Jejak Kelam Pendudukan Jepang di Makam Juang Mandor, Kalbar

Konten Media Partner
28 Juni 2019 10:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pembantaian Jepang. Foto: Rizkia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembantaian Jepang. Foto: Rizkia
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hi!Pontianak - Setiap tanggal 28 Juni, masyarakat Kalimantan Barat memperingati Hari Berkabung Daerah. Ini untuk memperingati perjuangan rakyat Kalimantan Barat, yang dibantai oleh Nippon Teikoku Kaigun atau Tentara Angkatan Laut Jepang.
Dampak Perang Dunia II juga sampai ke Kalimantan Barat. Syafaruddin Usman, sejarawan Kalimantan Barat, mengatakan pada tanggal 22 Februari 1942, Jepang resmi menyatakan bahwa Kalimantan Barat berada di bawah administrasi kependudukan Jepang.
Pada saat itu, Jepang tiba-tiba melakukan serangan bertubi-tubi dengan menembakkan serta menjatuhkan bom lewat serangan udara, di pusat Kota Pontianak. Syafaruddin mengatakan, ada 9 pesawat yang meluluhlantakkan Kota Pontianak. Ribuan warga kota Pontianak tewas akibat serangan itu.
"Selesai peristiwa nahas ini, (kota) Mempawah juga dibakar, Kota Ngabang juga dijatuhi bom, Sanggau juga, Pemangkat juga. Inilah awal mula malapetaka yang akan mengantarkan Kalimantan Barat kehilangan satu generasi terbaiknya kelak," ungkap Syafaruddin.
ADVERTISEMENT
Syafaruddin menjelaskan, pada saat Jepang terus melakukan penyerangan, Belanda tentu tidak menyerah begitu saja. Mereka meninggalkan kota ini dengan taktik bumi hangus, agar tempat-tempat yang penting secara strategis, tidak jatuh ke tangan Jepang.
Namun, pada 21 Juli 1942, kebijakan akhirnya menentukan jalan lain. Kalimantan bersama dengan Sulawesi, kawasan Sunda Kecil atau Nusa tenggara, kawasan bagian Timur, pada saat itu berada di bawah kekuasaan Nippon Teikoku Kaigun.
Diorama pembantaian Jepang di Kalimantan Barat. Foto: Dok Hi!Pontianak
Nippon Teikoku Kaigun ini adalah Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Simbolnya berupa jangkar di sebelah kanan. Nippon Teikoku Kaigun berisi tentara-tentara yang mayoritas perwira-perwiranya adalah anak-anak muda Jepang, yang dulu orang tuanya adalah masyarakat Tionghoa yang dibantai oleh Jepang. "Mereka menjadi tentara Jepang, dengan karakter yang sangat kejam dan bengis," terang Syafarudin.
ADVERTISEMENT
Jepang pada saat itu memiliki strategi untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Namun strategi tersebut tidak berjalan mulus, sehingga Jepang membuat sebuah generasi baru, yang pro Jepang, yakni dengan membangun generasi yang patuh terhadap kekaisaran Jepang. Karena menolak, sehingga pada saat itu rakyat di Kota Pontianak menjadi korban.
Syafaruddin menceritakan, mereka (rakyat Pontianak) dipaksa untuk menyerahkan perhiasan, hasil panen, dan menjadi romusha kepada Jepang. Hingga pada suatu ketika, Jepang semakin ganas.
Jepang mulai menunjukkan kekuasaannya. Mereka menggiring 5 orang karyawan bank di Pontianak ke pelabuhan Seng Hi. Tangan mereka diikat ke belakang, kepala ditutup dengan kain putih atau disungkup, dan dihadapkan ke Sungai Kapuas.
Setelah itu Jepang memanggil rakyat Pontianak untuk menyaksikan kekejaman yang mereka lakukan. "Jadi, pada saat itu Jepang mengatakan, 'kami akan memperlihatkan olahraga hebat yang akan kami teruskan setiap harinya, olahraga apa?' Mereka memenggal kepala 5 karyawan bank itu dengan samurai, sehingga kepala dan badannya akan lepas dan jatuh ke Sungai Kapuas," ungkap Syafaruddin.
ADVERTISEMENT
Pada Januari 1944 sekelompok kaum terpelajar di Pontianak mengatur siasat untuk membuat gerakan pemberontakan terhadap pendudukan Jepang.
Namun, gerakan pemberontakan oleh para cendikiawan tersebut gagal, salah satu penggerak berkhianat dan membocorkan kepada Jepang. Pada saat itulah titik sentral dari seluruh peristiwa pembunuhan massal generasi terdidik di Kalimantan Barat.
Para tokoh masyarakat, pengusaha, aktivis pergerakan politik, para raja, dan tokoh-tokoh di istana, cendikiawan, diculik oleh Jepang. Bahkan sejumlah warga biasa juga ikut diculik dan dibantai Jepang. Tak ada batasan ras, suku, atau agama. Mereka yang ditangkap lalu dibunuh oleh tentara Jepang, secara massal.
Ilustrasi tentara kekaisaran Jepang berbaris di depan Kuil Yasukuni di Tokyo, Jepang. Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon
Setelah ditangkap, tangan mereka diikat, kepala mereka disungkup dengan kain mirip sarung bantal. Dengan kondisi itu, mereka dinaikkan ke truk-truk, dan dibawa ke sebuah kawasan di tengah hutan, sekat bekas tambang emas republik Lang Fang.
ADVERTISEMENT
Para cendikiawan dan suhada asal Kalimantan Barat ini disuruh menggali tanah. Kemudian mereka ditembaki dari atas oleh tentara Jepang. Ada juga yang dipancung.
Di makam Juang Mandor, terdapat 7 makam besar. Namun tak diketahui pasti, berapa jumlah warga yang dibantai di setiap makam. Yang jelas, makam ketujuh adalah makam para raja dan keluarga istana-istana yang ada di Kalimantan Barat.
Hal ini memancing kemarahan masyarakat Kalimantan Barat, termasuk seorang pahlawan heroik dari Meliau, Kalimantan Barat, bernama Pangsuma, melakukan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Pangsuma dengan sebilah sabur (senjata tajam sejenis mandau), memimpin masyarakat yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat, melakukan perlawanan sengit, melawan Jepang.
Pangsuma berhasil memenggal kepala pimpinan Jepang di tiga lokasi, yakni Sekucing, Balai Bekuak, di perbatasan Kabupaten Ketapang dan Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau. Kedua, di Desa Kunyil Kecamatan Meliau dan ketiga di pusat Kota Meliau.
Makam Juang Mandor kini menjadi area pemakaman para pejuang Kalimantan Barat yang melawan pendudukan Jepang. Makam Juang Mandor menjadi saksi bisu atas terjadinya tragedi Mandor Berdarah.
Peristiwa penting dan bersejarah tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni, sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Setiap instansi diwajibkan untuk menaikkan bendera setengah tiang. (hp8)
ADVERTISEMENT