news-card-video
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Aneksasi Hawaii: Ketika Partisipasi Politik AS Merenggut Kedaulatan Bangsa

Hilarius Yoga Trinadyudha
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman
12 Maret 2025 16:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilarius Yoga Trinadyudha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melihat jauh kembali ke tahun 1898, sejarah AS mencatat bahwa mereka secara resmi telah menganeksasi Hawaii, mengakhiri kekuasaan monarki yang telah berjaya selama berabad-abad lamanya. Di balik peristiwa ini, telah terindikasi motif-motif kepentingan politik-ekonomi yang akhirnya meruntuhkan kedaulatan bangsa pribumi di Hawaii. Dari politisi pro-Amerika, pebisnis-pebisnis gula, para misionaris, hingga angkatan militer AS terindikasi terlibat dalam pengguulingan kekuasaan kerajaan di Hawaii, meskipun mereka secara aktif menyuarakan dukungan terhadap anti-aneksasi.
ADVERTISEMENT
Peristiwa aneksasi Hawaii, bukan hanyalah suatu kisah yang hanya terkubur dengan penguasanya, namun merupakan suatu sejarah penting yang tidak dapat dilupakan terutama untuk masyarakat keturunan pribumi di sana. Hingga kini, masyarakat pribumi Hawaii masih merasakan ketimpangan pada kendali perekonomian dan perpolitikan yang sebagian besar belum didominasi oleh masyarakat pribumi.
Jikalau begitu, bagaimana partisipasi politik Amerika Serikat dan masyarakat pribumi Hawaii berakhir pada aneksasi? Apakah Hawaii memang benar berminat bergabung ke Amerika Serikat atas kesadaran dan kehendak dari masyarakatnya atau justru memang benar terdapat intrik-intrik politik-ekonomi oleh masyarakat AS yang secara kuat menekan kehendak Hawaii? Lalu bagaimana dengan konsep demokrasi yang dijunjung tinggi AS sendiri? Artikel ini akan mengulas dari sisi penulis akan seberapa berpengaruhnya partisipasi politik hingga mengakibatkan akhir dari kedaulatan suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Masuknya AS ke Hawaii: Awal dari Intervensi Politik
Kerajaan Hawaii sudah berdiri selama berabad-abad, terutama ketika masa kekuasaan monarki dinasti Kamehameha yang menyatukan kerajaan-kerajaan Hawaii. Kala itu kerajaan Hawaii berjaya dengan kekayaan sumber daya alamnya dan menarik perhatian pebisnis dari negara-negara, seperti Inggris, Spanyol, Portugal, Prancis, Jepang, Tiongkok, dan terutama AS. Perkebunan tebu, nanas, bahkan industri perikanan mutiara, lobster, hingga perburuan paus juga menjadi ladang bisnis yang diincar di Hawaii kala itu. Pebisnis-pebisnis luar yang menjalin bisnis dengan masyarakat Hawaii kemudian mulai menetap di Hawaii, mengawali intrik-intrik monopoli segala sumber daya alam di sana.
Foto ini (Gambar Hawaii, Indah, Lanskap, oleh Pexels), diidentifikasi oleh Pixabay, bebas dari hak cipta yang diketahui.
Kendala-kendala dialami oleh para pebisnis dari AS yang ingin memperluas bisnisnya di Hawaii karena pemerintahan kerajaan di Hawaii yang monarki absolut, di mana keluarga kerajaan menguasai sebagian besar lahan di Hawaii dan membatasi segala upaya monopoli perdagangan dari luar. Sistem pemerintahan monarki absolut inilah yang menjadi perisai utama kerajaan Hawaii untuk tetap menjaga kedaulatan bangsanya dari pihak asing. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan-pendekatan oleh para pebisnis asing untuk secara perlahan memperkuat posisi dan melemahkan kekuasaan monarki yang absolut dan ketat itu.
