Problematika Akses Pangan Sehat Masyarakat Miskin Kota

Hilmy Prilliadi
Mahasiswa magister ekonomi pertanian di Ataturk University.
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 16:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilmy Prilliadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi urban poverty. Foto: REUTERS/Beawiharta
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi urban poverty. Foto: REUTERS/Beawiharta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Urbanisasi menjadi fenomena global yang sedang naik daun. Melansir data UN DESA, saat ini 55% populasi global tinggal di daerah perkotaan, dan diperkirakan pada tahun 2050 70% penduduk akan tinggal di kota. Dibandingkan dengan daerah pedesaan, daerah perkotaan memiliki perkembangan sosial dan ekonomi yang lebih besar, lebih banyak kesempatan kerja, dan akses ke layanan penting yang lebih beragam dan lebih baik. Namun di sisi lain, UNDP menyatakan bahwa daerah perkotaan juga “memusatkan” kemiskinan. Masyarakat miskin perkotaan tidak hanya kekurangan pendapatan dan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan, tetapi seringkali mengalami keterbatasan akses ke layanan dasar, kesempatan kerja dan kemungkinan pembangunan sosial. Tren kemiskinan perkotaan sebagian disebabkan oleh percepatan proses urbanisasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah; UN DESA memperkirakan pada tahun 2035 sebagian besar orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem (pendapatan harian kurang dari USD 1,25) akan tinggal di daerah perkotaan.
ADVERTISEMENT
Tantangan ini telah dibahas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Secara khusus, SDG 11 menetapkan bahwa negara-negara perlu memiliki rencana pembangunan kota yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama yang paling rentan secara sosial ekonomi. Lebih lanjut, SDG 1 menyatakan bahwa segala bentuk kemiskinan harus diberantas pada tahun 2030.
SDGs juga sangat terkait dengan kerawanan pangan. Lingkungan perkotaan menyiratkan risiko tertentu kerawanan pangan dan gizi yang buruk karena akses ke pangan bergantung pada pasokan komersial yang, pada gilirannya, terkait dengan tingkat pendapatan. Di satu sisi, bisa kita ketahui juga bahwa masyarakat miskin perkotaan sangat rentan terhadap guncangan makroekonomi yang mempengaruhi kapasitas mereka untuk menghasilkan pendapatan yang pada gilirannya menyebabkan mereka mengkonsumsi makanan yang kurang sehat. Di sisi lain, pola makan perkotaan, rata-rata, lebih baik daripada pedesaan karena lebih beragam dan, mengingat sistem distribusi pangan, ada akses yang lebih besar ke produk seperti protein hewani. Namun, keuntungan dan potensi perkotaan yang diharapkan ini tidak terdistribusi secara merata karena tidak menjangkau strata sosial ekonomi termiskin.
ADVERTISEMENT
Fenomena itu menunjukkan adanya perbedaan geografis dalam akses pangan, yang terkait dengan hambatan ekonomi dalam mengakses pilihan pangan sehat. Oleh karena itu, mereka yang berpenghasilan rendah tidak memiliki akses pangan yang kaya akan gizi termasuk buah dan sayuran segar, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Sebaliknya, mereka memiliki akses yang relatif lebih mudah dalam mengonsumsi gula, lemak, dan makanan ultra olahan. Meskipun fenomena ini secara umum telah diidentifikasi sebagai bagian dari "transisi nutrisi", penting untuk ditekankan bahwa di pusat-pusat perkotaan, kondisi ini terkait dengan ketidakadilan sosial ekonomi. Produk ultra olahan memiliki kepadatan energi yang tinggi, masa simpan yang lama, siap dimakan dan harganya relatif lebih murah. Semua fitur ini membuat mereka cocok bagi individu perkotaan berpenghasilan rendah yang mungkin memiliki sumber daya terbatas seperti peralatan memasak, pasokan air minum yang aman, dan sanitasi, di antara kebutuhan dasar lainnya. Sebuah studi di 74 negara dari Pan-American Health Organization yang dilakukan pada tahun 2015 menemukan bahwa penjualan produk ultra olahan lebih besar di negara-negara yang lebih urban, dan pasar meluas ke sektor-sektor yang lebih miskin.
ADVERTISEMENT
Lingkungan tempat pangan berada dapat mempengaruhi risiko malnutrisi dan penyakit kronis menular dan tidak menular. Di daerah perkotaan, food deserts dan food swamps - dipahami sebagai daerah dengan akses ke supermarket dan pilihan makanan sehat yang sangat terbatas atau sulit menjadi contoh lingkungan pangan yang menantang, yang umumnya lebih umum di daerah perkotaan berpenghasilan rendah. Lingkungan ini pada gilirannya terkait dengan nutrisi yang tidak setara. Misalnya, di Amerika Latin, risiko malnutrisi kronis pada anak-anak perkotaan di bawah usia 5 tahun sepuluh kali lebih tinggi di antara yang termiskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berada di tingkat sosial ekonomi tertinggi.
