Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kampung Ketandan: Bukti Nyata Akulturasi Cina dan Jawa yang Kian Meredup
11 November 2024 8:39 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Hilda Adawiyahhh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta- Kampung Pecinan terlihat sangat menonjol di tengah-tengah bangunan yang mendominasi di area Malioboro. Gaya arsitektur yang khas ini dapat dilihat dari gerbang masuk Kampung Ketandan itu sendiri yang berorientasi pada arsitektur khas cina dengan Ornamen Naga serta ukiran khas negeri Tiongkok.
ADVERTISEMENT
KUMPARAN.COM- Apakah Anda pernah berkunjung ke Malioboro Yogyakarta?
Di sana anda bisa melihat salah satu bangunan yang memiliki arsitektur khas Tionghoa di tengah-tengah lingkungan Yogyakarta yang terkenal kental dengan budaya jawanya. Selain memiliki arsitektur khas Tionghoa, Kampung Ketandan juga masih kental dengan budaya-budaya Cina.
Keunikan yang paling menonjol dari Kampung ini terletak pada gaya arsitekturnya yang menggabungkan antara unsur Tionghoa dan juga bangunan khas Jawa. Hal itu mengakibatkan percampuran ciri-ciri arsitektur dari dua kebudayaan.
Selain itu, nama “Ketandan” mempunyai asal muasal yang menarik karena berhubungan dengan peran pemungutan pajak masyarakat Tionghoa untuk Keraton Yogyakarta. Ketandan berasal dari kata “Tondo” yang menjadi ungkapan untuk pejabat penarik pajak atau pejabat tondo yang diberi wewenang langsung pada etnis Tionghoa sebagai salah satu penggerak ekonomi di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Namun, sangat disayangkan saat ini Kampung Ketandan sendiri seolah kian meredup seiring dengan perkembangan zaman. Kampung yang dulunya ramai kian hari kian sepi.
Selain disebabkan karena daya minat pengunjung yang semakin berkurang, faktor internal juga berpengaruh, seperti keturunan asli penduduk setempat yang enggan melanjutkan usaha dan kebudayaan khasnya.
Bahkan, untuk mencari Tetua mereka yang masih menganut kepercayaan Tionghoa sukar ditemukan.
“Sekarang sudah memasuki generasi ke empat mbak, jadi memang sudah jarang penduduk asli sini yang mau tinggal di kawasan ini. Sebagian dari mereka ada yang melanjutkan studi di luar negeri, ada pula yang pulang ke kampung halaman mereka (Cina) bersama keluarga,” ujar Pak Joko ketua RW 03 di Kampung Ketandan ketika di tanya dalam sesi wawancara.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kawasan yang dulunya ramai apalagi ketika memasuki hari raya perlahan mulai ditinggalkan.
Awal mula keredupan Kampung Ketandan ini, ketika wabah Covid-19 menyerang pada tahun 2019-2021. Dimana seluruh kegiatan mulai dibatasi, padahal sektor pendapatan utama kampung tersebut adalah di bidang perdagangan. Termasuk aktivitas kegiatan perayaan-perayaan yang ada di kampung ini juga kian berkurang.
Namun, Saat ini komunitas-komunitas China di kota Yogyakarta sedang berusaha mengembalikan keadaan Kampung Ketandan seperti sedia kala. Dengan cara kembali mengadakan perayaan yang diisi dengan kebudayaan-kebudayaan khas Cina dan menggerakkan seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
“Walaupun penduduk asli sini bisa dibilang sudah hampir tidak ada, tapi kita akan terus berusaha menjaga kampung ini dan melestarikan budaya ataupun tradisi yang sudah ada sebelumnya mbak, karena sebagai bukti peninggalan adanya Kampung Pecinan terbesar di Yogyakarta,” tegas Pak Joko.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks akulturasi budaya, Kampung Ketandan memperlihatkan bagaimana keberagaman budaya dan agama hidup berdampingan. Di Yogyakarta, budaya Tionghoa telah menyatu dengan budaya lokal yang dipengaruhi oleh nilai nilai islam, terutama dalam kehidupan sosial masyarakat yang menekankan toleransi.
Dalam islam, toleransi dalam keragaman budaya dan agama sangat dianjurkan, dan ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta yang menerima budaya Tionghoa di Kampung Ketandan. Penghormatan terhadap budaya dan tradisi Tionghoa yang masih di jaga oleh komunitas disana, dapat menunjukan prinsip islam dalam menghargai perbedaan dan hidup rukun dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Hal ini bisa menjadi contoh nyata dari penerapan nilai nilai islam dalam konteks masyarakat.
Hilda Adawiyah, Adelia Zuhana dan Farhanah Najmiah. Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
ADVERTISEMENT