dia tampak seperti pria yang telah kehilangan segalanya. Tapi aku selalu mengingat rasa sakit yang dia biarkan terjadi padaku, jadi aku tidak pernah mendekatinya.
Suatu hari, setelah berulang kali diabaikan dan dianiaya oleh ibu tiri, aku memberanikan diri untuk bertanya pada ayah mengapa dia selalu diam saja. Dengan suara bergetar, aku bertanya, “Ayah, kenapa ayah tidak pernah membelaku? Kenapa ayah membiarkan aku diperlakukan seperti ini?”
Ayah terdiam sejenak, menatapku dengan mata yang penuh rasa sakit dan penyesalan. “Maafkan ayah, Nak. Ayah tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ayah pikir dengan tetap diam, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ayah salah.”
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa ayahku tidak sekuat yang kukira. Dia adalah manusia yang juga memiliki kelemahan dan ketakutan. Diam-diam, ayah sering mengamati perkembanganku. Ibu memberitahuku bahwa ayah selalu menanyakan kabarku, meski dia tidak pernah berani menemuiku secara langsung. Dia bahkan sering melihatku dari jauh, memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman, aku melihat ayah duduk di bangku, mengamati sekelompok anak yang bermain. Matanya terlihat lembut, penuh dengan kerinduan. Aku menghampirinya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kami berbicara dari hati ke hati. Ayah mulai menceritakan banyak hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
“Ayah selalu sayang padamu, Nak. Maafkan ayah jika ayah tidak bisa menunjukkan itu dengan cara yang benar. Kehilangan ibumu dan melihat keluargamu hancur membuat ayah tidak bisa berpikir jernih. Ayah takut kehilangan segalanya, termasuk dirimu.”
ADVERTISEMENT
Aku mulai memahami bahwa ayahku juga berjuang dengan caranya sendiri. Dia berusaha menjadi ayah yang baik, tapi gagal karena ketakutannya sendiri. Dia takut kehilangan kendali atas keluarga, sehingga dia memilih untuk diam meski tahu itu salah. Perlahan, kebencianku mulai mereda, digantikan oleh perasaan iba dan pengertian.
Kini, setiap kali aku bertemu dengan ayah, kami mencoba membangun kembali hubungan kami yang dulu hancur. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku juga tahu bahwa di balik semua rasa sakit dan luka, ayahku selalu menyayangiku. Kami mungkin tidak akan pernah menjadi keluarga yang sempurna, tapi kami berusaha untuk menjadi lebih baik.
Ayah sering mengirim pesan singkat, menanyakan kabar dan memberikan semangat. Dia juga mulai lebih terbuka dalam menunjukkan kasih sayangnya. Perlahan, aku mulai merasakan kehangatan yang dulu hilang. Meski ibu tiriku masih ada dan tidak berubah, aku tahu bahwa ayah selalu ada untukku di belakang layar, mengawasi dan melindungiku dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Aku menyadari bahwa hidup ini tidak sempurna, dan setiap orang punya cara mereka sendiri dalam mengatasi masalah. Ayah mungkin bukan pahlawan yang selalu kuharapkan, tapi dia tetap ayahku yang penuh kasih sayang meski seringkali tersembunyi di balik ketakutannya sendiri. Dan untuk itu, aku berterima kasih.
Dengan semua luka dan perjalanan yang kami lalui, aku belajar untuk memaafkan dan menerima. Kasih sayang ayah memang tidak selalu terlihat, tapi aku tahu dia selalu ada, mengamatiku dan memastikan aku baik-baik saja. Kini, aku bisa melangkah maju dengan lebih kuat, karena di balik semua itu, aku tahu bahwa ayahku selalu mencintaiku, meski dengan caranya yang tidak sempurna.