Diplomasi Kesehatan Ethiopia di Masa Pandemi COVID-19

Hinggil Larasati
Mahasiswa Fakultas Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
2 Juli 2021 16:08 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hinggil Larasati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/BOOmu-kvNLo
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/BOOmu-kvNLo
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 saat ini menjadi berita dan perbincangan yang sangat hangat dibicarakan oleh pengamat maupun berita di televisi. COVID-19 merupakan pandemi yang telah terjadi selama hampir dua tahun, di mana pandemi ini disebabkan oleh virus SARS yang bermutasi. Virus ini menyerang pada pernapasan manusia, yang kemudian dapat menyebabkan kematian pada seseorang, adapun menyebabkan tergoncangnya beberapa sektor negara seperti ekonomi dan kesehatan. Virus ini pertama kali muncul dan menyebar di Wuhan. Inilah yang menjadi awal penyebaran virus ini pada negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut WHO, Penilaian 2019 di salah satu organisasinya melaporkan bahwa Sindrom Pernafasan Akut Parah Corona Virus-2 (SARS-CoV-2), penyebab COVID-19, dapat menyebabkan berbagai gejala seperti pneumonia, demam, kesulitan bernapas, dan infeksi paru-paru (WHO, 2019). WHO terus bekerja dengan Negara Anggota dan mitra kesehatan internasional untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang virus corona baru dan penyakit pada manusia dan akan terus memberikan informasi terbaru. Seiring dengan perkembangan situasi, Organisasi Kesehatan Dunia akan menilai kembali panduan dan merevisinya sesuai dengan itu (WHO, 2020).
Berbagai negera mencoba mencari jalan penyelesaian dalam menghadapi pandemi ini di mulai dari lockdown, menerapkan cara-cara pencegahan pada virus ini, kemudian adapun pembuatan Diplomasi Kesehatan di mana saat ini banyak negara-negara lain menggunakan Diplomasi Kesehatan ini, contohnya seperti Korea Selatan. Dalam Diplomasi Kesehatan Negara Ginseng ini telah bekerja sama dalam pembuatan vaksin dan pendistribusiannya, adapun negara ini juga memberikan bantuan masker kepada Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak berbeda dengan Asia, Afrika pun merasakan dari penyebaran COVID-19 ini. Salah satunya ialah Ethiopia, di mana negara ini menjadi salah satu dari negara negara yang memiliki maskapai internasional tersibuk di Afrika. COVID-19 pertama kali menyebar di Ethiopia pada 13 Maret 2020, di mana Ethiopia merasakan dampak yang terjadi seperti peningkatan kasus secara bertahap setelah pandemi COVID-19 dikonfirmasi.
WHO telah memberikan dukungan teknis pada berbagai kegiatan respons negara termasuk pengembangan protokol dan panduan, pasokan logistik APD, peralatan pengujian laboratorium, bahan pencegahan infeksi, dan ponsel untuk kegiatan pelacakan kontak. WHO memimpin kegiatan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan mitra (Kemenkes, 2020(5); EPHI, 2020(2)).
Sejak penyebaran COVID-19 terjadi di Afrika, banyak dampak yang telah terjadi salah satunya peningkatan jumlah kasus mengenai COVID-19. Diinformasikan bahwa 21 Juni 2020 sejak dikonfirmasikannya kasus pertama pada 13 Maret 2020. Ethopia membutuhkan waktu 77 hari untuk melampui seribu kasus pertama, kemudian dibutuhkan 7 hari untuk melampaui kasus kedua, 6 hari untuk melampui seribu kasus ketiga, dan hanya butuh 5 hari untuk melampaui empat ribu kasus.
ADVERTISEMENT
Peningkatan kasus COVID-19 di Ethiopia sangat mengkhawatirkan di mana kasus ini berasal dari kasus impor, kontak kasus yang dikonfirmasi, dan transmisi lokal. Kemudian kasus ini juga diperburuk dengan bertambahnya jumlah kematian masyarakat akibat COVID-19, serta keterlambatan konfirmasi COVID-19 oleh penyidik forensik sehingga dapat menyebabkan terjadinya perluasan lebih lanjut (EPHI, 2020 (8); Kemenkes, 2020 (7).
Menurut UNICEF, COVID-19 sangat memengaruhi mata pencaharian Ethiopia dengan cara yang berbeda, seperti turunnya pelayanan kesehatan untuk kebutuhan non-COVID-19 yang dapat mempengaruhi aksebilitas dan keterjangkauan layanan kesehatan, serta adanya pembatasan pergerakan dan jarak fisik sebagai langkah pengantisipasian penyebaran COVID-19, di mana langkah ini mempengaruhi perekonomian kehidupan mereka.