ADVERTISEMENT
Konstitusi 1840: Pengganti Monarki Absolut
Para pebisnis dan politisi-politisi asing, terutama dari AS, yang datang ke Hawaii sejak abad ke-18 melakukan berbagai upaya pendekatan kepada kerajaan Hawaii dengan memperkenalkan model-model politik demokrasi yang dinilai lebih modern dan efektif untuk ditetapkan. Raja Kamehameha III, putra dari Kamehameha I, yang memerintah Hawaii dari tahun 1825 mengadakan Konstitusi pada tahun 1840. Konstitusi yang mengubah kekuasaan monarki absolut menjadi monarki konstitusional ini membuka jalan bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan di Hawaii dengan pembentukan parlemen dan mahkamah agung, walaupun masih hanya bangsawan yang dapat mencalonkan diri maupun memilih calon anggota parlemen.
Konstitusi 1852: Demokrasi Diperkuat
12 tahun setelah diberlakukannya sistem pembagian kekuasaan dari Konstitusi 1840, Konstitusi 1852 dilaksanakan lagi oleh Raja Kamehameha III yang menurutnya diperlukan untuk lebih memperkuat kekuasaan parlemen dan memperluas hak pilih. Konstitusi 1852 dinilai semakin membatasi kekuasaan raja, karena Raja tidak dapat lagi membuat hukum sendiri tanpa persetujuan dari masyarakat. Selain itu, konstitusi ini juga memberikan peluang besar kepada masyarakat bahkan masyarakat asing yang menetap di Hawaii, untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota parlemen, mengawali okupasi perpolitikan di Hawaii.
ADVERTISEMENT
Konstitusi 1864: Penguatan Kembali Monarki
Pada tahun 1864, Raja Kamehameha V, keponakan dari Kamehameha III, mengadakan Konstitusi 1864 berlandaskan kekhawatirannya terhadap intervensi politik asing di parlemen. Konstitusi yang dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang Raja ini, menjadi bentuk perlawanan nyata akan intervensi berkelanjutan ketika konstitusi ini dijalankan tanpa persetujuan parlemen yang telah didominasi oleh pihak asing. Selain itu, dengan kembalinya kekuasaan otoriter Raja, Raja dapat membatasi akses bisnis yang dimonopoli oleh bangsa asing, termasuk dari AS.
Konstitusi Bayonet 1887: Akhir dari Kedaulatan Kerajaan Hawaii
Kritik-kritik dari politisi pro demokrasi, kelompok-kelompok anti monarki, hingga pengusaha dan pebisnis dari AS bermunculan sejak Konstitusi 1864. Mereka menganggap kembalinya monarki absolut, akan mengakhiri bisnis dan pengaruh politiknya di Hawaii, hingga mereka mengancam dan memaksa Raja Kalākaua untuk segera menandatangani Konstitusi Bayonet pada tahun 1887 untuk menghilangkan kekuasaan Raja, dan menjadikan Raja sebagai simbol bangsa saja tanpa kewenangan dalam pemerintahan. Upaya para kelompok pro demokrasi dan pebisnis asing ini berhasil, mengakhiri kekuasaan dan kedaulatan kerajaan Hawaii.
ADVERTISEMENT
Konstitusi Bayonet 1887 memberikan dampak masif bagi masyarakat pribumi Hawaii, ketika undang-undang yang kemudian dibentuk setelah Konstitusi ini membatasi hak-hak politik masyarakat asli Hawaii dan memberikan lebih banyak hak istimewa terhadap masyarakat AS. Meskipun demikian, masyarakat pribumi tidak tinggal diam dan tetap menyuarakan hak-hak politiknya kepada AS.
Ratu Lili’uokalani, ratu terakhir yang menggantikan kepala kerajaan Hawaii, menghabisi seluruh waktu hidupnya untuk terus memperjuangkan hak-hak politik dan ekonomi masyarakat pribumi Hawaii. Namun segala upayanya untuk membatalkan Konstitusi Bayonet 1887 dan mengembalikan kedaulatan kepada Hawaii gagal, hingga ia akhirnya digulingkan dari kerajaan Hawaii oleh AS dan ditahan di Istana ‘Iolani.
Petisi Kūʻē: Suara Pribumi Hawaii kepada Amerika Serikat
Penggulingan Ratu Lili’uokalani pada tahun 1893, mengawali gerakan-gerakan anti aneksasi oleh masyarakat pribumi. Gerakan-gerakan anti aneksasi dilakukan dengan pengisian petisi Kūʻē yang menolak pendudukan masyarakat AS di parlemen Hawaii dan menolak aneksasi oleh AS. Petisi yang disetujui oleh 21.000 masyarakat pribumi, ditujukan kepada Presiden AS, Grover Cleveland dan pemerintahan federal AS.
