Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Pengendalian Penyebaran Spesies Akuatik Berbahaya dan Invasif di Yogyakarta
3 Januari 2018 15:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari himawan achmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, dengan semakin dinamisnya perdagangan produk akuatik hidup baik hewan maupun tumbuhan antar negara maupun antar area dalam suatu negara, masuknya berbagai jenis spesies akuatik tersebut di area tujuan terbukti telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian ekosistem setempat. Walaupun tidak seluruh jenis spesies akuatik yang menempati ekosistem yang baru mampu mengembangkan sifat invasif namun tidak sedikit aktifitas introduksi spesies akuatik eksotik telah menekan populasi spesies asli setempat sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem dan meningkatkan ancaman kepunahan spesies asli tersebut. Introduksi spesies akuatik asing tersebut pada umumnya didominasi melalui perdagangan produk untuk kegiatan akuakultur, perdagangan ikan hias, restocking ikan termasuk aktifitas memasukkan dan membesarkan jenis hewan akuatik baru pada suatu lokasi wisata pemancingan yang saat ini telah menjadi trend yang mendunia dan tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai lokasi pemancingan yang menawarkan sensasi berburu ikan monster/predator menjadi lahan bisnis baru dan mendorong masyarakat untuk mengembangkan hal yang sama di berbagai tempat.
ADVERTISEMENT
Trend ini sayangnya tidak memperhatikan ancaman penyebaran spesies akuatik asing tersebut yang tidak hanya terbatas pada kemampuannya menjajah relung hidup spesies asli namun juga memaparkan ancaman penyebaran penyakit dan bahkan terhadap manusia dari segi agresivitas dan morfologi fisiknya apabila terlepas di perairan umum. Pun demikian halnya dengan kegiatan akuakultur yang masih sangat minim dalam penerapan biosecurity untuk mencegah masuk atau keluarnya HPIK dari fasilitas budidayanya. Tidak terkecuali dalam perdagangan ikan hias dimana tidak kurang dari 5000 jenis ikan hias diperdagangkan secara global dimana Indonesia memperdagangkan tidak kurang dari 1300 jenis diantaranya dengan volume produksi tidak kurang dari 1,3 milyar ekor ikan hias per tahun.DI lain pihak, peraturan perundangan yang mengatur pengendalian penyebaran spesies invasif baru memuat 150an jenis ikan yang dilarang masuk maupun dilalulintaskan antar area di wilayah Indonesia. Berbagai literatur menemukan semakin banyak jenis ikan asing yang diperdagangkan mampu mengembangkangkan kemampuan agresifitasnya menekan dan memusnahkan populasi ikan lokal di perairan umum setempat. Oleh karena itu, upaya pengendalian penyebaran spesies asing invasif perlu digalakkan melalui penguatan peraturan perundangan termasuk implementasinya di lapangan dengan memberdayakan seluruh pemangku kepentingan yang memanfaatkan sumberdaya perairan setempat.
ADVERTISEMENT
Kepedulian pemerintah dalam mengendalikan penyebaran spesies akuatik invasif dan berbahaya telah dimulai sejak dekade 80an dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Pertanian Nomor 179/Kpts/Um/3/1982 tentang Larangan Pemasukan Beberapa Jenis Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri. Satu dasawarsa kemudian peran serta Indonesia di kancah internasional dalam hal kelestarian lingkungan dibuktikan dengan keikutsertaan Indonesia dalam pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati pada tahun 1992 serta diratifikasikannya konvensi tersebut dalam UU no 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention of Biological Diversity. Dalam konvensi tersebut diakui bahwa aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hayati telah menyebabkan keseimbangan ekosistem di berbagai belahan dunia terganggu. Oleh karena itu seluruh negara dituntut untuk turut serta menjaga keberlanjutan dan kelestarian keanekaragaman hayati global sebab konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya hayati yang beraneka ragam merupakan kepentingan kolektif yang asasi oleh seluruh negara untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan lain bagi penduduk dunia yang selalu berkembang, dimana akses dan pemanfaatannya harus dilakukan secara adil baik dalam mengelola sumberdaya genetik hayati tersebut maupun dalam hal pengembangan teknologi untuk pemanfaatannya. Berkaitan dengan pengendalian ancaman invasi spesies berbahaya, lebih jauh dijelaskan dalam pasal 8 khususnya ayat (h) disebutkan bahwa negara wajib untuk mencegah masuk dan tersebarnya jenis-jenis asing yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem, habitat termasuk seluruh spesies lokal yang ada didalamnya serta mengamanatkan kepada negara untuk mengendalikan dan melakukan upaya eradikasi terhadap spesies eksotik tersebut.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah strategis yang telah dirumuskan oleh pemerintah untuk melaksanakan pengendalian penyebaran spesies akuatik invasif dan berbahaya diantaranya adalah
• Disusunnya regulasi sebagai penjabaran lebih lanjut atas pengesahan konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, dan sebagai pijakan bagi institusi teknis dalam menyusun ketentuan operasional dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Species Invasif.
