Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah

Konten dari Pengguna
30 April 2017 11:00 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilmy Adam Jieta Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah (Foto: sasint)
Pendidikan Karakter merupakan upaya pembangunan atau rekonstruksi nilai-nilai moral bangsa. Karena sudah merupakan tanggung jawab negara membentuk atau melestarikan nilai-nilai karakter luhur suatu bangsa. Karena nilai-nilai inilah yang mempersatukan suku, ras, etnik, dan agama bangsa Indonesia yang sangat beragam. Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan kelebihan sekaligus potensi penyerangan dari dalam maupun luar negeri. Sehingga perlu ada koridor yang jelas bagaimana hidup bernegara di tanah air Indonesia.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang terjadi saat ini seperti maraknya tawuran antar sekolah, bentrok antar umat beragama, kasus korupsi yang semakin masif, dan parahnya kericuhan yang ada di gedung DPR. Semua fenomena tersebut merupakan gejala akan bobroknya nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang berjalan di Indonesia sekarang disinyalir hanya berorientasi pada aspek kognitif yang dapat terukur. Sehingga bergeser pula karakter bangsa yang dulu dikenal ramah, santun, dan someah menjadi bangsa yang penuh ego baik kepentingan pribadi maupun golongannya. Hal ini diperparah dengan adanya globalisasi, di mana nilai-nilai asing bisa masuk dan terimplementasi di Indonesia dengan mudah. Untuk itu sangat penting adanya pendidikan karakter bangsa dalam menanamkan spirit kebangsaan utamanya bagi para pemuda.
ADVERTISEMENT
Pada sejarahnya pendidikan karakter hadir di wilayah Eropa. Pada saat itu ditekankan pendekatan etis-spiritual yang dikembangkan oleh pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Di Indonesia sendiri Pendidikan Karakter dititipkan pada Pendidikan Pancasila yang dimulai pada 1965 oleh Presiden Sukarno yang ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada 1967. Pada 1976, mata pelajaran Pendidikan Pancasila (PMP) diajarkan di sekolah. Kemudian, pada 1979 diubah menjadi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan pada 1994 berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Berangkat dari filosofi bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, pada 1983 Sejarah pun resmi dijadikan mata pelajaran di sekolah sebagai penambah pendidikan karakter di Indonesia.
Akan tetapi, pada praktiknya sekarang, PPKn dan Sejarah yang sudah dipaparkan di atas hanya menjadi penambah beban mata pelajaran di sekolah. Siswa semakin berkeluh kesah karena di sekolah kedua mata pelajaran tersebut menuntut banyak hafalan. Degradasi esensi ini sangat disayangkan, entah karena guru lupa akan latar belakang adanya mata pelajaran tersebut atau tuntutan kurikulum yang memang sangat berat. Pada 2011, dirumuskan 18 nilai oleh Diknas yang diklaim merupakan penurunan dari nilai-nilai luhur Pancasila. Lalu bersamaan dengan adanya kurikulum 2013 nilai-nilai seperti mandiri, tanggung jawab, kreatif, dan kerja keras coba diinternalisasi dalam silabus kurikulum.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, ketika menjalani dan setelah melakukan observasi dengan siswa-siswi yang sedang menjalani kurikulum tersebut. Nilai-nilai itu tidak secara eksplisit diajarkan, bahkan masih belum banyak berubah dari yang sudah berlalu. Adanya penambahan tugas demi mencapai nilai rasa penasaran yang tinggi dirasa masih kurang tepat. Hal ini dikarenakan belum adanya motivasi yang muncul dari siswa sendiri. Guru sebagai pendidik terkadang khilaf untuk menumbuhkan motivasi tersebut, sehingga buah dari tugas hanyalah keluhan-keluhan peserta didik semata.
Kondisi ini tidak boleh diperburuk dengan contoh tidak baik yang bersliweran di media massa. Adanya pembebanan akademik yang berlebih dapat mempercepat kejenuhan siswa dalam belajar. Degradasi esensi akan penumbuhan karakter siswa pun semakin parah terjadi. Mau tidak mau revitalisasi sistem pendidikan yang berbasiskan karakter perlu kembali digalakkan.
ADVERTISEMENT
Pertama dan utama, pendefinisian ulang dan prioritas nilai-nilai yang akan ditanamkan pada siswa. Nilai tersebut perlu parameter yang jelas dalam pencapaiannya. Parameter ini perlu pendefinisian yang jelas dan pemberian gambaran upaya pencapaian parameter tersebut. Kemudian, upaya evaluasi perlu dirombak lagi. Stigma pengukuran hanya bisa dipakai dengan ujian perlu diubah. Karena karakter jauh berbeda dengan hard skill akademik.
Kedua, perlu adanya peran lebih dari guru sebagai pendidik dalam menumbuhkan karakter tersebut. Metode coaching, mentoring, training bisa menjadi alternatif dalam penumbuhan karakter siswa. Wali kelas atau guru Bimbingan Konsuling perlu menjadi pendamping dalam mendidik karakter para siswa di sekolah. Karena selama ini belum begitu jelas siapa yang bertanggung jawab dalam peran penumbuhan karakter ini di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, adanya sinergisasi sendiri dari pemerintah, sekolah, dan orang tua. Tak dapat dipungkiri, awal dari pembinaan karakter siswa sendiri tentulah berawal dari keluarga masing-masing. Orang tua memiliki peranan penting dalam membekali anaknya. Sehingga, tidak ada lagi istilah orang tua yang hanya menitipkan anak ke sekolah. Dari pemerintah sendiri perlu menyediakan opsi metode yang tidak memberatkan siswa dan sekolah. Diharapkan nantinya orang tua dan wali murid dapat bekerja sama dalam penumbuhan karakter siswa atau anaknya.
Ilustrasi Bimbingan Belajar (Foto: Wokandapix)
Keempat, organisasi baik intra ataupun ekstra sekolah perlu menciptakan citra yang baru dalam hal penumbuhan karakter siswa. Para siswa yang memang berkembang di sana perlu mendapat apresiasi dan controlling tersendiri dalam setiap aktivitasnya. Di dekat kampus saya, ada organisasi seperti Karisma ITB yang fokus pada pengembangan karakter remaja. Fenomena yang terjadi sekarang, banyak siswa yang pergi ke lembaga bimbingan belajar yang berfokus pada akademik siswa. Lalu, kenapa pemerintah atau LSM lain tidak bisa mengembangkan bimbingan belajar yang berfokus pada karakter siswa? Orang tua pun kedepannya bisa juga menghadirkan anak-anaknya dalam lembaga ini.
ADVERTISEMENT
Solusi yang ditawarkan penulis bisa saja hanyalah solusi trivial dari fenomena yang ada sekarang. Akan tetapi permasalahan yang ada pada jati diri bangsa perlulah diselesaikan sampai akarnya. Karena bangsa ini sedang tidak baik baik saja, mari kita bangun karakter bangsa ini mulai dari pemudanya lewat pendidikan yang sehat. Sebagus-bagusnya akademik atau hard skill yang kita miliki tanpa diimbangi karakter yang baik dapat berpotensi mencederai bangsa sendiri.
Selamat menjadi baik.