Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lulus dari Pesantren, Saya Kaget dengan Pergaulan di Luar Pondok
19 Februari 2024 15:54 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hilmy Almuyassar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah ngalamin culture shock atau keterkejutan budaya? Saya pikir semua orang hampir pernah mengalami hal ini. Istilah ini umum dipakai ketika seseorang datang atau pindah dari negara asal ke negara lain kemudian kaget, gelisah dan merasa bingung pada tempat baru yang budayanya berlainan dengan budaya seseorang itu sebelumnya, begitulah kurang lebih gambaran yang sering dipakai untuk menerangkan culture shock.
ADVERTISEMENT
Penggambaran keterkejutan budaya barangkali tidak hanya saat seseorang pindah dari satu negara ke negara lain, dari satu daerah ke daerah lain. Gambaran tersebut bisa juga berangkat dari hal-hal kecil seperti seseorang yang beralih dari satu pergaulan ke pergaulan lain.
Misalnya, apa yang saya alami setelah lulus dari pesantren dan memasuki perkuliahan, yaitu menemukan perbedaan cara bergaul tadi. Di pesantren, tempat antara santri perempuan dan santri laki-laki harus terpisah, dari tidur, makan dan pada jam-jam istirahat pesantren, kecuali saat sekolah. Kompleks gedung sekolah tidak bisa dipisahkan untuk santri laki-laki maupun perempuan, semuanya ada di sana, namun tetap dipisahkan antara ruang kelas laki-laki dan perempuan.
Pesantren Membentuk Suatu Kebiasaan
Selama di pesantren, pertemuan saya dengan teman-teman perempuan hanya terjadi selama kegiatan sekolah berlangsung itupun ketika berangkat, istirahat sekolah dan pulang sekolah saja, saya dan teman laki-laki hampir tidak pernah bermain atau gaul bersama teman-teman perempuan di pesantren. Selama enam tahun—dari SMP sampai SMA, aktivitas tersebut terus berlangsung dan terulang membuat saya menjadi mudah malu sekaligus takut berhadapan dengan perempuan. Meskipun ada waktu-waktu perpulangan di akhir tahun pelajaran yang biasanya teman laki-laki dan perempuan bisa main bersama tetap saja kebiasaan pesantren masih melekat: masih ada kecanggungan saat pertama bertemu di tempat bermain, masih merasa kaku ketika tidak sengaja saling bersenggolan.
Kadang-kadang, saya dan teman laki-laki, setiap kali tak sengaja melihat teman perempuan yang tidak pakai kerudung di album foto—di gadget-nya, kami jadi tertegun, merasa bersalah tapi sedikit penasaran juga.
ADVERTISEMENT
Semacam mau-mau tapi malu. Kebiasaan terpisah dari lawan jenis di pesantren selama enam tahun—dalam konteks ini dengan teman perempuan, menjadikan keadaan berkerudung dan tidak bersentuhan fisik dianggap sebagai hal yang paling aman dan wajar, alhasil saya tidak terbiasa untuk bersinggungan langsung secara kontak fisik dan selalu merasa gugup melihat teman perempuan yang tidak menggunakan kerudung. Mungkin bagi sudut pandang lain—agama contohnya, hal ini disebut kebaikan. Tapi justru di sini masalah yang mesti saya hadapi ketika kuliah.
Masuk Kuliah dengan Kebiasaan Baru
Bagi teman-teman kuliah saya yang dulunya tidak pesantren, kelihatannya mereka terbiasa bergaul dengan ada sedikit kontak fisik bersama teman perempuan sambil si perempuan tidak mengenakan kerudung. Tapi tidak dengan saya, bukannya saya alim atau saleh. Saya tidak alergi dan tidak akan menghakimi teman perempuan (kuliah) yang tidak pakai kerudung dengan “pendosa” apalagi “kafir”. Saya hanya heran, melihat teman (laki-laki) kuliah yang santai di depan teman perempuan, sementara saya gugup dan berusaha menutupinya dengan berlagak santai juga. Sejenak, itu membuat saya kaget. Kampus yang saya kuliahi terbilang religius dan berlatar pendidikan pula, bagi perempuan muslim wajib mengenakan kerudung ketika kuliah.
ADVERTISEMENT
Pernah di satu malam saya diajak dua teman saya untuk main ke kos-kosan perempuan yang saya sendiri tidak terlalu akrab dengan teman-teman perempuan di sana—waktu itu, dibanding dua teman saya tadi. Ketika sampai, saya cemas saat teman-teman perempuan tidak mengenakan kerudung. Biasanya pertemuan pertama dengan mereka—teman cewek—terjadi di kampus dan tentu mereka harus menggunakan kerudung.
