Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak – Sebagai warisan kebudayaan dunia, kini batik sudah semakin berkembang dan meluas. Setiap daerah di Indonesia mengembangkan batik, dengan motif khas daerahnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan Singkawang. Sebagai daerah yang tidak memiliki budaya membatik, Singkawang memang agak terlambat dalam mengembangkan batik. Adalah Priska Yeniriatno, yang kemudian mengembangkan batik di Kota Amoy ini.
Sejak menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, Priska memang menggemari batik. Hingga pada 2010 ia mulai mendalami batik, di rumah eyang angkat yang memang perajin batik.
“Saya belajar di sana, mulai dari membuat garis, membuat garis bergelombang, membuat lingkaran, membuat segitiga, kotak, sampai akhirnya diizinkan untuk membuat motif,” kata Priska saat ditemui di Galeri Kote Singkawang miliknya, Senin (15/7).
Dalam mengembangkan batik di Singkawang, Priska juga melibatkan masyarakat setempat. Kini, peraih Satu Indonesia Award dari Astra Internasional ini, sedang menjalankan program Desa Batik di tiga Kawasan di Singkawang, yakni di Tainam, Singkawang Timur, Sedau, Singkawang Selatan, Pasiran, dan Singkawang Barat.
ADVERTISEMENT
“Saya mengajak masyarakat membatik, sampai mereka bisa mandiri dan berpenghasilan dari batik,” ujarnya.
Tak hanya orang dewasa yang dilibatkan Priska dalam pengembangan batik di Singkawang. Ia juga mengajarkan batik kepada anak-anak di sejumlah SD dan SMP di Kota Singkawang, hingga pelajar di SLB (Sekolah Luar Biasa) di Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.
“Kemarin, perwakilan dari SLB dapat juara harapan 1 dalam kompetisi batik nasional. Ini sebuah prestasi, mengingat Singkawang bukan sebuah daerah dengan tradisi batik,” katanya.
Selain membuat motif batik untuk orang dewasa, Priska juga membuat banyak motif batik yang ia tujukan untuk anak-anak. Hal ini ia lakukan agar anak-anak mengenal dan menggemari batik. “Saya sekarang lagi bikin motif dinosaurus dengan cetakan. Kemarin saya buat Ultraman dengan monster dan alien. Itu saya buat dengan melukis, yang Ultraman ini tidak saya jual, karena saya buat untuk keponakan saya, karena dia suka Monster Dino dalam cerita Ultraman,” tutur Priska.
Semua itu ia lakukan untuk melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia. “Eyang saya, yang mengajarkan saya membatik, juga membuat motif yang lucu-lucu seperti ini. Dia membuat motif anak-anak seperti pesawat, dan itu laku di Prancis,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Metode membatik yang dilakukan Priska juga memanfaatkan limbah kertas kotak nasi, sebagai media membatik. “Mau pakai (media) apapun, jika alat yang digunakan dalam proses pelilinan media tersebut disebut canting. Kain bergambar yang melalui proses pelilinan dalam pembentukan suatu motif itu namanya batik. Tapi kalau kain bergambar menggunakan mesin printing, itu namanya kain motif, bukan batik,” terangnya.
Ada batik yang dibuat oleh Priska dengan cara dilukis, ada juga yang Priska buat dengan menggunakan cap (canting cap), seperti cap yang dibuat dari kertas limbah tadi.
Harga jual batiknya pun bervariasi, mulai dari Rp 300 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung pada tingkat kesulitan pembuatannya. Pelanggannya pun kini sudah tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Jawa Tengah. (hp1)
ADVERTISEMENT