Konten dari Pengguna

Nilai-nilai Kehidupan dalam Perjalanan Tokoh Sang Pemimpi

Hilya Hafiza S
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Juli 2024 16:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilya Hafiza S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Perpustakaan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Perpustakaan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sastra merupakan cerminan kehidupan yang mencakup nilai-nilai sosial, pendidikan, agama, budaya, dan lain-lain. Sastra lahir dari peristiwa-peristiwa kehidupan, dengan sentuhan imajinatif penciptanya, sastra tidak hanya bertujuan untuk menciptakan keindahan, tetapi juga untuk menyampaikan pikiran, pendapat, dan kesan terhadap sesuatu. Sastra memiliki banyak klasifikasi, salah satunya adalah sastra prosa. Sastra prosa terbagi menjadi dua, yaitu sastra prosa fiksi dan sastra prosa non-fiksi. Salah satu contoh dari sastra prosa fiksi adalah novel. Menurut Abrams, novel berasal dari bahasa Italia "novella" yang berarti 'barang baru yang kecil', yang kemudian diartikan sebagai 'cerita pendek dalam bentuk prosa'. Kini istilah "novella" diartikan sama dengan istilah Indonesia 'novelet', yang berarti sebuah karya prosa fiksi dengan panjang yang cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiantoro, 2018).
ADVERTISEMENT
"Sang Pemimpi" merupakan salah satu novel karya Andrea Hirata. Novel ini merupakan bagian kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, yang diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka pada tahun 2006. Novel ini mengisahkan tiga remaja bernama Ikal, Arai, dan Jimbron yang tinggal di sebuah desa kecil di Belitong. Desa miskin dengan akses pendidikan yang sangat sulit ini menjadi saksi perjuangan mereka menghadapi berbagai kesulitan hidup, dan juga tempat awal dari mimpi besar mereka untuk berkelana menjelajahi Eropa hingga Afrika dan menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne di Prancis. Novel ini mengajarkan pentingnya mimpi dan perjuangan untuk meraihnya, serta mengandung berbagai nilai pendidikan seperti nilai pendidikan agama, moral, sosial, dan budaya.
Nilai Pendidikan Agama
ADVERTISEMENT
Nilai religius atau agama merupakan nilai yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Dalam novel "Sang Pemimpi", nilai ini dapat ditemukan dalam beberapa kutipan.
Kutipan 1: “Setiap habis Maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di bawah temaram lampu minyak dan saat itu seisi rumah kami terdiam.”
Kutipan ini menunjukkan tokoh Arai sebagai Muslim yang taat, yang selalu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an setiap habis Maghrib.
Kutipan 2: “Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid.”
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan toleransi terhadap perbedaan agama antara Jimbron dan orang tua asuhnya yang tidak memaksanya mengikuti keyakinannya, melainkan memperkuat keyakinan beragama Jimbron dengan mengantarkannya mengaji.
Kutipan 3: “Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji Al-Quran sampai khatam berkali-kali. Dan jika sampai tamat SD belum hafal Juz Amma, siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras sehingga ketika keluar berjalan zigzag seperti ayam keracunan kepiting batu.”
Kutipan ini menggambarkan betapa ketat dan disiplinnya pendidikan agama dalam novel "Sang Pemimpi".
Kutipan 4: “Aku senang berjumpa Nurmala apalagi sekarang ia berjilbab. Bagiku jilbab adalah piagam kemenangan gilang-gemilang, kemenangan terbesar bagi seorang perempuan Islam atas dirinya, atas imannya, dan atas dunia.”
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan pemahaman tokoh Ikal tentang agama Islam melalui perasaannya terhadap temannya yang berjilbab.
Nilai Pendidikan Moral
Nilai moral adalah prinsip yang menilai apakah suatu tindakan dapat dianggap baik, buruk, benar, atau salah dari sudut pandang etika. Nilai ini bersumber dari norma sosial, agama, budaya, dan lainnya. Berikut kutipan yang menunjukkan nilai moral dalam novel "Sang Pemimpi".
Kutipan 1: “WC ini sudah hampir setahun diabaikan karena keran air yang mampet. Tapi manusia-manusia cacing, para intelektual muda SMA Negeri Bukan Main yang tempurung otaknya telah pindah ke dengkul, nekat menggunakannya jika panggilan alam itu tak tertahankan. Dengan hanya berbekal segayung air saat memasuki tempat sakral itu, mereka menghinakan dirinya sendiri di hadapan agama Allah yang mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan kamilah yang menanggung semua kebejatan moral mereka.”
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan sikap egois para murid SMA Negeri Bukan Main yang menggunakan WC yang tidak layak, tanpa memikirkan akibat dari perilaku mereka terhadap orang lain.
Kutipan 2: “Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bendera... rayu seorang tauke berbisik agar anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibukota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat kursi di SMA bukan main. "Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu kan kisah itu? Gairah Cinta di Hutan? Guy de Maupassant?" Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak. "Bijaksana kalau kau sumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?"
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan pentingnya kejujuran dan kedisiplinan dalam menjalankan pekerjaan, ketika seorang orang tua mencoba menyuap kepala sekolah untuk mendapatkan kursi untuk anaknya.
Nilai Pendidikan Sosial
Nilai sosial adalah penilaian terhadap perilaku individu dalam berinteraksi sosial. Nilai ini mencakup kemampuan berkomunikasi, berempati, menghargai perbedaan, mematuhi aturan sosial, dan lain-lain. Berikut kutipan yang menunjukkan nilai sosial dalam novel "Sang Pemimpi".
Kutipan 1: “Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. “Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!” seru Arai bersemangat.”
Kutipan ini menunjukkan pentingnya sifat peduli dan tolong-menolong terhadap sesama.
Kutipan 2: “Ketika membereskan tas, Jimbron menghampiri aku dan Arai. “Kud... kuda Sumbawa ini untukmu, Ikal...” Aku terkejut. Jimbron menyerahkan tabungan kuda Sumbawanya untukku. “Dan kuda sandel untukmu Arai....” Kami terpana dan tak sanggup menerimanya. “Dari dulu tabungan itu memang kusiapkan untuk kalian.”
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan kepedulian Jimbron terhadap kedua sahabatnya yang akan merantau ke pulau Jawa untuk mewujudkan impian mereka.
Nilai Pendidikan Budaya
Nilai budaya adalah prinsip, keyakinan, norma, dan tradisi yang menjadi landasan dalam kehidupan masyarakat tertentu. Dalam novel "Sang Pemimpi" dapat ditemukan nilai budaya, khususnya kebudayaan masyarakat Melayu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Kutipan 1: “Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang,...”
Kutipan ini menunjukkan budaya atau kebiasaan anak-anak Melayu miskin yang sedang beranjak dewasa di kampung tokoh Ikal mulai bekerja untuk membantu perekonomian orang tua mereka.
Kutipan 2: “Nurmala menjadi genit, “Oke, tapi jangan bilang ada salam dari gue.” Gue? Anak Melayu bilang gue. Sungguh besar tuntunan pergaulan. Beberapa orang sampai harus kehilangan identitas.”
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menunjukkan bahwa dalam kebudayaan Melayu, tidak terbiasa menggunakan kata ‘gue’ dalam percakapan sehari-hari.