Pada tahun 1993 Ethiopia meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan akses layanan kesehatan masyarakatnya, di mana nantinya kebijakan ini membawa reformasi besar diseluruh sistem kesehatan Ethiopia. (Kementerian Kesehatan, 2020 (6))
ADVERTISEMENT
Ethiopia memiliki tiga tingkatan dalam sistem kesehatan, yaitu unit pelayanan primer, yaitu pos kesehatan dan pusat kesehatan, lalu pelayanan tingkat menengah oleh rumah sakit umum, dan yang terakhir layanan tingkat tersier rumah sakit khusus. Adapun dibuatnya Rencana Pengembangan Sektor Kesehatan (HSDP) yang berlaku dari 1995 hingga 2015. HSDP I dan II (1997-2005), di antaranya meningkatkan pemberian layanan kesehatan dan kualitas perawatan, pengawasan sumber daya manusia, dan pembiayaan perawatan kesehatan. Kemudian HSDP III (2005-2010), penanganan terhadap terhadap penyakit menular dan peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Kemudian HSDP IV (2011-2015), mencakup seluruh sektor kesehatan dan semua sumber pembiayaan dengan fokus yang lebih kuat pada hasil dan kualitas layanan dengan penekanan pada kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS dan TBC untuk mencapai semua Tujuan Pembangunan Milenium (Kemenkes, 2012(1)).
ADVERTISEMENT
Ethiopia memiliki kesiapan nasional untuk layanan kesehatan umum dalam situasi normal 55% (EPHI, 2018 (1); UN-Ethiopia, 2020). Di mana terjadinya kelangkaan pada peralatan dasar den tenaga kesehatan terlatih, serta obat-obatan dan infrastruktur. Ini membuktikan bahwa Ethiopia masih memiliki keterbatasan dalam akomodasi dalam mengatasi COVID-19.
Menurut Badan Pasokan Farmasi Ethiopia (EPSA), ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang dipilih tidak memadai dibandingkan dengan beban yang diantisipasi. Terdapat 40.000 masker oksigen/bedah, 508 kaca mata, 32 pelindung wajah, dan 17.024 partikulat respirator/grade N95 atau lebih yang dimaksudkan untuk digunakan dalam penanganan seperti Tuberkulosis dan HIV/AIDS (EPHI, 2020(3)).
Menurut Kemenkes yang dikutip dalam buletin kemanusiaan UNOCHA, setidaknya diperlukan 130 juta masker (UNOCHA, 2020(2)) selama bulan Juni-September untuk menahan penyebaran COVID-19 di negara tersebut. Karena kekurangan pasokan, operasi kemanusiaan telah diperkecil sementara saat ini, jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan telah meningkat dari 8,4 juta (dihitung akhir 2019) menjadi sekitar 10,6 juta. Pengungsi internal (IDP), termasuk mereka yang tinggal dengan komunitas tuan rumah, juga sangat rentan terhadap COVID-19 karena kondisi kehidupan mereka (UNOCHA, 2020(1))
ADVERTISEMENT
Lalu, adanya laporan tentang kasus dan kontak COVID-19 dan mempengaruhi kegiatan terkait COVID-19 regional (EPHI, 2020(8)). Penyalahgunaan dalam penggunaan APD dan alat kesehatan lainnya dapat menyebabkan terpengaruhnya kegiatan pencegahan dan pengendalian COVID-19.
Kemudian, adanya dampak lain yang terjadi, seperti terbatasnya akomodasi Ethiopia dalam peningkatan jumlah beban kasus rawat inap diseluruh wilayah dalam mengatasi COVID-19 ini, dan Kemenkes sudah mempertimbangkan mobilisasi sumber daya dari layanan kesehatan yang ada.
Tidak hanya kapasitas laboratorium, sektor logistik dan pasokan juga mendapatkan dampak dari COVID-19, yaitu beberapa tempat karantina dilaporkan kekurangan akses air, makanan, dan alat pelindung diri (ADP) dan listrik. Melihat kembali dari meningkatnya kasus yang melonjak, membuat pelayanan fasilitas kesehatan kewalahan, seperti tempat karantina yang sudah penuh, kemudian kekurangan APD seperti masker, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pencegahan dan pengendalian penyebaran COVID-19 itu sendiri
ADVERTISEMENT
Memiliki isi rumah yang padat membuat pencegahan seperti mencuci tangan kurang efektif, di mana rumah di Ethiopia berisi empat atau lima anggota dalam satu kamar, dan itu rentan dalam meningkatkan penyebaran COVID-19. Lalu, adanya dampak yang menimbulkan krisis kemanusiaan, di mana berawal dari titik masuk yang menjadikan salah satu alasan dari penyebaran COVID-19, dan Ethiopia melakukan penangguhan terhadap Ethiopia Airliens, untuk penerbangan internasional. Kemudian akibat akibat adanya penangguhan ini menyebabkan terjadinya pembatas pada pasokan kemanusiaan seperti APD dan tim medis internasional.
