Konten dari Pengguna

Dampak Penyebaran Spesies Akuatik Invasif Global dan di Indonesia

himawan achmad
An environmentalist and traveler
3 Januari 2018 16:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari himawan achmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dinamika pertumbuhan perpindahan populasi manusia terutama perdagangan termasuk akitifitas transportasi orang dan barang serta kegiatan pariwisata terkait dengan globalisasi diketahui telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya resiko bahaya invasif spesies yang diintroduksi pada ekosistem baru (IPPC Secretariat., 2005). Aktifitas tersebut disamping merupakan pendorong pembangunan ekonomi yang siginifikan secara global namun juga membawa resiko sebagai vektor dan jalur penyebaran dan peredaran materi biologis asing yang dengan melampaui batas-batas negara dapat bersifat invasif di habitat yang baru. Walaupun tidak seluruh spesies hasil introduksi dapat bersifat invasif (Colautti, Grigorovich, & MacIsaac, 2006) namun agen biologis asing yang mampu mengembangkan sifat invasifnya akan sangat bersifat destruktif dan mengancam keanekaragaman hayati setempat (Neville & Murphy, 2001).
ADVERTISEMENT
Paling tidak ada 4 dampak penyebaran spesies invasif yaitu terhadap ekologi lingkungan hidup, ekonomi, kesehatan, dan politik (Invasive Species Specialist Group, 2008; IPPC Secretariat., 2005). Mooney, Kinne, & Harper (2005) menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan global nyata terlihat akibat introduksi hewan akuatik bersifat invasif khususnya pada ikan air tawar. Perlu diketahui bahwa selama 1 abad terakhir kepunahan ikan air tawar telah mencapai 30 % dari total 10 ribu jenis yang diketahui (Stiassny, 1999) baik disebabkan oleh degradasi dan fragmentasi habitat alaminya, pendangkalan dan perubahan fungsi sungai dan badan air lainnya, penurunan kualitas air, upaya tangkap lebih dan perpindahan serta introduksi jenis hewan akuatik baru (Jim A Cambray, 2000; Cowx, 2002). Sala et al (2000) menyebutkan bahwa spesies invasif merupakan salah satu penyebab utama degradasi lingkungan sebagaimana Pimentel (2002) menyatakan bahwa introduksi spesies asing yang destruktif merupakan penyebab kedua kepunahan berbagai spesies asli di Amerika serikat setelah dampak negatif akibat dinamika populasi manusia dan seluruh aktifitas yang terlibat didalamnya.
ADVERTISEMENT
Kerusakan lingkungan akibat invasi spesies asing yang destruktif dapat terjadi pada setiap spektrum biologis baik pada level genetik dan populasi hingga spesies, komunitas dan ekosistem yang dapat pula diikuti oleh perubahan fisik habitat, parameter kualitas air, dan berbagai proses ekologis lain. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh spesies invasif pada pada suatu ekosistem tergantung pada tingkat invasi dan kerentanan ekosistem dimana dalam mengembangkan sifat invasifnya tersebut spesies asing mampu menurunkan tingkat keanekaragaman hayati di lingkungan baru tersebut baik melalui predasi, hibridisasi, parasitisme, kompetisi dalam memperebutkan sumber energi, mengubah keseimbangan struktur komunitas dan proses ekosistem seperti siklus nutrien, hidrodinamika perairan termasuk alur energi dalam suatu ekosistem (Ciruna, L.A. Meyerson, & Gutierrez., 2004).
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, estimasi kerugian akibat invasi spesies invasif secara kuantitatif maupun perhitungan biaya untuk upaya pencegahan dan mitigasi penyebarannya tidak mudah dilakukan diantaranya karena minimnya studi empiris yang mendukung teori – teori yang dipakai untuk merumuskan model asessmen dampak spesies invasif dan adanya ketidakpastian probabilitas resiko penyebaran spesies invasif yang tidak tetap sepanjang waktu akibat adanya pelepasan spesies invasif baik yang disengaja maupun tidak (Lovell, Stone, & Fernandez, 2006). Berbagai studi awal menunjukkan bahwa assessmen terhadap dampak spesies invasif baru sebatas mengkaji perubahan pola kompetisi dan predasi pada ekosistem baru (McDowall, 2003).
Sebaliknya beberapa kajian menunjukkan biaya yang harus dikeluarkan oleh beberapa negara untuk melakukan mitigasi dampak tersebarnya spesies akuatik invasif yang telah mencapai ratusan milyar US dollar (Pimentel, Lach, Zuniga, & Morrison, 2000). Diantara spesies akuatik invasif yang bersifat sangat destruktif misalnya keong murbei (Pomacea canaliculata) yang menyebabkan filipina harus kehilangan dana lebih dari 1 miliar US dollar dari kegagalan panen padinya pada tahun 1980an, tersebarnya ikan sea lamprey di Great lakes Amerika Serikat menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan dana lebih dari 10 juta US dollar setiap tahunnya untuk upaya pengendaliannya (IPPC Secretariat., 2005), bahkan Office of Technology assesment memperkirakan kerugian tidak kurang dari 675 juta US dollar akibat hilangnya potensi perikanan akibat minimnya pengendalian invasi ikan sea lamprey di Great lake (Congress, 1993) termasuk biaya sebesar lebih dari 3 milyar US dollar untuk mengendalikan zebra mussel di danau tersebut (Cataldo, 2001). Apalagi dengan adanya pengaruh perubahan iklim ekstrim dalam beberapa dekade terakhir ini turut berpengaruh terhadap tingkat invasif suatu spesies asing (Dukes & Mooney, 1999; Neill & Arim, 2011).
