Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Apa yang Hendak Gen Z Katakan pada Milenial: Semenjengkelkan Itukah Kami?
25 Oktober 2023 12:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hilmy Almuyassar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan banyak dari Generasi Milenial yang namanya disisipi sebutan Content Creator, Public Figure, Komedian, atau mereka, pegiat media sosial, meresahkan tingkah laku adik generasinya, betul, Gen Z. Baik dibuat dalam bentuk video pendek dengan nada satire atau dengan jelas dan sarkas, maupun di-mention dalam video panjang seperti video siniar.
ADVERTISEMENT
Semakin bervariasi cara menyampaikan keresahan soal Gen Z, semakin Gen Z seolah tengah dibully. Gen Z memang jadi sasaran empuk untuk jadi bahan konten selain polemik capres-cawapres. Lalu apakah memang Gen Z ini begitu meresahkan? Dan semenjengkelkan itukah?
Saya mengira, awalnya, mereka hanya membesarkan-besarkan kekurangan dari karakteristik Gen Z tersebut. Sehingga yang baik-baik pada diri anggota Gen Z jadi terkubur dan kini terkesan seperti Gen Z tidak punya kelebihan sama sekali.
Padahal bukan berarti Milenial tidak punya kekurangan dari karakteristiknya hanya gara-gara boomer (Generasi sebelum Milenial) tidak pernah menyajikan keresahan tentang Milenial dalam bentuk konten video—karena memang dulu belum ada media sosial digital.
Sampai suatu ketika saya mengalami sendiri keresahan Milenial tersebut di depan mata, meski saya termasuk juga Gen Z, saya bisa mengerti apa keresahan serta kejengkelan yang para pegiat media sosial Milenial rasakan.
ADVERTISEMENT
Tidak, Gen Z mungkin benar meresahkan, namun dalam bahasan ini saya tidak mau ikut-ikut membully generasi saya sendiri. Di sini saya mencoba berasumsi bahwa ada faktor yang terlihat berkaitan antara perilaku menjengkelkan Gen Z dengan berbagai topik konten yang dibuat para Milenial (sebelum mengarah Gen Z sebagai objek topik konten).
Boleh dibilang, jangan-jangan hal meresahkan yang Gen Z perbuat tidak hanya berangkat dari karakteristik dan apa yang melatarbelakanginya. Tapi juga berangkat dari apa yang mereka tonton lewat jenis media sosial mana pun.
Tentu para pembuat tontonan tersebut notabene dari kalangan Milenial dibandingkan para Gen Z, karena Gen Z tiga tahun yang lalu hingga kini masih banyak yang duduk di bangku sekolah dan kuliah, sebagian lagi masih megap-megap cari kerja atau menentukan karier, artinya Gen Z tidak punya cukup banyak waktu untuk jadi pembuat konten secara intens.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan besar, tontonan kami para Gen Z selama ini adalah hasil karya Kakak-kakak Milenial, yang justru membentuk “keresahan” itu sendiri. Mudahnya, Gen Z yang meresahkan tersebut, secara tidak langsung difaktori oleh konten yang dibuat Generasi Milenial, dengan kata lain Gen Z korban para Milenial.
Mari kenali dulu definisi Gen Z dan karakteristiknya sebagai berikut. Berdasarkan penulis kumparan yang nama penanya ‘Pengetahuan Umum’ mengatakan Generasi Z atau Gen Z yang juga dikenal sebagai iGen atau Centennials adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Dan karakteristik Gen Z diringkas menjadi 4 bagian:
1. Sangat teknologi.
2. Realistis.
3. Independen.
4. Sosial dan Politis.
Beralih pada kelebihan yang dimiliki oleh anggota Gen Z. Saya mengutip Aulia Fadiah dari artikelnya yang dimuat di Kompasiana.com, di antaranya:
ADVERTISEMENT
1. Teknologi sebagai sahabat.
2. Kreativitas tanpa batas.
3. Kepedulian sosial yang kuat.
4. Kemampuan beradptasi yang cepat.
5. Kecerdasan emosional yang tinggi
6. Jiwa kewirausahaan.
Kemudian dilansir Brainacademy.id by Ruang Guru, berikut 3 poin kekurangan Generasi Z yang Salsabila Nanda sebutkan:
1. FOMO (Fear of Missing Out).
2. Kecemasan dan tingkat stress yang tinggi.
3. Mudah mengeluh dan self proclaimed.
Lihatlah bagaimana Gen Z memproses konten-konten yang ditawarkan Milenial dengan karakteristik, serta kelebihan dan kekurangannya, yang lalu dipandang menjengkelkan. Contoh, Gen Z itu menggelikan bagi Milenial ketika mengatakan Mental Health sambil merajuk manja. Memang dari mana Gen Z mulai mengandalkan istilah-istilah psikologi macam Mental Health, Self Love, Self Healing DLL—untuk membela kemalasannya, kalau bukan karena satu aktris, di tambah influencer-influencer Milenial lain yang mengawali menggunakan beberapa istilah di atas pada video siniar panjang yang dipotong-potong dan diunggah ulang ke platform TikTok.