Bagian yang paling terkejutnya dan membikin saya kikuk adalah ketika salah satu teman perempuan menyimpan bantal di kaki—tepatnya di sepanjang betis saya yang sedang lonjoran kemudian tidur tiba-tiba tanpa izin. Kepala saya rasanya bek tapi punggung saya sedikit berkeringat. Saya bingung, saya harus apa? Pertemuan-pertemuan seperti itu sering terjadi dan secara tidak langsung pula saya belajar terbiasa menemui teman-teman perempuan dan bergaul bersama mereka, baik ketika mereka tidak pakai kerudung dan terjadi sedikit sentuhan fisik.
ADVERTISEMENT
Tapi perasaan gugup tetap saja ada. Dan takut kegugupannya terbaca oleh teman-teman perempuan tentu menjadi tantang besar. Sangat tidak mungkin, bila harus membicarakannya baik-baik dan semisal meminta tolong teman-teman perempuan untuk membantu saya melewati proses agar terbiasa. Dengan cara bicara baik-baik, saya kira akan membuat mereka canggung saat bertemu saya lagi dan tidak menutup kemungkinan mereka juga akan melakukan batasan-batasan dengan saya. Maka, untuk bisa mencapai titik “terbiasa” pun terhitung lama. Saya tidak mau kecanggungan dan batasan-batasan terjadi. Lebih jauh lagi, saya khawatir bila harus berbicara baik-baik dan meminta tolong pada teman-teman perempuan akan menjadikan semua orang mengenal saya sebagai orang yang kaku atau kikuk. Kalaupun ternyata tidak terjadi, tapi kala itu saya sedang tidak percaya diri.
ADVERTISEMENT
Proses Adaptasi
Enam tahun merasa nyaman bergaul dengan perempuan yang berkerudung dan tidak bersentuhan adalah tantangan untuk keluar dari zona tersebut ketika kuliah. Ada yang disebut dengan fase honeymoon pada culture shock, fase ini merupakan tahap seseorang masih memiliki keinginan atau rasa penasaran yang tinggi serta menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani (berdasarkan kajianpustaka.com) dan fase ini tidak saya alami. Saya justru mengalami fase lain atau fase selanjutnya yang disebut fase frustrasi dan fase readjustment; penyesuaian kembali.
Di kejadian teman perempuan yang menepikan kepalanya di betis saya waktu dulu, jujur saja, sebenarnya saya agak risih. Di sinilah, boleh dikata fase frustrasi terjadi. Tapi secara bersamaan, saya juga ingin bisa terbiasa dengan keadaan-keadaan lepas semacam itu, alasannya agar tidak lagi merasa tabu. Akhirnya perasaan asing atau tabu itulah yang mendorong saya untuk beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Pada tahap beradaptasi, fase readjustment saya alami. Beradaptasi berarti belajar, dan saya belajar pada kedua teman kuliah (cowok) di atas tadi. Tidak dengan meminta dua teman laki-laki tersebut untuk mengajarkan saya, tentunya. Karena tentu akan malu. Secara mandiri, saya yang mencoba memperhatikan cara kedua teman saya itu saat bergaul dengan perempuan. Bagaimana memasang muka yang tidak tegang, tetap santai dan tidak mengakukan badan saat bersentuhan dan yang paling mudah adalah tidak membedakan cara berbicara dengan teman laki-laki kepada perempuan.
Sekarang saya sudah tidak perlu beradaptasi, saya merasa berhasil menaklukkan culture shock dari segi pergaulan. Meski terkesan seperti tidak punya pendirian, sudahlah. Pengalaman yang cukup meresahkan tapi seru, sebab titik balik yang didapat ialah saya mampu lebih tenang ketika bersentuhan dengan teman perempuan ataupun ketika teman perempuan tidak memakai kerudung/hijab, dan juga jadi punya banyak teman perempuan.
ADVERTISEMENT
Lagipula apa sebenarnya pendirian itu? Sebab apa yang memunculkannya? boleh jadi, tanpa disadari pendirian datang dari culture shock pada kejadian-kejadian kecil, atau jangan-jangan apa yang selama ini kita jalani adalah bentuk dari penaklukkan-penaklukkan culture shock belaka. Mungkin. tidak ada yang tahu, diri kita sendiri yang bisa memastikannya.