ADVERTISEMENT
Dampak tersebarnya spesies invasif juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan manusia. Dalam hal ini, spesies invasif berperan terutama sebagai vektor penyakit, penyebab perubahan lingkungan yang memicu merebaknya agen penyakit lain berkembang, maupun sebagai agen penyakit terhadap manusia (Neill & Arim, 2011). Beberapa kasus pandemik seperti bubonic plaque yang merenggut jutaan manusia beberapa abad yang lalu disebabkan oleh Yersinia pestis yang dibawa oleh serangga parasit pada tikus yang berkembangbiak jauh dari habitat aslinya. Pada kasus merebaknya cacing Angiostrongylus cantonensis yang dapat menyebabkan kerusakan otak manusia, kelumpuhan, koma dan bahkan dapat berakibat fatal dimana cacing tersebut dibawa oleh Giant African Snail (Achatina fulica) (IPPC Secretariat., 2005) termasuk infeksi parasit schistosome yang dibawa oleh keong Biomphalaria glabrata. Adapun dampak politis penyebaran spesies invasif dapat berupa terkendalanya pembangunan yang berkelanjutan karena pengaruh destruktif spesies asing tersebut terhadap produksi pangan, ketersediaan air, stabilitas regional, kemiskinan dan migrasi, termasuk perdagangan dan pertumbuhan ekonomi apabila dengan merebaknya spesies invasif tersebut menyebabkan suatu negara tidak dapat melakukan ekspor dan impor produk tertentu.
ADVERTISEMENT
Penyebaran hewan akuatik invasif yaitu melalui perdagangan global ikan hias merupakan salah satu dari jalur introduksi spesies asing utama disamping penyebaran melalui restocking ikan baik untuk produksi penangkapan ikan atau bahkan untuk kegiatan keagamaan, kegiatan pemancingan / sport fishing, akuakultur, dan ballast water dari kapal yang berlabuh di berbagai tempat di dunia (J Ar Cambray, 2003; Padilla & Williams, 2004). Lebih dari 11 juta penduduk Amerika Serikat adalah hobiis ikan hias dengan perputaran uang pada industri tersebut mencapai 25 miliar US dolar dimana Indonesia merupakan salah satu eksportir ikan hias terbesar (Padilla & Williams, 2004) dengan produksi lebih dari 1,3 miliar ekor ikan per tahunnya mencakup 1300 jenis ikan dari total tidak kurang dari 5000 jenis ikan hias global (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015). Signifikansi perdagangan ikan hias global sebagai vektor penyebaran ikan hias dapat diketahui dari jumlah spesies akuatik invasif yang menimbulkan dampak paling besar sepertiganya merupakan jenis ikan hias. Sehingga industri tersebut dapat digolongkan tidak ramah lingkungan selama pengendalian terhadap peredaran jenis invasif tidak dilakukan dengan tegas mengingat minimya regulasi di berbagai negara (Padilla & Williams, 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan penyusunan dan edukasi kepada pelaku usaha untuk mulai memperdagangkan alternatif jenis ikan lain non invasif.
ADVERTISEMENT
Tidak terkecuali di Indonesia, bahwa pengendalian spesies akuatik invasif dan berbahaya baru dilakukan secara intensif sejak diterbitkannya PERMEN KP Nomor 41/PER/2014. Namun begitu, dari 152 jenis akuatik berbahaya yang dilarang masuk Indonesia saat ini paling tidak 78 jenis telah beredar di dalam negeri (Haryono et al., 2016). Oleh karena itu jenis-jenis ikan berbahaya seperti alligator, piranha, arapaima dan jenis ikan berbahaya lainnya masih kerap dijumpai di pasaran. Tak terkecuali di lokasi-lokasi pemancingan ikan-ikan predator. Sayangnya masyarakat belum memiliki kepedulian atas ancaman terlepasnya ikan jenis invasif berbahaya tersebut di perairan umum. Berbagai kasus ditemukannya ikan-ikan monster tersebut di perairan umum seperti di waduk jatiluhur maupun di ciliwung walaupun menimbulkan kepanikan di tengah masyakat namun masih ada sebagian masyarakat lain yang sengaja melepas ikan spesies invasif dan berbahaya di perairan umum misalnya untuk kegiatan wisata pemancingan.