• Ditetapkannya Species Invasif dari jenis ikan, sehingga pelaksanaan pengawasan dan pengendaliannya menjadi semakin lebih fokus dan terarah.
• Perlunya keterlibatan berbagai pihak secara bersama melalui koordinasi yang kuat lintas sektoral untuk membangun kebersamaan di tingkat nasional dalam rangka mencegah dan mengendalikan species invasif
• Peningkatan dukungan pemerintah terhadap penelitian dan pengembangan terkait dengan dampak species asing invasif, termasuk metode untuk mitigasi dampak.
ADVERTISEMENT
• Perlu segera dilakukan pengendalian terhadap species invasif yang sudah menetap secara domestik bersama instansi pemerintah lainnya (Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup) dibawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup sebagai focal point dari Convention on Biological Diversity (CBD).
• Perlunya dibangun sebuah system informasi yang lengkap menyangkut penyebaran dan peredaran, deteksi ancaman dan serangan, serta upaya pengendalian dan eradikasi species invasif domestik atau internasional di masing-masing kementerian teknis, yang saling bertaut (interlinked).
• Upaya pencegahan terhadap species yang berpotensi sebagai species invasif, harus dapat dilaksanakan di semua titik-titik pelabuhan pemasukan di seluruh Indonesia, dengan mengintegrasikan perkarantinaan dan penilaian resiko lingkungan sebelum dilakukan suatu introduksi species.
• Mengembangkan kerangka kerja legal berkaitan dengan species invasif di Indonesia sebagai dasar aturan analisis risiko dan sistem pengendalian species invasif, baik untuk pemasukan dan pengeluaran maupun untuk eradikasi species invasif yang sudah mapan (Established) di Indonesia.
ADVERTISEMENT
• Perlunya dilakukan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap species invasif, melalui sosialisasi, edukasi maupun penegakan hukum.
Dalam upaya antisipasi terhadap semakin dinamisnya penyebaran spesies akuatik invasif dan berbahaya pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa peraturan perundangan pengganti Keputusan Menteri Pertanian Nomor 179/Kpts/Um/3/1982 diantaranya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 17 tahun 2009 tentang larangan pemasukan beberapa jenis ikan berbahaya ke wilayah Indonesia. Dalam PERMEN ini terdapat 30 jenis ikan baik tawar maupun laut yang dilarang masuk ke wilayah Republik Indonesia dimana jika jenis-jenis ikan tersebut ditemukan di tempat pemasukan yaitu pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain yang ditetapkan oleh Menteri, maka wajib dilakukan pemusnahan oleh petugas karantina ikan. Apabila spesies akuatik berbahaya tersebut ditemukan diluar tempat pemasukan maka wajib dilakukan tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan oleh pengawas perikanan.
