Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bitcoin dan Masyarakat Islam: Analisis Ekonomi Syariah Pada Mata Uang Digital
20 November 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Hilmi Afif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bitcoin dalam beberap tahun terakhir telah menjadi sorotan di dunia keuangan global. Mata uang digital ini dianggap sebagai terobosan dalam sistem moneter yang semakin banyak diadopsi di berbagai belahan dunia. Bitcoin adalah sebuah uang elektronik yang dibuat pada tahun 2009 oleh Satoshi Nakamoto. Nama tersebut juga dikaitkan dengan perangkat lunak sumber terbuka yang dia rancang, dan juga menggunakan jaringan peer-to-peer maksudnya adalah model jaringan komputer yang memungkinkan komputer-komputer yang terhubung untuk saling berbagi sumber daya tanpa perantara server tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal di mana Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut bitcoin sebuah mata uang yang terdesentralisasi.
ADVERTISEMENT
Bitcoin tidak seperti mata uang pada umumnya, bitcoin tidak tergantung dengan mempercayai penerbit utama.Namun, bagi masyarakat Islam yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip syariah dalam bertransaksi, penggunaan bitcoin ini menimbulkan berbagai pertanyaan mendasar tentang kehalalan dan keabsahan penggunaannya menurut hukum ekonomi syariah dan ajaran islam.
Aspek Kehati-hatian dalam Keuangan Syariah
Dalam hukum ekonomi syariah, setiap aktivitas finansial harus bebas dari unsur-unsur gharar (ketidakpastian), riba (bunga), dan maysir (spekulasi berlebihan). Bitcoin, sebagai mata uang digital yang nilainya sangat fluktuatif, sering kali dianggap memiliki unsur gharar dan maysir. Keberadaan mata uang virtual, seperti halnya bitcoin dan lainnya di Indonesia memang sudah mendapat lampu hijau dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti). Akan tetapi, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran di Tanah Air. Duit digital ini juga bukan merupakan produk industri keuangan. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa tempat untuk melakukan perdagangan bitcoin secara online. Tempat-tempat tersebut sering disebut dengan nama Exchange (pertukaran / jual beli). Jumlah perusahaan Crypto Exchange di Indonesia cukup banyak dan menawarkan beragam fitur.Harga bitcoin yang bisa naik atau turun dengan drastis dalam waktu singkat menimbulkan risiko yang sulit diprediksi, sehingga ini menjadi perhatian utama bagi masyarakat Islam yang mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam transaksi keuangan.
Selain itu, bitcoin sebagai aset yang tidak terikat dengan jaminan aset riil (underlying asset) karena underlying asset harus memiliki nilai ekonomis atau aliran penerimaan kas yang jelas. Aset yang dapat dijadikan underlying asset bisa berupa aset berwujud, seperti tanah, gedung, atau bangunan lainnya. Bisa juga berupa aset tidak berwujud, seperti nilai manfaat dari aset berwujud atau proyek yang sedang dibangun. Sedangkan bitcoin sebagai aset yang tidak terikat dengan jaminan aset riil (underlying asset) cenderung menghadirkan ketidakpastian yang sulit untuk dihindari. Sebaliknya, transaksi dalam sistem ekonomi syariah diharapkan berbasis pada aset atau kegiatan riil yang memiliki nilai nyata di dunia nyata. Misalnya, dalam akad jual-beli, barang yang diperjualbelikan harus jelas dan konkret, bukan hanya sekadar aset digital yang nilainya bergantung pada sentimen pasar.
Tantangan dan Potensi dalam Perspektif Syariah
Meskipun demikian, beberapa ulama dan cendekiawan ekonomi syariah melihat adanya potensi positif dari bitcoin jika digunakan secara bijak. Bitcoin, dalam konteks ini, dianggap mampu menjadi sarana inklusi keuangan bagi masyarakat yang belum terjangkau oleh sistem perbankan konvensional. Di beberapa negara berkembang, bitcoin menjadi solusi untuk mengakses layanan keuangan dengan biaya rendah dan tanpa kendala perbankan tradisional. Potensi ini tentu menarik, namun perlu dibarengi dengan regulasi ketat dan kehati-hatian agar tidak mengorbankan prinsip syariah.
Pendekatan ini membuka peluang adanya pengembangan mata uang digital berbasis syariah yang lebih sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Dengan kata lain, komunitas Muslim dan praktisi ekonomi syariah dapat berinovasi menciptakan kripto yang dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, misalnya dengan adanya underlying asset atau nilai yang didasarkan pada transaksi riil atau transaksi yang jelas.
Perspektif Hukum Ekonomi Syariah: Harapan atau Ancaman?
Dari perspektif hukum ekonomi syariah, keputusan untuk menerima atau menolak bitcoin memerlukan kajian mendalam yang melibatkan ahli syariah, ahli teknologi, dan ahli ekonomi. Di satu sisi, bitcoin bisa dipandang sebagai instrumen inovasi baru yang memudahkan transaksi keuangan di era digital, namun di sisi lain, ketidakpastian nilai dan risikonya sulit untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian, tidak sedikit ulama yang menyarankan kehati-hatian atau bahkan melarang penggunaan bitcoin di kalangan masyarakat Islam.
Hukum ekonomi syariah juga memperhatikan dampak sosial dari penggunaan bitcoin. Kehadiran bitcoin sering kali dikaitkan dengan aktivitas ilegal seperti pencucian uang dan transaksi di "dark web," yang memungkinkan orang untuk menyembunyikan identitasnya dari orang lain dan juga penegak hukum sehingga ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pengaruhnya terhadap moralitas dan etika dalam masyarakat Islam. Sebagai umat yang mengutamakan akhlak dan keberkahan dalam setiap transaksi, masyarakat Islam perlu mempertimbangkan aspek-aspek ini secara matang.
Dalam menghadapi perkembangan teknologi dan inovasi keuangan seperti bitcoin, masyarakat Islam dihadapkan pada dilema antara menerima kemudahan yang ditawarkan atau menjaga prinsip-prinsip syariah. Keputusan untuk menggunakan bitcoin atau tidak pada akhirnya bergantung pada kebijakan masing-masing individu atau negara, namun prinsip kehati-hatian dan pengetahuan mendalam mengenai teknologi ini sangat dianjurkan. Di tengah kebingungan ini, hukum ekonomi syariah tetap menekankan bahwa setiap aktivitas keuangan harus selaras dengan prinsip keadilan diantara seluruh pihak sehingga tidak ada yang dirugikan transparansi atau keterbukaan disemua pihak, dan terpentingnya adalah keberkahan untuk semua pihak, sehingga umat Islam dapat memetik manfaat dari teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai syariah yang dianut.
ADVERTISEMENT