ADVERTISEMENT
Akibat langsung tersebarnya spesies invasif tersebut tentu saja tertekannya populasi ikan asli di berbagai daerah di indonesia diantaranya adalah adalah terganggunya ekosistem di waduk Selorejo Jawa Timur akibat introduksi ikan mujair (Oreochromis mossambicus), tertekannya populasi ikan Rasbora tawarensis oleh ikan nila di danau Laut Tawar Aceh, meledaknya populasi ikan louhan di danau Cirata Jawa Barat, menurunnya populasi ikan Wader dan ikan Betik di waduk Sempor Jawa Tengah, merebaknya populasi ikan red devil di waduk Sermo Yogyakarta, waduk Cirata Jawa Barat dan waduk kedung ombo di Jawa Tengah menekan populasi ikan lokal, meningkatnya populasi ikan Oscar dan ikan Golsom di waduk Jatiluhur, menurunnya populasi ikan Pelangi (Melatonia ayamaruensis) di danau Ayamaru Papua akibat invasi ikan mas, terjadinya kepunahan ikan Moncong Bebek ( Adrianichthys kruyti) dan ikan Xenopoecillus poptae dan X. surasinorum di danau Poso akibat masuknya ikan Mujahir hampir setengah abad yang lalu di perairan tersebut .
ADVERTISEMENT
Menyadari tingginya ancaman penyebaran spesies akuatik invasif dan berbahaya melalui berbagai aktifitas lalu lintas perdagangan produk ikan hidup maupun aktifitas pemanfaatan spesies akuatik eksotik untuk berbagai tujuan lain maka peran serta dan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan salah satunya melalui diseminasi dan pemberdayaan seluruh stake holder yang memanfaatkan sumberdaya perairan agar implementasi Permen KP No 41 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 Tentang Jenis Invasif dapat berjalan secara optimal.
Referensi
Cambray, J. A. (2000). ‘Threatened fishes of the world’series, an update. Environmental Biology of Fishes, 59(4), 353-357.
Cambray, J. A. (2003). Impact on indigenous species biodiversity caused by the globalisation of alien recreational freshwater fisheries Aquatic biodiversity (pp. 217-230): Springer.
ADVERTISEMENT
Cataldo, R. (2001). " Musseling" in on the Ninth District economy: How many clams will it cost? Fedgazette(Jan), 15-17.
Ciruna, K. A., L.A. Meyerson, & Gutierrez., A. (2004). The ecological and socio-economic impacts of invasive alien species in inland water ecosystems. Report to the Conservation on Biological Diversity on behalf of the Global Invasive Species Programme, Washington, D.C. pp. 34. .
Colautti, R. I., Grigorovich, I. A., & MacIsaac, H. J. (2006). Propagule pressure: a null model for biological invasions. Biological Invasions, 8(5), 1023-1037.
Congress, U. (1993). Office of Technology Assessment. 1993. Harmful non-indigenous species in the United States. US Government Printing Office, Washington.
Cowx, I. (2002). Analysis of threats to freshwater fish conservation: past and present challenges. Conservation of Freshwater Fishes: Options for the Future., 201-220.
ADVERTISEMENT
Dukes, J. S., & Mooney, H. A. (1999). Does global change increase the success of biological invaders? Trends in Ecology & Evolution, 14(4), 135-139.
Haryono, Wahyudewantoro, G., Walidi, W., Tani, D. D., Anggraeni, Y., Arta, A. P., . . . Supardan, A. (2016). Jenis Ikan Invasif, Ancaman dan Pengendaliannya. Jakarta: Bidang Keamanan Hayati Ikan, Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Invasive Species Specialist Group. (2008). About Invasive Species. from http://www.issg.org/is_what_are_they.htm
IPPC Secretariat. (2005). Identification of risks and management of invasive alien species using the IPPC framework. Proceedings of the workshop on invasive alien species and the International Plant Protection Convention, Braunschweig, Germany, 22–26 September 2003. Rome, Italy, FAO. xii + 301 pp.
ADVERTISEMENT
Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015). Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Tahun 2015
Lovell, S. J., Stone, S. F., & Fernandez, L. (2006). The economic impacts of aquatic invasive species: a review of the literature. Agricultural and Resource Economics Review, 35(1), 195-208.
McDowall, R. (2003). Impacts of introduced salmonids on native galaxiids in New Zealand upland streams: a new look at an old problem. Transactions of the American Fisheries Society, 132(2), 229-238.
Neill, P., & Arim, M. (2011). Human Health Link to Invasive Species.
Neville, L., & Murphy, S. (2001). Invasive alien species: Forging cooperation to address a borderless issue. International Association for Ecology (INTECOL) Newsletter, Spring/Summer, 2001, 3-7.
ADVERTISEMENT
Padilla, D. K., & Williams, S. L. (2004). Beyond ballast water: aquarium and ornamental trades as sources of invasive species in aquatic ecosystems. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(3), 131-138.
Pimentel, D., Lach, L., Zuniga, R., & Morrison, D. (2000). Environmental and economic costs of nonindigenous species in the United States. BioScience, 50(1), 53-65.
Stiassny, M. L. (1999). The medium is the message: freshwater biodiversity in peril. The living planet in crisis: Biodiversity science and policy, 53-71.