Sebagi respons awal upaya yang dilakukan pemerintah Ethiopia dalam mengurangi penyebaran COVID-19, ialah penerapan screening pada penumpang yang datang di bandara, kemudian menerapkan jejak rekam penularan, isolasi, karantina wajib, dan pengobatan (World Economik Forum, 2020).
ADVERTISEMENT
Adapun beberapa penerapan domestik yang dilakukan pemerintah Ethiopia, seperti menerapkan upaya pencegahan saat wabah di Wuhan menyebar secara internasional, kemudian meningkatkan upaya pencegahan pada pertengahan Maret ketika kasus pertama muncul (penutupan sekolah, melakukan disinfektan, dan mencegah kerumunan), lalu menerapkan protokol darurat bencana di mana berlaku selama 5 bulan, dan yang terakhir mendorong aktivitas produksi dan ekonomi lainnya terus berlangsung selama krisis, sehingga meringankan ekonomi bagi kelompok sosial terutama sektor informal.
Diplomasi Kesehatan merupakan salah satu cara yang dapat kita katakan sangat efektif di mana diplomasi ini dapat meredam kepanikan pada masyarakat Afrika. Begitu pun pada saat Diplomasi Kesehatan hadir di Afrika, secara tidak langsung meningkatkan kemampuan Ethiopia dalam menghadapi COVID-19 ini.
ADVERTISEMENT
Ethiopia sangat sadar bahwa Diplomasi Kesehatan ini sangat penting dalam menghadapi COVID-19, seperti contoh adanya hubungan Government to Government antara menteri luar negeri Ethiopia dan Tiongkok dengan tujuan untuk menghangatkan hubungan antara kedua negara tersebut. Namun pada akhirnya menghasilkan reaksi negatif dari masyarakat Afrika akibat insiden Guang Zhou.
Kemudian, pada bulan April. Tiongkok mengirimkan tim medis yang terdiri dari 12 pakar dengan pengalaman epidemi di Rumah Sakit Universitas Sichuan, Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit Provinsi Sichuan, Rumah Sakit Rakyan Provinsi Sichuan, dan lainnya. Lalu, pakar tersebut berbagi pengalaman dengan lembaga kesehatan, seperti Afrika CDC, Menteri Kesehatan Ethiopia, dan Institut Kesehatan Masyarakat Ethiopia.
Salah seorang tim bernama Zeng memperhatikan bahwa pemerintah Ethiopia mengerti bahayanya virus dan telah menerapkan standar kesehatan WHO. Zeng menambahkan, langkah yang telah dilakukan di Ethiopia melebihi ekspektasinya, meskipun Ethiopia minim sumber daya dan masih memiliki beberapa kekurangan (Global Times 2020).
ADVERTISEMENT
Ethiopia mengupayakan Diplomasi Kesehatan kepada negara-negara tetangganya, agar ketika proses repatriasi dilaksanakan tidak membuat kewalahan (The New York Times 2020). Kemudian, staff PBB turut ikut membantu diplomasi Ethiopia agar Saudi Arabia dan negara tetangganya berkenan melaksanakan proses repatriasi yang humanis.
Gabungan fungsional tersebut dilakukan melalui jaringan di wilayah yang terintegrasi bernama Afrika CDC, Regional Integrated Surveillance Laboratory Network (RISLNET) di Zambia, Kenya, Gabon, Nigeria, dan Sinegal. Gabungan fungsional ini berfungsi sebagai perencanaan siap siaga dalam pandemic serta penanggulangannya.

Selain itu, Pemerintah Ethiopia menerapkan standar yang berbeda dibanding negara tetangganya seperti Rwanda, Uganda dan Mauritius yang lebih memilih menerapkan lockdown. (The Jakarta Post, 2020). Tercatat hingga akhir Juni 2020, sebanyak 103 pasien COVID-19 meninggal dari 5846 yang positif (OCHA Services reliefweb 2020). Tetapi pada akhirnya Ethiopia berhasil menekan kasus positif di negaranya dilihat dari mengecilnya rasio kematian. Ethiopia berhasil mengatasi minimnya sumber daya dalam krisis dengan respons yang sigap, Diplomasi Kesehatan, dan dukungan internasional.