ADVERTISEMENT
Ada lagi istilah Love Language yang jadi paremeter baru menentukan pasangan bagi para Gen Z, yang saya tahu istilah itu mulai merebak setelah tiga perempuan: satu selebriti blasteran; satu komedian; terakhir satu mantan istri host dan komedian pria, asyik membicarakan Love Language ini, juga dalam video siniar.
Kemudian soal Passion, saat Gen Z hendak mencari kerja, dalih yang semata-mata dipakai untuk menghindari pekerjaan-pekerjaan berat yaitu “mencari pekerjaan yang sesuai passion”. Kalimat tersebut menjengkelkan di mata Milenial, tapi tentu Gen Z mengenalnya dari dua sampai tiga Stand Up Comedy-an yang menyuarakan hal itu di video-video show komedian tadi. Contoh terakhir, saya melihat beberapa kali kalangan Gen Z Perempuan kini seringkali mengacung-acungkan kata ‘feminisme’ di depan laki-laki tanpa memahami secara utuh konsep dasarnya. Saya kira kalangan Gen Z Perempuan tersebut berani menggunakan kata di atas setelah nonton aktris sekaligus penyanyi belasteran di siniarnya pesulap. Mungkin masih banyak contoh lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun, berlebihan jika harus memandang pegiat media sosial Milenial sebagai tersangka. Sebab, masalahnya memang dari cara Gen Z menerima dan bagaimana memanfaatkan apa yang hendak disampaikan Milenial dalam kontennya.
Saya rasa Gen Z harus sudah memaksimalkan cara berpikir komputasi seperti yang diusung oleh Kurikulum Merdeka Belajar, supaya saat menerima informasi atau wawasan baru tidak langsung mentah-mentah ditelan, apalagi sampai salah cara menerapkannya, dan malah dipakai untuk berdalih atau mengeluh agar bisa lari dari masalah.
Mendalami informasi serta wawasan baru kini tidaklah sulit, sudah ada mesin pencari seperti Google; kalau-kalau mau mencari yang lebih detail dan ilmiah sudah ada Google Scholar dan halaman web penerbit jurnal ilmiah lain; ada pula AI yang hampir bisa menjawab segala pertanyaan, macam ChatGPT.
Bukan hal yang berat juga menurut saya, apabila Kakak-kakak Content Creator, Public Figure dan Komedian Milenial, ketika mengunggah konten yang dibuat, memiliki informasi atau wawasan baru—untuk membantu adik-adik Gen Z-nya—dengan menyisipkan sumber-sumber, serta mendorong Gen Z supaya tertarik untuk melakukan research, mau mempelajari dan memperdalam informasi dan wawasan baru dari konten tersebut lewat sumber-sumber yang disisipkan.
ADVERTISEMENT
Memang, Kakak-Kakak Milenial sekalian bukan guru yang wajib melakukan apa yang barusan saya coba tawarkan, tapi apa salahnya membantu tugas guru di tengah-tengah prestasi pendidikan negara kita yang dibully habis-habisan oleh negara lain? Lagi pula itu hal baik yang tidak menguras banyak pikiran, tenaga dan uang bukan? Daripada membully terus-terusan adik Gen Z yang malah kelihatan memperjelas kalau kita negara dengan SDM yang rendah.
Saya pikir solusi alternatif yang saya sampaikan sebelumnya tidaklah buruk. Sebab konten-konten yang Kakak Milenial sekalian buat, kebanyakan penontonnya tidak jauh-jauh dari Generasi Z. Saya percaya itu akan selalu berkaitan dan punya dampak, baik langsung atau secara tidak langsung kepada Generasi kami.
Saya sempat mengatakan saya pun mengalami keresahan yang diresahkan Milenial, padahal saya sendiri pun termasuk Gen Z. Saya sampaikan demikian, karena merasa keresahan Milenial yang saya contohkan di atas itu tidak terjadi pada teman-teman satu Gen Z saya yang lahir di tahun sembilan delapan-dua ribuan.
ADVERTISEMENT
Bahkan bukan hanya saya, tapi justru teman-teman Gen Z sembilan delapan-dua ribu ikut merasakan keresahan tersebut, karena sejauh yang saya temui Gen Z yang meresahkan barangkali muncul pada orang-orang yang lahir di tahun dua ribu dua ke atas.
Jadi mungkin untuk mengakhiri tulisan ini, saya tegaskan, semisal saja, Milenial masih ingin membully Gen Z lewat konten, tolong katakana spektrum Gen Z yang lebih spesifik, seperti “Perbedaan Gen Z 2002 ke atas dan Milenial Ketika ditegur oleh atasan.” Tentu penutup ini boleh dianggap serius atau bercanda.