Tantangan ekonomi struktural yang penting untuk akses pangan di antara mereka yang kurang beruntung secara sosial ekonomi di daerah perkotaan adalah bahwa harga pangan sehat bisa lebih tinggi di lingkungan miskin, yang pada saat yang sama juga cenderung memiliki lebih sedikit toko pangan eceran. Kondisi ini merupakan penghalang struktural yang kuat bagi keluarga yang hidup dalam kemiskinan perkotaan. Tantangan struktural seputar sistem pasok pangan dan pasar di daerah perkotaan yang rentan berarti bahwa terkadang individu perlu melakukan perjalanan ke tempat lain untuk mengakses pangan sehat, usaha ini secara otomatis menambah biaya (untuk transportasi) dan tekanan mental karena hambatan fisik untuk mengakses makanan mereka sendiri. Situasi buruk bagi masyarakat miskin perkotaan ini diperparah oleh masalah infrastruktur transportasi yang buruk serta tingkat kejahatan masyarakat yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan perkotaan menyebabkan peningkatan risiko gizi buruk termasuk stunting, kelebihan berat badan dan obesitas. Lingkungan perkotaan mendorong konsumsi pangan ultra olahan dengan kandungan kalori, lemak, garam dan gula yang tinggi tapi nilai gizinya sangat rendah. Demikian pula, kurangnya akses pangan dapat menyebabkan orang-orang melewatkan makan. Kondisi menunjukkan masalah kesehatan masyarakat, karena diketahui bahwa puasa berkepanjangan dapat mempengaruhi respons metabolik yang tidak menguntungkan. Lebih buruk lagi, penelitian yang dilakukan oleh Ramsey, Giskes, Turrell dan Gallegos menunjukkan bagaimana pengalaman ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental sebagai akibat rasa malu, dan keputusasaan di antara mereka yang terkena kerawanan pangan tanpa kemampuan untuk mengatasinya. Stresor kesehatan mental terkait kerawanan pangan pada gilirannya juga dapat meningkatkan risiko perubahan kardiometabolik dan status gizi.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa kerawanan pangan di daerah perkotaan sangat didorong oleh keterbatasan pendapatan. Secara khusus, rumah tangga berpenghasilan rendah perlu mengalokasikan sebagian besar dari total pengeluaran mereka untuk makanan dan sangat rentan terhadap guncangan eksternal termasuk pengangguran, masalah kesehatan dan inflasi harga pangan. Dampak buruk kerawanan pangan terhadap kesehatan diperparah oleh fakta bahwa rumah tangga perkotaan berpenghasilan rendah cenderung memiliki sanitasi dan peralatan rumah yang buruk.
Tidaklah mengherankan bahwa kerawanan pangan di antara masyarakat miskin perkotaan dikaitkan dengan gizi yang buruk. Hal ini menyoroti relevansi pemantauan kerawanan pangan dalam populasi perkotaan. Food Insecurity Experience Scale (FIES) penting untuk menangkap fenomena ini di kalangan masyarakat miskin perkotaan, dan upaya harus dilakukan untuk mengetahui berbagai tingkat keparahan apakah ringan, sedang, atau parah.
ADVERTISEMENT
Upaya lain yang sangat relevan adalah bahwa program perlindungan sosial dan bantuan pangan yang dirancang untuk memfasilitasi akses pangan seperti skema uang atau natura (pemberian beras, gula, dll), dapur masyarakat dan bank pangan - sendiri tidak cukup untuk menyelesaikan masalah kerawanan pangan secara tuntas karena mereka tidak mengatasi hambatan seperti kurangnya fasilitas memasak atau penyimpanan pangan, persaingan biaya kesehatan atau perumahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa strategi penanggulangan yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti mengambil makanan dari sampah juga kerap terjadi, yang menggambarkan kedalaman efek negatif kemiskinan perkotaan terhadap hak atas pangan. Menariknya, perilaku koping kerawanan pangan ini kontras dengan yang diamati di daerah pedesaan, seperti pertukaran makanan dan pertanian keluarga kecil untuk konsumsi sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan perkotaan menimbulkan tantangan dan jalan yang unik menuju akses pangan dan kemampuan keluarga untuk mengonsumsi pangan sehat dan bergizi. Ada kemungkinan bahwa sifat kota termasuk pembangunan yang tidak terencana dengan baik dan struktur jaringan sosial yang menantang mencegah individu berpenghasilan rendah menemukan strategi untuk mengatasi kerawanan pangan dan mengarah pada perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial untuk mengakses pangan.

Referensi:

https://www.un.org/development/desa/publications/2018-revision-of-world-urbanization-prospects.html https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21899791/