Pandemi COVID-19 yang sekarang terjadi di belahan dunia merupakan tantangan bagi setiap negara. Tantangan tersebut meliputi ekonomi dan juga keberlangsungan kehidupan masyarakat. Negara perlu mampu menerapkan kebijakan yang dapat menekan angka penyebaran namun tetap bisa memberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan di masa pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Dalam menangani COVID-19 ini Ethiophia mampu untuk menekan angka penyebaran COVID-19 dengan empat strategi yaitu kewaspadaan dini, pembatasan sosial, darurat bencana dan pertahanan ekonomi.
Pertama, negara ini telah melakukan kewaspadaan dini setelah mendapatkan informasi mengenai adanya wabah di Wuhan sejak bulan Januari. Kedua, setelah kasus positif pertama terjadi di negara ini Ethiopia langsung melakukan tindakan menutup diri dari potensi penularan dengan melakukan memperketat bandara internasional, perbatasan darat, menutup sekolah, mencegah kerumunan, melakukan disinfektan di fasilitas umum hingga mengurangi pemadatan orang di penjara.
Pemerintah juga menurunkan tenaga kesehatan untuk secara berkala melakukan rapid test kepada masyarakat. Ketiga, pemerintah memberlakukan darurat bencana. Bahkan memberikan sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan pemerintah dalam prosedur keselamatan selama pandemi COVID-19 lalu ada langkah berikutnya seperti mengubah fungsi gedung kampus dsb untuk menyiapkan tempat karantina dan pengobatan; memfasilitasi tenaga medis dengan asuransi jiwa, serta menyiapkan dana darurat sebesar 1,64 miliar USD.
ADVERTISEMENT
Dana darurat ini akan diakomodasikan demi disiapkan untuk distribusi kesediaan makanan, kesehatan bila skenario terburuk terjadi, tempat penampungan sementara, warga yang rentan, hingga pekerja migran yang dideportasi. Dana tersebut dikelola lewat Woreda (semacam kabupaten) dan kota.
Adanya diplomasi kesehatan yang dilakukan Ethiopia jelas membantu mengurangi dampak dari COVID-19 di mana pada akhirnya Ethiopia dapat menekan penyebaran dan tingkat orang yang positif serta rasio kematian di negaranya. Ini dapat terjadi karna respons dari Ethiopia yang sigap mengatasi minimnya sumber daya dalam krisis. Hal ini turut didukung dengan adanya diplomasi kesehatan sehingga tercipta kerja sama antar aktor negara dan non negara dalam mengatasi penyebaran COVID-19 di Ethiopia. Dalam diplomasi kesehatan antar aktor negara terjadi ketika China dan Ethiopia. Ethiopia mendapat tiga bentuk dukungan dari China.
ADVERTISEMENT
Pertama, dukungan bagi Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dr Tedros berasal dari Ethiopia, kebetulan kebijakannya tidak disukai oleh Washington.
Kedua, Rumah Sakit Tirunesh Beijing. Ketiga, tim medis yang terdiri dari 12 pakar dari Rumah Sakit Universitas Sichuan, Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit Provinsi Sichuan, Rumah Sakit Rakyat Provinsi Sichuan, Rumah Sakit yang berafiliasi dengan Universitas Medis Barat Daya, dan Rumah Sakit yang berafiliasi dengan Universitas Chengdu dengan kepakaran Obat Tradisional Cina. Sedangkan dalam aktor non negara Ethiopia, Ethiopia berpartisipasi dalam Africa Centres for Disease Control and Prevention (Africa CDC).
Di mana lembaga kerja sama fungsional di bidang kesehatan ini telah memiliki fasilitas jaringan laboratorium dan pengawasan. Dan pada bulan Juni, anggota dari Africa CDC ini saling sepakat untuk melakukan pengembangan kerja sama untuk mempercepat test, pelacakan dan perawat pasien COVID-19. Pengembangan hal ini mendapat bantuan dari organisasi kesehatan internasional WHO, kunjungan tim medis China dan bantuan alat kesehatan dari Jerman.
ADVERTISEMENT
Referensi
Crummey, D. E. (2021, March 10). Ethiopia. Retrieved from britannica.com: https://www.britannica.com/place/Ethiopia
Getachew Tesfaye Beyene, d. (5 January 2020). The challenges of COVID-19 testing in Africa: the Ethiopian experience. Pan African Medical Journal, 1-4.
HESPI AND Sewasew Beyene (MD, M. (October,2020). Health Impact Assessment of COVID 19 in Ethiopia. Horn Economic and Social Policy Institute (HESPI), 1-41.
News, U. (2020, Januari 7). Covid-19, Ethiopia dan Diplomasi Kesehatannya. Retrieved from Unair News: http://news.unair.ac.id/2020/12/07/covid-19-ethiopia-dan-diplomasi-kesehatannya/
Puspitasari, I. (2014). Ethiopia and Health Diplomacy during the COVID-19 Pandemic. Global Strategis, No. 2, 437-450.