Konten dari Pengguna

Menelusuri Isu Sosial di Balik Kisah Cinta Awal dan Mira

Hilya Hafiza S
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13 Juli 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilya Hafiza S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Awal dan Mira. (Sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Cover Awal dan Mira. (Sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Utuy Tatang Sontani, lahir di Cianjur, Jawa Barat, 13 Mei 1920, dan wafat di Moskow, Rusia, 17 September 1979. Selama hidupnya, Utuy menghasilkan banyak karya-karya, di antaranya Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1948), Tambera (1949), Manusia Iseng (1953), Sang Kuriang (1953), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), dan Manusia Kota (1961). Selain yang telah disebutkan, Utuy juga merupakan pengarang naskah drama satu babak yang berjudul "Awal dan Mira", yang diterbitkan oleh PT Balai Pustaka (Persero) pada tahun 1951.
ADVERTISEMENT
Drama ini mengisahkan perjalanan cinta yang rumit antara Mira, seorang gadis cantik pemilik kedai kopi, dan Awal, pria berusia 27-30 tahun dari keluarga terpandang. Berlatar tahun 1951 di sebuah kedai kopi milik Mira, drama ini tidak hanya menyajikan rumitnya kisah cinta antara Awal dan Mira, tetapi juga mengangkat isu-isu sosial yang relevan pada masa pascaperang.
Mira tinggal bersama ibunya di rumah bambu terpencil yang dibangun di atas reruntuhan rumah batu yang hancur akibat perang. Di serambi depan rumah, terdapat kedai kopi kecil yang menjadi tempat berkumpul orang-orang di malam hari. Di kedai kopi ini, orang-orang mengobrol tentang sulitnya kehidupan setelah perang sambil menikmati kopi buatan Mira dan ibunya.
Beberapa isu-isu sosial yang diangkat dalam drama ini antara lain:
ADVERTISEMENT
1. Kemiskinan
Drama ini menggambarkan sulitnya kondisi ekonomi masyarakat pascaperang. Salah satu kutipan yang menggambarkan hal ini adalah, "Tidak usah dengar radio. Lihat Mira saja lupa kita bahwa di rumah tidak ada beras." Kalimat ini menunjukkan betapa sulitnya Masyarakat pada masa itu, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras saja tidak mampu.
2. Ketidakadilan Sosial
Naskah ini juga menyoroti kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah dalam masyarakat. Hal ini terlihat dari kutipan: "Nyonya paduka tuan, sekalipun jadi yang nomor dua atau nomor tiga, sudah pasti tiap hari naik mobil turun mobil, diam di gedung besar, sebentar-sebentar pergi ke restoran dan seminggu sekali ongkang-ongkangan keluar kota. Pendeknya hidupnya mewah." Berbanding terbalik dengan kehidupan mewah ini, masyarakat kelas bawah yang telah berjuang dalam perang tetap hidup dalam kesulitan. Seperti yang diungkapkan dalam dialog: "Tidak seperti kita. Kita di zaman pertempuran ikut memanggul senjata dan sering-sering hampir mati oleh peluru musuh, sekarang tetap saja tinggal di gubuk di gang becek."
ADVERTISEMENT
3. Kesenjangan Kelas Sosial
Perbedaan status sosial dalam drama ini menjadi penghalang utama dalam hubungan Awal dan Mira. Mira merasa tidak pantas bersanding dengan Awal karena perbedaan latar belakang mereka. Hal ini terlihat dari dialog antara ibu Mira dan Awal: "Maksud ibu, Den, Mira itu bukan perempuan dari golongan atas. Dia hanya tukang kopi." Untuk menyadarkan Awal, bahwa dia dan putrinya tidak bisa Bersama karena masalah kesenjangan ini. Juga dapat dilihat dari penggambaran penolakan Mira terhadap Awal, meski Awal telah menyatakan perasaannya dengan tulus, Mira tetap menolak dengan berkata, "Saya tukang kopi, Mas."
Melalui gaya bahasa yang sederhana namun menghanyutkan, Utuy Tatang Sontani berhasil menghadirkan sebuah drama yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembaca untuk merefleksikan realitas sosial pada masa itu. "Awal dan Mira" menjadi cermin masyarakat pascapeperang, dengan segala kompleksitas permasalahan sosial dan ekonominya.
ADVERTISEMENT
Di akhir cerita, terungkap bahwa Mira sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama terhadap Awal. Namun, karena perbedaan status sosial dan kekurangan fisik yang dia dapatkan akibat dari peperangan, membuat Mira terpaksa membohongi perasaannya sendiri dan bersikap tak peduli terhadap Awal.
"Awal dan Mira" tidak hanya sekadar drama tentang rumitnya sebuah kisah cinta, tetapi juga merupakan kritik sosial yang tajam terhadap ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Melalui karyanya, yang meskipun telah ditulis lebih dari 70 tahun yang lalu, tema-tema yang diangkat dalam "Awal dan Mira" masih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Kesenjangan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan masih menjadi isu-isu yang perlu mendapat perhatian. Karya Utuy Tatang Sontani ini mengingatkan kita bahwa sastra memiliki peran penting dalam mengangkat isu-isu sosial dan mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap realitas di sekitar mereka.
ADVERTISEMENT