Konten dari Pengguna

Kehilangan Mestika: Melawan Batasan, Menggapai Pendidikan, dan Kesetaraan Gender

Hilya Hafiza S
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Mei 2025 13:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilya Hafiza S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: https://pixabay.com/illustrations/woman-writing-office-office-work-5835657/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://pixabay.com/illustrations/woman-writing-office-office-work-5835657/
Isu kesetaraan gender masih menjadi pembahasan hangat hingga hari ini. Di berbagai belahan dunia, perempuan terus memperjuangkan hak yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Namun, perjuangan ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Salah satu contoh dapat kita lihat dari perjuangan RA Kartini dan dalam salah satu novel sastra yang berjudul Kehilangan Mestika. Kehilangan Mestika merupakan karya seorang penulis perempuan bernama Fatimah Hasan Delais atau yang lebih dikenal dengan nama pena Hamidah. Novel ini bukan hanya rangkaian cerita saja, melainkan dapat menjadi potret nyata tentang bagaimana perempuan pada masa kolonial berjuang untuk meraih kebebasan dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Melalui tokoh utamanya yang juga bernama Hamidah, kita diajak menyelami kehidupan perempuan yang penuh tantangan, namun juga penuh semangat untuk melangkah menuju perubahan.
ADVERTISEMENT
Perempuan dan Ketidakadilan di Masa Kolonial
Pada masa kolonial, perempuan sering kali dianggap tidak setara kedudukannya dengan laki-laki. Mereka tidak bebas menentukan pilihan hidup, bahkan untuk hal sederhana seperti pergi ke sekolah menjadi hal yang sangat sulit bagi kaum perempuan pada masa itu. Tradisi dan adat yang kuat membuat perempuan dipingit di rumah, tidak boleh keluar sembarangan, apalagi mendapatkan pendidikan setinggi laki-laki. Pada masa itu perempuan dipandang hanya untuk menunggu seorang laki-laki datang meminangnya dan hanya boleh bekerja di lingkungan internal saja, atau lebih tepatnya tugas wanita pada masa itu hanya sebatas pada dapur, sumur, dan kasur.
Tokoh Hamidah dalam novel Kehilangan Mestika ini mengalami langsung ketidakadilan itu, ia hidup dalam lingkungan yang memaksa perempuan untuk diam, tunduk, dan patuh tanpa pertanyaan. Namun, Hamidah tidak tinggal diam, ia melawan adat pingitan yang dianggapnya tidak adil dan membatasi ruang gerak perempuan dengan membangun suatu perkumpulan perempuan yang mengajarkan perempuan untuk membaca, menulis, dan keterampila-keterampilan lainnya. Bagi Hamidah, tradisi pingitan harus dilawan, karena tidak sesuai dengan kemajuan zaman.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dalam novel ini ada sosok laki-laki yang mendukung perjuangan Hamidah dalam melawan tradisi pingitan ini. Ia adalah ayahnya sendiri, ayah Hamidah digambarkan sebagai seorang yang berpikiran maju, ia tidak hanya memberi izin anak perempuannya untuk bersekolah di negeri perantauan, tetapi ia juga mengizinkan anaknya untuk bekerja, bahkan ia aktif mengantar serta menjemput anak perempuannya itu. Ayahnya bahkan mengajak Hamidah untuk pergi menonton bioskop, di mana pada masa itu bioskop merupakan sesuatu yang dianggap tabu. Keputusan sang ayah tentu menuai kritik dari lingkungan sekitarnya, bahkan ayahnya sempat diminta masyarakat untuk diberhentikan dari jabatannya sebagai khatib dan anggota dewan agama karena dianggap telah keluar dari garis agama, sebab membiarkan anak perempuannya berjalan ke mana-mana. Namun, ayah Hamidah tetap teguh pada prinsip dan pendiriannya, karena tahu bahwa kebebasan dan pendidikan bukan hak untuk anak laki-laki saja, tetapi juga untuk anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Kunci Perubahan Perempuan
Salah satu hal penting yang ditekankan dalam novel Kehilangan Mestika adalah pentingnya pendidikan bagi perempuan. Hamidah percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebebasan, dengan belajar membaca, menulis, dan berhitung, perempuan bisa memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya tanpa harus bersandar atau bergantung kepada laki-laki. Karena dengan pendidikan perempuan bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau, juga bebas memilih pilihan-pilihan di hidupnya, serta yang terpenting adalah, ketika seorang perempuan berpendidikan ia akan mampu menciptakan generasi-generasi emas yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Perjuangan Hamidah dalam mengusahakan pendidikan untuk perempuan ditandai dengan mendirikan sebuah perkumpulan belajar bagi perempuan di sekitaran tempat tinggalnya. Ia ingin agar perempuan bisa mandiri dan memiliki peran lebih di dalam masyarakat, yang tidak hanya berpaku pada tugas-tugas internal tetapi juga bisa bebas bergerak dan memaksimalkan potensi serta kemampuan yang dimiliki. Walau pada awal pendirian komunitas ini banyak masyarakat yang menolak karena menganggapa komunitas ini tidak sejalan dengan tradisi yang ada, serta menganggap bahwa Hamida adalah perempuan kafir karena sudah berjalan kesana kemari tanpa memakai selendang penutup kepala. Namun, pada akhirnya pandangan Masyarakat mengenai perkumpulan yang didirikan oleh Hamidah perlahan mulai berubah, karena Hamidah dan teman-teman pendiri kumpulan perempuan bersepakat untuk meminta seorang ahli agama islam untuk mengadakan tabligh setiap seminggu sekali. Pendirian komunitas ini merupakan betuk dari langkah awal yang sangat berani, terutama di masa ketika perempuan dianggap hanya cocok berada di dapur, sumur, dan kasur.
ADVERTISEMENT
Relevansi di Zaman Sekarang
Meski ditulis hampir seabad lalu, pesan dalam novel Kehilangan Mestika tetap relevan hingga kini. Perjuangan Hamidah masih menjadi cerminan dari realitas yang banyak perempuan hadapi sampai saat ini, diskriminasi, stereotipe, dan batasan sosial dalam masyarakat dalam berbagai bentuk masih kerap kali membelenggu para perempuan-perempuan untuk bergerak dengan bebas dan menentukan arah kehidupannya sendiri.
Seperti Hamidah, banyak perempuan masa kini yang terus berjuang membuka ruang dan kesempatan untuk para perempuan-perempuan lain agar bisa memiliki kesempatan dan ruang gerak yang sama dengan laki-laki di masyarakat. Mereka mendobrak batasan, memperjuangkan hak, dan membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, pendidik, pekerja, dan agen perubahan, tanpa harus menghilangkan identitas dirinya sebagai seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Novel Kehilangan Mestika mengingatkan kita bahwa perjuangan kesetaraan gender bukan hal baru. Sudah ada perempuan-perempuan hebat yang memulainya sejak dulu, meski dalam keterbatasan dan tekanan sosial yang kuat. Lewat kisah Hamidah dalam novel Kehilangan Mestika, kita dapat belajar bahwa keberanian untuk melawan ketidakadilan bisa datang dari siapa saja, bahkan dari seorang gadis muda. Karya ini menjadi bukti bahwa sastra bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan sosial di dalam masyarakat.