ADVERTISEMENT
Selama masa implementasi PERMEN no 17 tahun 2009 tersebut diketahui bahwa terdapat lebih banyak lagi jenis-jenis hewan akuatik yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya lingkungan sehingga pada tahun 2014 diterbitkanlah revisi PERMEN no 17 tahun 2009 melalui Permen no 41 tahun 2014 yang memuat larangan pemasukan sebanyak 152 jenis hewan akuatik ke wilayah Negara Indonesia. Sayangnya peraturan menteri tersebut tidak mengatur pelarangan, tata cara dan aturan lalu lintas jenis ikan berbahaya antar area dalam wilayah negara Indonesia sehingga Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan pada tahun 2016 mengeluarkan surat pemberitahuan no 1140/BKIP.2/K.140/X/2016 bahwa dalam pengaturan lalu lintas jenis ikan berbahaya agar dilakukan penolakan sesuai dengan Permen no 41 tahun 2014 kecuali untuk kegiatan ekspor masih diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan negara tujuan. Selanjutnya pada tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 Tentang Jenis Invasif.
ADVERTISEMENT
Dalam prakteknya, penyebaran spesies invasif dan berbahaya masih terus terjadi khususnya melalui jalur-jalur diluar tempat pengeluaran dan pemasukan. Oleh karena itu jenis-jenis ikan berbahaya seperti alligator, piranha, arapaima dan jenis ikan berbahaya lainnya masih kerap dijumpai di pasaran. Tak terkecuali di lokasi-lokasi pemancingan ikan-ikan predator. Sayangnya masyarakat belum memiliki kepedulian atas ancaman terlepasnya ikan jenis invasif berbahaya tersebut di perairan umum. Berbagai kasus ditemukannya ikan-ikan monster tersebut di perairan umum seperti di waduk jatiluhur maupun di ciliwung walaupun menimbulkan kepanikan di tengah masyakat namun masih ada sebagian masyarakat lain yang sengaja melepas ikan spesies invasif dan berbahaya di perairan umum misalnya untuk kegiatan wisata pemancingan. Akibat langsung tersebarnya spesies invasif tersebut tentu saja tertekannya populasi ikan asli di berbagai daerah di indonesia diantaranya adalah adalah terganggunya ekosistem di waduk Selorejo Jawa Timur akibat introduksi ikan mujair (Oreochromis mossambicus), tertekannya populasi ikan Rasbora tawarensis oleh ikan nila di danau Laut Tawar Aceh, meledaknya populasi ikan louhan di danau Cirata Jawa Barat, menurunnya populasi ikan Wader dan ikan Betik di waduk Sempor Jawa Tengah, merebaknya populasi ikan red devil di waduk Sermo Yogyakarta, waduk Cirata Jawa Barat dan waduk kedung ombo di Jawa Tengah menekan populasi ikan lokal, meningkatnya populasi ikan Oscar dan ikan Golsom di waduk Jatiluhur, menurunnya populasi ikan Pelangi (Melatonia ayamaruensis) di danau Ayamaru Papua akibat invasi ikan mas, terjadinya kepunahan ikan Moncong Bebek ( Adrianichthys kruyti) dan ikan Xenopoecillus poptae dan X. surasinorum di danau Poso akibat masuknya ikan Mujahir hampir setengah abad yang lalu di perairan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mengingat masih masifnya perdagangan jenis ikan invasif dan berbahaya khususnya antar area dalam wilayah negara Indonesia yang tidak melalui pintu pengeluaran dan pemasukan serta tingginya nilai keekonomian perdagangan jenis ikan tersebut sehingga sebagian masyarakat masih belum tergerak untuk memiliki kesadaran mencegah penyebaran hewan akuatik yang dilarang tersebut, maka perlu diingat bahwa Undang Undang Nomor : 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor : 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan mengatur dengan tegas larangan tentang penebaran spesies akuatik yang dapat menimbulkan ancaman terhadap sumberdaya ikan lokal, lingkungan sumber ikan, dan kesehatan manusia. Secara rinci dalam undang-undang tersebut pada pasal 12 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut dinyatakan pada pasal 16 ayat (1) dalam udang-undang tersebut disebutkan bahwa, “Setiap orang dilarang memasukan, mengeluarkan, mengadakan , mengedarkan, dan atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan , sumber daya ikan, dan atau lingkungan sumber daya ikan kedalam dan atau keluar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”. Oleh karena itu, jelas bahwa masyarakat dilarang untuk tidak menyebarkan termasuk membudidayakan jenis-jenis spesies akuatik invasif dan berbahaya. Sebaliknya apabila aktifitas ilegal tersebut masih dilakukan maka ancaman sanksi pidana dapat mencapai 6 tahun dan denda sebesar 1,5 milyar rupiah. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 86 ayat (2) yang berbunyi,” Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”. Disamping itu dalam pasal 88 dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan atau lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
ADVERTISEMENT
Menyadari tingginya ancaman penyebaran spesies akuatik invasif dan berbahaya melalui berbagai aktifitas lalu lintas perdagangan produk ikan hidup maupun aktifitas pemanfaatan spesies akuatik eksotik untuk berbagai tujuan lain maka peran serta dan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan salah satunya melalui diseminasi dan pemberdayaan seluruh stake holder yang memanfaatkan sumberdaya perairan agar implementasi Permen KP No 41 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 Tentang Jenis Invasif dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu, BKIPM melalui SKIPM Kelas I Yogyakarta penting untuk segera menggalang kerjasama dengan dinas perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta, akademisi serta lembaga swadaya masyarakat bersama dengan segenap lapisan masyarakat perikanan Yogyakarta untuk mencegah pelepasliaran jenis-jenis ikan berbahaya invasif dan berpotensi invasif di perairan umum.
ADVERTISEMENT
(Chang et al., 2009; Ciruna, L.A. Meyerson, & Gutierrez., 2004; Copp, Stakėnas, & Davison, 2006; KKP, 2009a, 2009b, 2014; Kolar, 2004; Lowe, Browne, Boudjelas, & De Poorter, 2000; MENLHK, 2016; Padilla & Williams, 2004; Sax & Gaines, 2003)
Daftar Pustaka
Chang, A. L., Grossman, J. D., Spezio, T. S., Weiskel, H. W., Blum, J. C., Burt, J. W., . . . Grosholz, E. D. (2009). Tackling aquatic invasions: risks and opportunities for the aquarium fish industry. Biological Invasions, 11(4), 773-785. doi: 10.1007/s10530-008-9292-4
Ciruna, K. A., L.A. Meyerson, & Gutierrez., A. (2004). The ecological and socio-economic impacts of invasive alien species in inland water ecosystems. Report to the Conservation on Biological Diversity on behalf of the Global Invasive Species Programme, Washington, D.C. pp. 34. .
ADVERTISEMENT
Copp, G. H., Stakėnas, S., & Davison, P. (2006). The incidence of non-native fishes in water courses: example of the United Kingdom. Aquatic Invasions, 1(2), 72-75.
KKP. (2009a). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 17/MEN/2009 Tentang Larangan Pemasukan Beberapa Jenis Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
KKP. (2009b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Retrieved from http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/undang-undang-nomor-45-tahun-2009-tentang-perikanan.pdf.
KKP. (2014). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Retrieved from http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipmnew/public/files/regulasi/41-permen-kp-2014-ttg-larangan-pemasukan-jenis-ikan-berbahaya.pdf.
ADVERTISEMENT
Kolar, C. (2004). Risk assessment and screening for potentially invasive fishes. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, 38(3), 391-397. doi: 10.1080/00288330.2004.9517247
Lowe, S., Browne, M., Boudjelas, S., & De Poorter, M. (2000). 100 of the world's worst invasive alien species: a selection from the global invasive species database.
MENLHK. (2016). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 Tentang Jenis Invasif.
Padilla, D. K., & Williams, S. L. (2004). Beyond ballast water: aquarium and ornamental trades as sources of invasive species in aquatic ecosystems. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(3), 131-138. doi: 10.1890/1540-9295(2004)002[0131:BBWAAO]2.0.CO;2
Sax, D. F., & Gaines, S. D. (2003). Species diversity: from global decreases to local increases. Trends in Ecology & Evolution, 18(11), 561-566.
ADVERTISEMENT