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan periode keduanya, Presiden Cleveland menyatakan keputusannya untuk tidak menganeksasi Hawaii. Namun setelah pernyataannya yang memberikan harapan kepada masyarakat pribumi Hawaii, Kongres AS tidak pernah menerima maupun mempertimbangkan petisi-petisi Kūʻē yang telah dikirimkan ke pemerintahan AS.
Resolusi Newlands 1898: Tembusan AS Berkuasa di atas Hawaii
Pemerintahan AS berkali-kali melakukan upaya untuk secara resmi menganeksasi Hawaii melalui perjanjian internasional, namun hal ini selalu gagal di tingkat Senat yang tidak mencapai 2 per 3 suara setuju. Oleh karena itu, untuk secara resmi menganeksasi Hawaii, AS melakukan resolusi bersama yang tidak melibatkan hukum internasional sehingga tidak perlu memerlukan hanya ⅔ suara dari Senat. Selain itu, proses resolusi berjalan lebih mudah dan cepat.
ADVERTISEMENT
Pemilihan resolusi yang lebih cepat ini didukung dengan urgensi AS yang pada saat bersamaan sedang berkonflik dengan Spanyol, di mana Spanyol juga mengincar wilayah Hawaii untuk dijadikan wilayah jajahannya. Di tambah lagi dengan intrik Jepang yang juga mengincar kepulauan Hawaii untuk memperkuat kekuasaannya di Samudra Pasifik.
Resolusi Newlands yang dilakukan pada tahun 1898 secara resmi menyatakan Hawaii sebagai wilayah kendali penuh AS. Dengan resolusi ini, AS membangun pangkalan-pangkalan militernya di Hawaii, terutama Pearl Harbor, untuk menjaga wilayah kepulauan Hawaii dan memperkuat posisi militer AS di Samudra Pasifik.
Apakah Hawaii memang berniat bergabung dengan Amerika Serikat atas kehendaknya sendiri?
Hawaii tergabung dengan Amerika Serikat melalui resolusi Newlands 1898, resolusi yang terjadi pada internal pemerintahan AS. Namun pada proses resolusi ini, masyarakat Hawaii tidak dilibatkan secara formal. Bahkan di saat resolusi ini pun, masyarakat pribumi Hawaii masih berupaya untuk memperjuangkan kedaulatan Hawaii. Penahanan Ratu Lili’uokalani, ratu yang dipilih oleh masyarakat Hawaii untuk memperjuangkan kemerdekaan hawai, juga menjadi bukti nyata bahwa masyarakat pribumi Hawaii dibungkam dan dikekang dari hak-haknya. Jadi, dapat penulis katakan bahwa aneksasi Hawaii atas Amerika Serikat merupakan keputusan sepihak di luar kehendak masyarakat Hawaii.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Konsep Demokrasi yang sangat dijunjung oleh Amerika Serikat?
Aneksasi Hawaii memanglah merupakan peristiwa perenggutan kedaulatan dan hak-hak masyarakat pribumi di Hawaii oleh AS, namun peristiwa ini dapat dikatakan sangat kontradiktif dengan konsep demokrasi yang dijunjung tinggi oleh AS. Sebagai sebuah negara, AS tentu akan selalu mengutamakan pengambilan kebijakan yang dapat menguntungkan negaranya maupun menyelamatkan negaranya sendiri dalam situasi apapun. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan AS untuk secara perlahan menguasai Hawaii oleh karena kepentingannya untuk memperluas dan meningkatkan kekuatan ekonomi dan politiknya, bahkan sampai mengekang hak-hak dari masyarakat pribumi Hawaii.
Jadi, dapat penulis katakan bahwa setingkat AS pun yang menjunjung tinggi demokrasi, AS tetap tidak dapat menerapkan demokrasi ketika dihadapkan dengan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu demokrasi ideal itu tidak akan pernah terealisasikan oleh negara manapun.
ADVERTISEMENT